PESAN

1254 Kata
Di SD Negeri setempat aku mulai bersekolah di usia lebih awal. Aku masuk kelas satu saat usiaku belum genap enam tahun. Jadi aku berada di tingkat yang sama dengan sepupu kembarku, begitu juga Katherine. Masa SD kulewati dengan menyenangkan. Selain Daphne dan Davina, aku memiliki seorang teman akrab disini. Dia bernama Ningrum, Janitra Swastikaningrum. Nama yang indah bukan? Aku tak tahu pasti artinya, hanya saja di telingaku nama itu terdengar kuat dan cantik di waktu bersamaan. Orangtua Ningrum adalah pembuat nisan dan batu-bata merah. Pekerjaan yang lumrah terdapat di daerah ini. Lalu kakak laki-lakinya, Mas Jagad Satriadhi, adalah teman Danisha Behan. Tak seperti Ningrum yang berparas cantik dan garang, Mas Jagad justru nampak kalem dan menenangkan. Meski memang fitur wajah mereka hampir sama tapi pancaran aura yang ditampilkanlah yang berbeda. Ningrum anak yang supel dan pintar. Dia teman yang menyenangkan. Kami selalu duduk sebangku sejak kelas satu SD. Lalu ketika SMP kami juga masuk sekolah yang sama. Bahkan aku juga memaksanya untuk mengikuti program akselerasi bersamaku. Berhubung dia pintar hal itu bukan masalah sulit, tapi biaya adalah masalah yang tak tega ia bebankan pada orangtuanya. Hingga akhirnya Paman Ranjit memaksa Pak Priyadi dan Bu Sartinah untuk menerima bantuan kami. Masalah selesai. Hanya Ningrum-lah satu-satunya temanku yang tidak memperlakukanku seperti orang asing. Bagaimana tidak? Penampilan fisikku dan saudara-saudaraku jelas beda dengan orang-orang pribumi. Sebab hanya Abuela dan Yangti saja yang asli Indonesia, Abuela adalah Cina-Jawa dan Yangti adalah Cina-Bugis, ditambah lagi dengan gen para kakek yang lebih dominan. Aku memiliki kulit cantik sewarna zaitun, dan meski tergolong gelap tapi masih lebih terang dari kebanyakan warna kulit anak-anak pribumi. Lalu iris mataku sewarna kabut, abu gelap. Belum lagi rambut gelapku yang sewarna kayu manis dan tidak sama terang satu sama lainnya. Pada awal masuk SMP aku sempat iseng bertanya pada Ningrum apa dia tidak bosan menjadi temanku. Tapi karena otak kami sefrekuensi maka obrolan kami menjadi ngalor-ngidul dan sedikit absurd pada waktu itu. Cukup menggelikan memang, tapi itu pasti akan kami rindukan saat kami beranjak tua nanti. “Kenapa? Kau bosan jadi temanku?” Ningrum membalikkan pertanyaan. Aku berdecak sebal. “Kau tidak memberi jawaban, Ningrum.” Dia terkekeh. “Kira-kira alasan apa yang bisa membuat aku bosan berteman denganmu? Sedangkan dari kelas satu SD aku sudah duduk di sebelahmu.” “Entahlah. Mungkin kau juga tidak suka jadi pusat perhatian dimanapun aku melangkah. Belum lagi mereka yang suka membanding-bandingkan kita. Yeah, kau tahu Ning?” kataku sedikit ragu. “Aku sedikit merasa bersalah padamu.” Ningrum tersenyum sambil sedikit mendengus. Membuatku semakin gugup. “Dengar Gauri, bersama denganmu ataupun tidak, mereka akan tetap memandangku dengan tatapan yang sama. Merendahkan.” Ucapnya dengan lembut. Dan seketika aku menyesal sudah mengangkat topik ini dalam obrolan kami. “Boleh saja mereka anak para ningrat ataupun pejabat, tapi isi otak mereka tak bisa membohongi nilai diri yang mereka miliki.” Tambahnya lagi dengan enteng. Apa kalian percaya obrolan anak awal SMP bisa sampai sejauh ini? “Lagipula biarpun seluruh manusia mengatakan aku buruk rupa, kalau aku bilang aku cantik memangnya mereka bisa apa? Benar tidak?” Selorohnya. Dia memang temanku. Aku tertawa mendengar ocehan Ningrum. “Siapa yang mengajarimu berkata seperti itu, Ning?” Tanyaku sambil memeluk dan mencium pipinya dengan gemas. “Hentikan, Gauri! Kau membuatku sesak!” Jeritnya sambil mendorong wajahku yang masih tertawa lebar. “Seseorang yang sangat kukagumi dan kuhormati mengajarkan itu padaku.” Jawabnya setelah kami duduk kembali di tempat masing-masing dengan tenang. “Kapan aku melakukannya? Aku tidak ingat.” Ningrum menatapku kesal dan itu membuatku tertawa lagi. “Baiklah, baiklah, siapa dia?” “Ibu Stevie.” Dia menyebutkan nama Bibiku dengan senyum yang hampir sama hangat dengan milik Bibi Stevie sendiri. “Kau tahukan kalau ibuku juga suka mengirim hasil rempah kebun kami?” Aku mengangguk. “Meski jumlahnya tidak banyak tapi Bibimu tetap menerimanya untuk masuk ke pabrik. Kadang aku juga ikut dengan Ibu saat mengantar dan aku tak ingat kapan, tapi itu sudah lama, Ibu Stevie mengajarkan itu padaku saat aku datang dalam keadaan murung.” “Siapa yang membuatmu murung? Kau tidak menceritakannya padaku.” Gerutuku tak terima. “Itu tidak penting. Aku akan cerita kalau kasusnya membuat nyawaku dalam bahaya.” Jawabnya sambil berkelakar. Aku menatapnya tajam. “Jangan berkelakar dengan hal seperti itu, Ningrum. Kau tahu betul kan Allah dan para malaikat tidak pernah tidur.” Ucapku kesal dan dia hanya tertawa. “Iya. Iya. Aku hanya bercanda.” Kata Ningrum di sela tawanya. “Maka dari itu aku ingin tumbuh menjadi wanita seperti Ibu Stevie.” Lanjutnya penuh tekad. “Jadi kau mau lanjut ke DAIS (Dhirubhai Ambani International School, Mumbai-India) bersamaku setelah akselerasi kita disini selesai?” Tanyaku dengan antusias. “Tidak.” Jawaban mantap Ningrum membuatku menyebikkan bibirku yang langsung dicubit olehnya dengan gemas. “Aku benar-benar mengaguminya. Tapi bukan berarti aku mau menerima semua kebaikan yang ditawarkannya padaku, Gauri. Itu caraku menjaga harga diri orangtuaku. Kau paham betul itu. Dan kuharap kau tidak membahasnya lagi ya.” “Baiklah. Aku tidak bermaksud mengusikmu. Hanya saja……. pasti menyenangkan jika kita tetap bersekolah di tempat yang sama.” “Aku tahu itu. Tapi sejauh apapun jarak kita nanti, tidak akan ada yang berubah. Teknologi semakin canggih, transportasi juga semakin baik, pasti kita akan tetap dekat.” Ningrum merangkulku. “Aku akan melanjutkan sekolah keperawatan di sekitar sini saja. Jadi aku bisa tetap dekat dan belajar banyak dari Ibu Stevie. Bagus kan rencanaku? Jangan bocorkan ini pada Bibimu agar dia tidak menarik biaya belajar dariku.” Lanjutnya dengan cekikikan dan akupun tak bisa menyembunyikan tawaku. Aku dan dia punya rencana untuk hidup kami masing-masing. Aku tidak bisa dan tidak akan memaksanya. Kami akan bahagia dengan hidup dan rencana kami masing-masing. Kami punya cerita sendiri-sendiri yang ingin kami goreskan dalam lembar kehidupan kami. Masa SMP kuhabiskan kurang dari dua tahun di Jogja. Kenapa aku mengambil akselerasi? Karena aku sudah tahu kemana arah tujuanku, dan semakin cepat bergerak semakin baik menurutku. Tentu saja semua mendukung. Apalagi Yangkung Murad yang berada jauh di Kashmir sana. Pasukan yang ada di belakangnya akan semakin banyak nantinya, begitulah menurutku kira-kira. “Keluargamu bukan hanya Mami, Papi, dan keenam kakakmu saja, mi quiera nieta (cucuku sayang). Kita semua keluarga. Kau punya banyak tempat untuk pulang. Jogja tentu saja, Cordoba, Kashmir, Patras, dan yang sedang tren sekarang adalah Seoul. Entahlah, mereka punya saja alasan untuk membuat ‘rumah’ disana.” Abuelo menggeleng-geleng lelah(?) dan hanya kutanggapi dengan kekehan. "!Nunca olvides, mientras estemos juntos es el hogar! (Jangan pernah lupa, selama kita tetap bersama itulah rumah!)” Begitulah yang Abuelo Segundo katakan padaku beberapa hari sebelum ujian akhirku untuk kelulusan SMP dimulai. Dia memiliki efek yang lebih kuat dari obat penenang jenis apapun di dunia ini. “Kau tahu, mi quiera nieta? Aku, Abuela-mu, juga Yangkung-Yangti-mu, kami semua adalah anak tunggal dari seorang wanita yang bukan istri utama para kakek buyutmu. Meski kami punya banyak saudara seayah, yeah kami kesepian.” Tampak kegetiran pada iris mata abu gelap yang ia wariskan padaku itu. “Tapi, apakah kau tahu? Sebagian besar mimipi kami sudah terwujud. Kami berempat menua dengan banyak anak-cucu di sekeliling kami, darah daging kami. Bahkan cicit.” Matanya berkaca-kaca, tapi tidak ada kesedihan disana. Binar matanya memancarkan kebahagiaan. Tapi entah kenapa malah membuat dadaku sesak. Sayangnya dia tidak bisa ikut mengantarku ke Mumbai nanti sesuai rencana. Aku memang tak semanja itu hingga harus diantar satu kompi keluargaku, tapi Abuelo sendiri bilang ingin mengantarku waktu aku memutuskan akan masuk DAIS setelah akselerasiku selesai. Tapi kini kesehatannya jauh lebih penting. Semangatnya boleh saja bak anak umur duapuluhan yang akan mendaki Everest, tapi umurnya tak bisa berbohong. Bahkan ia sudah mulai melakukan perjalanan dagang sejak Indonesia belum merdeka. Sekarang saatnya dia harus mengurangi acara jalan-jalan yang selalu ia sukai itu. Continuara………
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN