Gadis itu cantik, lugu dan menawan namun sayangnya udik sekali. Kadang aku bahkan malu berjalan bersamanya. Hal itu sebenarnya wajar saja, mengingat ia hidup dikeluarga yang tak mengerti tentang moderenisasi. Terlebih, faktor ekonomi yang membuat gadis itu terlampaui zaman.
Pagi ini, aku sengaja mengajaknya untuk bertemu dengan kolega. Seperti biasa, kami akan membahas bisnis baru yang ingin di buat. Aku sengaja mengajak Kamelia, agar wanita itu mengerti masalah bisnis dan kelak bisnis ini akan ku berikan padanya. Bukan bisnis luar biasa, tapi setidaknya Kamelia pasti bisa.
Sayangnya, gadis itu cukup lugu dan bahkan tak mengerti harus bersikap bagaimana. Aku terkadang malu melihatnya yang menganga melihat bangunan megah, yang menjadi kantor perusahaan ke duaku. Tentu aku menegurnya yang tak berhenti takjub dengan hasil jerih payahku, jika ku biarkan bisa-bisa membuat citra diri menjadi hancur.
Gadis itu, ahkirnya manut namun sepertinya kata-kataku membuat Kamelia menjadi terluka. Air matanya hendak jatuh, entah mengapa aku langsung menggenggam tangannya ingin menenangkan. Namun, melihat sikap Kamelia yang kaku bahkan merasa takut, kulepas genggaman itu. Ia hanya tersenyum tipis, dan kemudian aku berdehem untuk menetralisir kecanggungan.
"Mr. Apakah masih lama?"
"Sebentar lagi."
Kulihat gadis itu nampak mendesah, yang lebih anehnya keningnya berkeringat. Kamelia nampak gelisah.
"Ada apa?"
"Bisakah aku buang air besar terlebih.."
"Pergilah." Kataku memotong ucapannya. Sungguh gadis itu luar biasa aneh.
Kamelia berbeda dengan kedua istriku, yang kunikahi karena terpaksa. Ya, ayah mereka memintaku untuk menikahinya karena mungkin mereka tergiur dengan kekayaanku. Meskipun, kedua wanita tersebut adalah pacarku dulu.
Tiara, istri pertamaku. Ku akui, wanita itu sangat anggun dalam bersikap dan mampu menempatkan diri. Hanya saja, aku tak begitu cinta padanya yang terlalu serius dalam banyak hal. Berbeda lagi dengan Jesika yang sedikit centil dan doyan berias diri. Jesika adalah tipikal wanita yang menggilai harta, jujur aku tak peduli saat wanita itu lebih memilih hartaku dari pada aku. Lagi pula aku dapat menikmati tubuhnya.
Sedangkan Kamelia, adalah gadis lugu yang kunikahi secara gratis. Ibunya menjual anaknya untuk melunasi hutang-hutangnya. Awalnya aku enggan, siapa yang ingin menerima gadis udik seperti Kamelia? Namun ketika melihat tubuhnya, aku terpikat jiwa priaku meronta-ronta. Meski masih belasan tahun, Kamelia cukup mempunyai tubuh yang menggiurkan. Terlebih wajah menggodanya mampu memanggilku, dan sejak saat itulah aku tertarik padanya. Meskipun Kamelia adalah gadis yang cerewet, aneh, udik dan jauh di atasku.
Aku menunggunya, sembari memperbaiki lagi jas yang ku kenakan. Ya, setidaknya aku harus terlihat modis di hadapan kolega. Cukup lama, kaki ku berdiri menunggu Kamelia. Sampai ahkirnya gadis itu datang dengan cengiran lebar merasa bersalah.
"Maafkan aku Mr."
"Sudahlah, kita tidak memiliki banyak waktu." Aku berjalan dengan cepat, Kamelia menyeimbangkan langkahku dengan susah payah. Dalam hati aku tersenyum geli melihat kekonyolannya.
___________________________________________________________
"Apa dia istri barumu?"
"Ya, bagaimana?" Tanyaku, Steven nampak memperhatikan Kamelia dengan takjub
"Hebat, di usiamu yang 35 tahun kau masih bisa mendapatkan seorang gadis?"
Aku berdecak, terlihat Kamelia tak nyaman di tempatnya. Steven benar-benar membuat aura ketampanan ku menurun. Lagi pula meski usiaku sudah kepala tiga, kejantanan dan ketampanan tak bisa di ragukan lagi oleh siapapun. Semua wanita bahkan terpesona.
"Apapun yang kuinginkan, hanya tinggal menjentikkan jari bukan?" Steven menyetujui perkataan ku, kepalanya mengangguk lalu tersenyum. Namun aku merasa tak nyaman saat Kamelia justru hanya terdiam di tempatnya tanpa minat. Paling tidak, gadis itu harus terlihat senang dengan topik pembicaraan dan bukannya malah penuh kebosanan.
"Kamelia sayang." Panggilku, gadis yang sedang melamun itu terkejut bahkan dari mimik wajahnya pun keheranan. Aku tahu, Kamelia terkejut karena aku memanggilnya dengan begitu manis
"Apa kau bosan?" Tanyaku, memastikan
Buru-buru gadis itu menggeleng, "Tidak." Jawabnya kaku
"Sebaiknya, kita bahas saja bisnis baru yang ingin kita buat?"
"Bi-bisnis baru?" Cicit Kamelia. Mataku melotot kearahnya.
"Ba-baiklah.." jawabnya terbata-bata
Steven mengambil napas terlebih dahulu, lalu mengeluarkan selembar kertas keatas meja. Aku merapikan jasku kembali, merubah posisi lebih dekat dengan Kamelia. Gadis itu menoleh mendapati ku dengan senyuman tipis. Sayangnya, Kamelia justru terdiam tanpa suara.
"Kamelia." Bisiku pelan, gadis itu mengedipkan matanya
"Ma-maaf."
"Jadi, hal yang menarik dari daerah bisnis yang akan kita buat adalah disana tempatnya sangat menarik. Ya, meskipun memang perjalanannya cukup jauh jika dari tempat tinggal kita."
"Selain itu apa lagi?"
"Tetapi setiap perjalanan selalu di suguhkan dengan pemandangan yang asri dan sejuk."
Aku tersenyum puas, sepertinya bisnis ini akan menguntungkan.
"Bagus, bagaimana denganmu sayang?"
"Hah?"
"Bagaimana denganmu?" Kataku mengulangi, meski sedikit geram aku tetap berakting sabar dihadapan Steven tak ingin memperlihatkan hubungan kami yang sebenarnya.
"Aku setuju." Jawabnya mantap, Steven tersenyum dengan senang. Lalu kami berjabat tangan dan tak lupa mengantarkan Steven untuk pulang.
Mataku beralih menatap Kamelia, gadis itu nampak lega di tempatnya. Senyuman kecil menggembang di bibirku, gadis polos memang menarik. Terlebih lagi, tubuhnya yang menggiurkan.
"Ada apa Mr.?"
Aku terkesiap, lalu berdehem mencari udara yang seakan semakin sempit saja. Ah, sialan! Aku gugup menatap mata indahnya.
"Tidak. Apa kau lapar?"
Dengan polosnya Kamelia mengangguk. Lalu kutarik saja gadis itu menuju restoran yang menjadi tempat favoritku.
Ya, Kamelia gadis yang lugu dan patuh. Hal itu pula yang membuatku semakin tertarik padanya, terlepas dari sikapnya yang udik. Tetapi Kamelia adalah gadis yang cantik.
"Mr. Brayen."
"Ya?"
"Bisakah aku yang memilih tempat makannya?"
[Jangan lupa klik love ya, buat yang belum supaya aku semangat buat lanjutin cerita ini]