Terkadang, apa yang ditakdirkan oleh Yang Di Atas itu berbeda dengan yang kita inginkan. Bila Yang Kuasa berkehendak lain, maka semua yang telah kamu rencanakan dengan baik, jauh-jauh hari sekalipun, akan tetap sia-sia saja. Seperti malam ini.
Aku telah merencanakan akan menghabiskan malam bersama Yuya sejak sebulan lalu. Aku telah bersusah payah belajar membuat strawberry shortcake, kue kesukaan Yuya, di sela-sela kesibukan risetku. Hanya dengan niatan untuk membuat Yuya terkesan, sekaligus meminta maaf padanya karena akhir-akhir ini aku sibuk sekali dengan urusan tesis.
Namun, saat akhirnya aku bisa membuat strawberry shortcake yang edible, justru Yuya meninggalkanku. Aku bersusah payah belajar membuat kue sejak lama hanya untuk aku berikan ke tetangga yang tidak terlalu kukenal. Lebih buruk lagi, aku lupa menyisakan kue untuk 'tamu'-ku. Sehingga saat ini, kami hanya makan buah potong untuk makanan penutup.
"Maaf, aku tadi sebenarnya berniat makan malam di luar. Jadi, tidak ada makan malam yang layak untuk saat ini," ujarku sambil menahan tangis karena teringat lagi tentang peristiwa hari ini. "Aku juga lupa menyisihkan cake untuk anda."
"Sudah kubi—"
Tuan Fujisaki, menghentikan ucapannya karena melihatku yang kini telah meneteskan air mata, tanpa kusadari tentunya. Orang lain mungkin mengira saat ini aku sedang mencari simpati dari pria kaya di hadapanku. Tapi sungguh, aku tidak meniatkan apa pun. Kurasa, air mata yang keluar saat ini, juga bagian dari takdir Yang Maha Kuasa.
"Kumohon hentikan tangisanmu, aku tidak tertarik dengan wanita muda," komentarnya dengan nada dingin. "Maaf, aku tidak seharusnya mengatakan hal ini kepada penolongku. Tapi aku hanya ingin mengatakan yang sejujurnya."
Oh, ternyata Tuan Fujisaki punya pikiran seperti orang kebanyakan. Memang sih, normalnya, apalagi yang diharapkan oleh wanita muda yang secara tidak sengaja menolong seorang business tycoon. Dulu pun, aku adalah orang semacam itu. Yang punya pikiran picik tentang manusia. Namun, bila posisinya dibalik, ternyata sangatlah tidak menyenangkan.
Mungkin saja, dia tak bermaksud mengatakannya untuk menyakitiku. Namun, tetap saja hatiku tersakiti. Walaupun aku berusaha memaklumi kelakuan Tuan Fujisaki, tetap saja rasa marah atas penghinaannya tidak bisa hilang. Orang yang kutolong, ternyata seekor ular berbisa. Yang tetap akan mematuk walaupun manusia itu berusaha menolongnya dari perangkap. Lagi-lagi, takdir yang membuatku menolong pria yang tak tahu terimakasih ini.
Segera kukemas laptop ke dalam tas, dan berpakaian lengkap. Setelah mengenakan jaket hijau anti air bertudung bulu, aku pun segera keluar dari rumah. Sekilas kulirik wajah Tuan Fujisaki yang hanya terdiam menggigit bibirnya.
"Aku ke apato teman! Anggap saja ini rumah sendiri," seruku sambil memakai sepatu boots. Kemudian segera keluar apato dengan sangat kesal. Bila tak ingat tentang tetangga yang akan terganggu dengan suara ribut, aku pasti sudah membanting pintu hingga membuat lantai dua bergetar.
Salju telah berhenti turun, menyisakan hamparan karpet putih yang membuat malam ini cukup terang. Salah satu hal yang kusukai dari malam bersalju adalah saat seperti ini. Dimana aku merasa malam tak lagi mencekam karena kegelapan mulai sirna.
Aku terus melangkahkan kaki, menembus jalanan bersalju, dengan pikiran tak menentu. Melihat bekas yang ditinggalkan oleh kakiku, ternyata salju malam ini cukup tebal untuk bulan Desember yang hampir tak pernah turun salju. Mungkin sekitar sepuluh centimeter? Lima belas?
Tak lama, aku sudah berada di dekat apato tempat Risa tinggal. Aku tahu, Risa bilang, dia akan ke tempat pacarnya untuk melewatkan malam ini bersama. Tapi aku sungguh marah ke Tuan Fujisaki yang telah seenaknya sendiri mengatai aku menggodanya.
Jadi, kuputuskan akan menunggu saja di tempat Risa, malam ini, sampai dia pulang. Kebetulan, aku masih memegang kunci apato Risa yang dia titipkan padaku beberapa hari lalu saat dia meminta tolong padaku untuk mengambilkan laptopnya yang tertinggal. Ternyata, ada untungnya juga aku lupa mengembalikan kunci waktu itu.
Apato Rose Garden adalah apato yang berukuran lebih kecil dari apato Full House, tempatku tinggal. Merupakan bangunan dua lantai yang terdiri dari empat unit apato di setiap lantai. Ukuran tiap kamar sekitar 22 meter persegi sehingga cocok ditujukan untuk penyewa single.
Aku berjalan menaiki tangga menuju unit 202, kamar Risa. Kulihat lampunya masih menyala, padahal dia tinggal sendiri di sini. Apakah dia lupa mematikan lampu sebelum keluar?
Sayup-sayup, kudengar suara orang bercakap-cakap. Hmm? Mungkin dari kamar 201 atau 203, karena lampunya juga masih menyala.
Ceklek!
Kuputar handle pintu setelah membuka pintu yang terkunci. Aneh. Apakah Risa lupa mematikan AC dan heater? Hangat sekali udara di dalam apato. Kemudian, pandanganku tertuju pada hal yang aneh. Dua sepatu boots yang masih basah terkena salju. Sepasang boots laki-laki berwarna biru navy. Sepasang yang lain adalah boots wanita selutut warna coklat dan berbulu di bagian atas.
Dua pasang sepatu boots yang sangat familiar, melekat kuat di memori. Bahkan aku bisa menemukan keduanya bila harus mencari di antara ratusan boots lain. Karena aku hafal sekali bentuk dan ukurannya. Bagaimana tidak? Keduanya adalah boots yang aku pilih sendiri dan hadiahkan untuk kedua orang yang sangat berharga di dunia ini.
Namun, aku tetap berusaha untuk berpikir positif. Barangkali, itu orang lain, yang kebetulan membeli produk limited edition dengan ukuran dan warna sama. Barangkali, mataku hanya berimajinasi saja. Barangkali, aku salah ingat. Barangkal—
Pikiranku teralihkan oleh suara-suara yang bisa kau bayangkan bila ada sepasang manusia dewasa berada dalam satu ruangan di malam hari. Kupercepat langkah menuju pintu kamar yang sedikit terbuka. Kemudian, pemandangan yang tersaji di hadapanku mengkonfirmasi semua pertanyaan yang dari tadi berkecamuk di benakku.
"Sara!" pekik si wanita yang wajahnya memerah, bukan karena melihatku, namun karena hal yang sedang dia lakukan bersama dengan pria yang bersamanya. Ditariknya futon cover warna putih untuk menutupi bagian tubuhnya yang terkspose.
Si pria yang tadi memunggungiku, serta merta menoleh karena terperanjat. Matanya membulat terbelalak, lalu melakukan hal yang sama dengan Risa. Mereka berdua berebut selimut yang sama sambil menyalahkan satu sama lain. Sangat bertolak belakang dengan kelakuan mereka sebelum kedatanganku, 'kan?
Pemandangan yang begitu konyol dan bodoh.
Mungkin, aku akan tertawa bila ini serial komedi yang ditayangkan di televisi. Bisa jadi aku sedikit tertawa sambil mengutuk, jika ini adalah cerita tentang orang lain. Namun, ketika ini adalah kejadian yang kualami sendiri, keinginan yang muncul saat ini adalah memuntahkan dua peluru dari sebuah senjata api. Tentunya bila aku punya, dan bila itu tidak melanggar hak asasi manusia.
"Biadàb!"