Gerakan kecil yang dibuat oleh Tino membuat kedua orang tuanya terbangun. Mereka berdua tersenyum melihat tingkah menggemaskan yang dilakukan oleh anaknya. Keduanya meraih tubuh kecil itu. Memeluknya dalam dekapan hangat yang sangat nyaman. Tapi, itu tidak akan berlangsung lama. Tino harus segera bersiap-siap menuju sekolah. Bus sekolah akan segera tiba. Jika mereka bertiga masih terus di atas tempat tidur, maka bisa dipastikan dia akan terlambat masuk ke sekolah.
“Ayo bersiap, bus akan segera tiba.” Sisca bangkit, dia menarik tangan Tino dengan perlahan.
Tino mengelak, dia menggeliat dan menolak ajakan Ibunya.
“Lima menit lagi, Bu,” jawabnya.
Kini, ganti Hito yang mencoba membujuknya. Tapi, bujukan yang diberikan oleh Hito sangatlah berbeda. Dia langsung menggelitik bagian tubuh dari Tino. Tino pun tertawa terbahak-bahak. Mencoba menguasai tubuhnya. Agar dia bisa terbebas dari gelitikan yang dilakukan oleh Ayahnya.
“Baiklah, aku akan bangun sekarang,” teriaknya. Saat dia merasa sudah tidak sanggup lagi menahan rasa geli yang dia rasakan di seluruh tubuhnya.
Hito pun menghentikannya, tepat setelah Tino berteriak. Dia duduk dan memandangi Ayahnya.
“Janji, kau tidak boleh pulang terlambat!” Dia mengajukan jari kelingkingnya. Untuk meminta sebuah tanda, agar Ayahnya tidak mengingkari janji yang mereka buat.
Hito melirik ke arah Sisca, anggukan yang diberikan sisca membuat dia harus membuat janji pada Tino. Padahal, dia tidak bisa memastikan. Apakah dia bisa kembali tepat waktu. Atau bahkan dia harus terjebak di sana dengan tugas yang masih belum selesai jug.
Pada akhirnya dia pun mengunci janji itu dengan kelingking yang saling bertaut, kemudian mencapnya dengan sentuhan kedua jempol mereka.
“Ayah sudah berjanji, baiklah aku akan segera pergi ke kemar mandi.” Dengan sedikit berjingkrak dia menuju kamar mandi. Dia merasa nanti, dia akan bisa makan malam bersama dengan Ayahnya. Tanpa dia mengetahui, apakah Ayahnya benar-benar akan menepatinya atau tidak.
Sementra itu, Hito melirik ke arah Sisca. Dia hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala. Hito berdiri, dia mendekat ke arah Sisca. Memeluknya dengan erat. Kecupan kecil pun dia daratkan di keningnya.
“Bagaimana jika aku akan pulang larut lagi?” bisiknya.
“Tidak masalah, aku akan mengajaknya jalan-jalan nanti sore. Dia akan kelelahan dan tidur lebih cepat. Kau, tidak pelru khawatir akan hal itu.” Dia mencoba menenangkan suaminya. karena dia tahu. Hito bukanlah orang yang mudah mengucap janji, jika dia memang ragu untuk bisa menepatinya. Tapi, ini adalah permintaan dari pangeran kecilnya. Bagaimana dia bisa menolak hal itu. Jika dia melakukannya, sudah bisa diketahui, Tino pasti akan kecewa dan malah mogok ke sekolah.
“Baiklah, aku juga akan bersiap,” jawab Hito. Mendengar penjelasan dari Sisca, dia pun merasa lega. Dia pun melanjutkan ritual paginya. Memakai seragam lengkap dengan segala atributnya. Hari ini, dia akan melakukan tugas terberat yang pernah ada. Masuk ke dalam tembok yang sudah sangat jelas dilarang. Tapi, bagaimana dia bisa menolaknya. Jika perintah itu ke luar dari mulut atasannya secara langsung.
Dia ikut menunggu bus sekolah datang. Mengantarkan Tino masuk ke dalam bus dan memastikan dia duduk dengan baik. Kemudian kedua orang tuanya melambaikan tangan padanya. Senyum merekah di wajah mereka. Tino pun sama, dia melambaikan tangan dengan sangat semangat. Karena dia sudah membuat janji dengan ayahnya. Bahwa dia tidak akan pulang larut malam lagi.
Hito memeluk Sisca dengan erat. Dia mencium Sisca dengan dalam dan lama. Seolah dia tidak ingin pergi dari sana. Dia enggan melakukan tugas yang tidak masuk akal itu. Tapi, mau bagaimana pun, dia harus tetap pergi dan melakukan tugasnya. Sebelum ancaman yang diberikan oleh atasannya menjadi nyata.
***
Bus berhenti di pperhentian terakhir. Halte bus terakhir yang dekat dengan wilayah tempatnya bekerja. Sebuah markas besar yang beranggotakan tentara-tentara hebat. Juga berbagai profesi hebat lainnya. Tidak hanya tentara, ada dokter, polisi, badan intelejen, profesor, peneliti dan masih banyak lagi yang lainnya. Tempat itu seolah markas khusus yang bekerja dalam bidang khusus. Yaitu meneliti tembok besar itu. Mencari tahu, apakah di sana masih ada bahaya yang mengancam atau tidak. Apakah mereka bisa mengambil barang berharga mereka atau tidak. Semua orang yang ada di sana mempunyai tujuan mereka masing-masing. Dengan tujuan yang beraneka ragam itu, mereka bersatu. Menyatukan kekuatan dan kecerdasan ilmu pengetahuan.
Hito merasa gugup, saat dia mendapati rekan kerjanya sudah bersiap mengenakan pakaian tempur. Mereka melambai ke arahnya. Mereka seolah sangat yakin bisa menyelesaikan tugas itu. Tidak ada keraguan dalam ekspresi mereka. Sementara Hito meragu, hatinya berkecamuk. Tapi, dia tetap saja menggunakan pakaian tempur itu. Rompi anti peluru dia kenakan di bagian dalam. Pakaian lengan panjang yang dibuat secara khusus dari benang-benang logam yang anti robek juga dia kenakan. Kemudian sepatu, helm dan kacamata berkamera pun juga dia kenakan. Semua atribut itu dibuat secara khusus, sesuai dengan tempat tujuan mereka. Pakaian mereka didesain anti gigitan. Sehingga keselamatan mereka bisa terjaga. Tapi, siapa yang akan tahu hal apa yang terjadi di sana. Sedetail apa pun persiapannya, mereka akan menemui hal-hal di luar nalar. Mereka akan menghadapi makhluk yang bisa saja menyerang dan menghabisi mereka.
Sebuah pesawat telah bersiap. Para tentara telah berjalan berbaris menuju pintu masuknya. Mereka masuk satu per satu ke dalam pesawat. Duduk di tempat yang sudah disediakan. Dengan perasaan yang tidak menentu, Hito pun menelan ludah. Karena, dia melihat tidak ada keraguan sedikit pun di wajah rekan-rekannya.
“Selamat pagi para pejuang. Ini adalah pesawat yang akan membawa kalian pergi ke markas terdekat denga tembok besar. Perjuangan kita akan dimulai dari sekarang. Apakah kalian semua siap?” suara yang mereka dengar dari pengeras suara adalah suara dari sang pilot.
Dengan penuh semangat semuanya berteriak, “Siap!” termasuk Hito pun melakukan hal yang sama.
Tidak berselang lama, pesawat pun mulai bergerak. Dengan kecepatan yang sudah diatur pesawat mulai meninggi dan mulai melayang di udara. Hito bisa melihat pemandangan di bawah sana menjadi tampak kecil. Dari tempatnya duduk dia berdoa, semoga dia bisa menepati janji kepada Tino anaknya.
Perjalan itu tidaklah lama, hanya memakan waktu sekitar empat puluh menit saja. Pesawat pun mulai mendarat. Mereka yang ada di dalam mulai bersiap. Saat pesawat telah benar-benar berhenti dan pintu telah dibuka oleh para petugas. Mereka pun turun satu per satu dengan tertib. Tubuh-tubuh kekar dan tegap itu terlihat begitu gagah. Kekuatan yang mereka miliki terlihat jelas dari cara mereka berjalan. Semua mata terpanah melihat kedatangan mereka. Di kota Demaka mereka di sambut dengan antusias. Mereka telah menantikan hari ini. Hari di mana mereka akan masuk ke dalam tembok besar itu. Menyisir setiap tempat. Mencari harta yang masih bisa mereka selamatkan.