Pagi ini, Ray terpaksa sarapan bersama papa dan mama tirinya. Alasannya apalagi selain karena ada Maya di sana. Ray biasanya sangat malas berada satu meja makan dengan mereka berdua, dia lebih sering sarapan di luar bersama Aldo dan Mark. Hitung-hitung sekalian beli mereka sarapan pagi dengan gizi yang baik. Tidak selalu minum segelas kopi. Atau Ray lebih suka membawa makanan mentahan untuk dimasak oleh sahabatnya itu, makan bertiga di kos-kosan mereka yang sempit.
“Gimana, May, kamu undah bilang sama, Ray?” tanya Hendra memecah kesunyian yang tercipta.
“Nanti, Pa. Nunggu makan kelar dulu,” sahut Maya menatap papanya sekilas.
Ray mulai berpikir, apa sih yang sebenarnya ingin disampaikan kakaknya itu. Sampai-sampai papanya terlihat mendesak banget begitu. Dan Ray yang sudah tidak sabar, akhirnya ikut bertanya.
“Memangnya ada apa sih, Kak?”
“Kan udah Kakak bilang, nunggu selesai makan dulu,” sahut Maya masih dengan jawaban seperti tadi.
“Sekarang aja napa sih, Kak. Apa bedanya sama nanti. Lagian bentar lagi aku mau keluar, nggak bakal punya waktu.”
Maya menaruh sendoknya sedikit keras. Berhasil membuat mulut Ray yang tadinya cek-cok, menjadi diam seketika.
“Oke!” Ray kembali fokus pada makanannya.
Usai sarapan yang membosankan, Ray kembali ke kamar. Dia sudah bersiap untuk pergi, jadwal biasa paginya adalah mengunjungi tempat kerja dua sahabat karibnya. Service motor yang memang belum waktunya. Jemput Cindy di kampus yang baru-baru ini sudah menjadi jadwal hariannya sejak dua minggu yang lalu. Dan saat siang, mengunjungi tempat Gym seperti biasa.
Tok, tok, tok. “Ray, Kakak masuk, ya?” Suara ketukan pintu dengan iringan permintaan dari Maya membuat fokus Ray yang sedang merapikan rambutnya seketika buyar.
“Masuk aja. Nggak dikunci!” Ray berteriak seraya kembali fokus pada rambutnya yang sedang disisir seperti gaya anak muda yang sedang nge trend.
“Wangi amat sih, udah rapi lagi. Mau kemana?” tanya Maya mendekat, mengambil tempat duduk di sisi ranjang.
“Biasa,” sahut Ray tanpa meoleh. Singkat sekali.
Maya memperhatikan seisi kamar Ray yang nampak sangat rapi seperti biasanya. Ray memang mencintai kebersihan, kerapian, dan kecantikan. Ralat, ketampanan maksudnya.
“Kamu masih rapihin kamar sendiri ya, Ray?” tanya Maya setelah diam beberapa menit.
“Heem.” Lagi-lagi Ray memberi jawaban singkat. “Nggak suka orang asing yang ngurus,” tambahnya lagi saat tiba-tiba dia mengingat Dewi yang sering keluar masuk kamarnya, dengan alasan ingin merapikan. Padahal Ray tidak minta. Dia lebih suka membersihkan sendiri.
“Idaman wanita banget kamu, Ray. Beruntung wanita yang jadi istri kamu nanti, udah ganteng, bersih lagi,” puji Maya tersenyum lebar.
Tangan Ray berhenti seketika, dia menoleh pada kakaknya dengan tatapan penuh arti. “Kenapa tiba-tiba ngomongin istri?” tanya Ray tidak senang.
“Nggak papa kok. Oh iya, bisa nggak kalau kamu perginya nanti aja?”
“Kenapa?”
“Karena sebentar lagi kita kedatangan tamu, Ray.”
“Bukan tamu aku, kan? Jadi kenapa aku harus ada di sini.” Ray menolak mentah-mentah.
“Tapi dia tamu keluarga kita, Ray,” bujuk Maya tidak menyerah.
“Kan udah ada Kakak, papa, dan wanita itu. Lagian aku tidak suka nemani tamu.”
“Ray, bisa tidak kamu ubah panggilan ke mama.” Maya sedikit mengeraskan suaranya.
“Nggak bisa!” sahut Ray tegas, cepat, dan sesuai dengan kata hatinya.
Tarikan nafas Maya terdengar berat, juga saat mengembusnya.
Tiba-tiba ponsel Maya bergetar, ada pesan masuk.
Mawar :
Kak, aku sudah di depan. Kakak bisa keluar tidak? Takut rumahnya salah.
Maya :
Oke. Sebentar.
Tanpa mengucap apa-apa, Maya langsung keluar dari kamar adiknya. Ray melihatnya aneh, lalu kembali menyelesaikan rambutnya.
10 menit kemudian, Ray sudah siap. Dia memakai sepatu sport putih, warna kesukaannya. Lalu meluncur keluar seraya bersiul.
“Ray!” panggil Hendra saat melihat kemunculan putranya.
Ray yang sebelumnya tidak ingin menoleh dan peduli, akhirnya menoleh juga lantaran melihat sesuatu yang aneh di sana. Ya, kemunculan seorang wanita berkerudung membuat matanya menyipit.
“Ray, ayo kesini. Kita kedatangan tamu,” seru Maya.
Ray langsung ingat apa yang Maya katakan beberapa menit yang lalu. Ray yang sempat berpikir bahwa tamu itu adalah seorang bapak-bapak tua, teman bisnis papanya mungkin, kini terkejut melihat seorang wanita yang sedang menunduk malu.
“Ray, ayo kemari.” Maya yang tidak sabar, langsung menjemput sang adik untuk mendekat.
Ray memilih duduk di sofa yang lain, meskipun di samping wanita itu ada tempat kosong yang masih luas.
“Ray, kenalin ini, Mawar. Mawar, kenalin ini adikku, Rayyan.” Maya memperkenalkan mereka berdua.
Mawar mengangkat kepalanya perlahan, seulas senyum ia perlihatkan diawal perkenalan dan pertemuan mereka. Tapi ternyata, Mawar salah, ini bukan kali pertama mereka bertemu, tapi kali kedua detelah sebelumnya pernah bertemu di restoran hari itu.
“Kamu!” Ray menunjuk saat Mawar memperlihatkan wajahnya.
Untuk beberapa saat, mereka berdua sama-sama terkejut.
“Kalian udah saling kenal?” tanya Maya bingung.
“Kami pernah bertemu, Kak. Sekali,” sahut Mawar.
“Wah, bagus dong.” Maya tersenyum semringah, yang sulit diartikan Ray.
“Kamu datang kesini tidak bermaksud untuk minta ganti rugi, kan? Kalau iya bilang aja terus terang, nggak usah datangin keluarga aku.” Ray blak-blakan menuduh Mawar di depan keluargnya.
Semua orang terkejut. Mereka tidak mengerti apa yang Ray bicarakan. Sedangkan Mawar hanya tertunduk sedih dengan segala tuduhan yang tidak benar itu.
“Ray, apa yang kamu katakan. Ganti rugi apa maksud kamu?” tanya Hendra dengan tatapan yang mengintimedasi.
“Jawab aku.” Ray tidak peduli pada pertanyaan ayahnya, dia masih fokus pada Mawar yang kembali menunduk setelah tadi mengangkat kepala tidak sampai dua menit.
Mawar menggeleng pelan. “Bukan.”
“Lalu untuk apa kamu kesini jika bukan karena itu. Tidak mungkin tiba-tiba ada orang asing yang ingin bertamu di rumah ini, kecuali jika kamu memang sedang menginginkan sesuatu.” Ray masih menuduh, kali ini bahkan lebih sakit dari sebelumnya.
Mendengar hal itu, Maya langsung mangangkat suara. “Ray, Mawar ini bukan orang asing.”
“Lalu siapa dia kalau bukan orang asing?”
“Dia calon istri kamu,” sahut Hendra cepat. Sukses membuat mata Ray dan Mawar terbelalak bersamaan.