THEY GIVE NO SPACE FOR MY BLUES

1919 Kata
Meski Abuelo sudah meninggalkan kami semua untuk selama-lamanya, tapi tidak banyak hal yang berubah. Seperti pagi ini. Bumi tidak terbelah, angin masih berhembus seperti biasa, langit masih kokoh menjulang di angkasa dan burung masih berkicau riang menyambut datangnya pagi. Bahkan seperti pagi-pagi sebelumnya, Abuela tetap ikut berkutat di dapur bersama para rewang untuk memasak sejak masih gelap tadi. Apalagi hari ini dan beberapa hari kedepan pasti kami akan masak besar, karena ada banyak perut yang akan diberi makan. Jadi, sepertinya aku tak punya cukup waktu untuh menangisi kepergian Abuelo. ‘Tapi tetap saja!!!’ Jeritku dalam hati. Aku benar-benar merasa sedih, aku seperti seorang pendaki yang kehilangan pemandu di gunung yang baru pertama kali kudaki. Tapi, meski rasa kehilangan Abuelo begitu besar hingga membuat dadaku teramat sesak, kupikir aku tak boleh dengan seenaknya membagikan rasa ini pada yang lain. Aku bisa saja membuat suasana menjadi tidak enak nantinya. Terlebih pasti bukan hanya aku seorang yang merasa kehilangan. Jadi aku tak sepantasnya bertingkah seolah hanya akulah yang paling bersedih di dunia ini atas kepergian Abuelo. Dan yang pasti, Abuelo akan sedih dalam perjalanan pulangnya. Jelas kehadiran Abuelo yang kini terasa ‘kurang’. Biasanya selepas shalat subuh di Langgar, aku akan berjalan kaki bersama Abuelo, berkeliling desa sambil menunggu matahari terbit dengan banyak obrolan yang menyenangkan. Dengan senang hati ia akan membagi cerita masa kanak-kanaknya yang tak terlalu ia sukai di Cordoba, sampai tiba pada satu masa ia bisa menikahi Abuela dan membesarkan anak-anaknya sambil terus berpindah tempat untuk mengembangkan bisnis impiannya bersama Yangkung. Dia akan terus mengulang ceritanya lagi dan lagi tanpa membuatku bosan saat mendengarnya. Ajaibnya cerita yang beliau tuturkan bahkan membuatku merasa dekat dengan seluruh anggota keluarga yang lain meski kami sangat jarang bertemu dan berkomunikasi, terutama orangtua kandungku sendiri. Seperti yang dikatakan Jade semalam, kini aku dan dia sedang lari pagi bersama. Selepas shalat subuh kami berangkat menyusuri jalanan desa yang kadang berkelok dan kadang naik turun. Melewati banyak ladang dan sawah milik Abuela yang hampir semuanya digarap oleh penduduk setempat. Kami terus berlari kecil di pinggiran hutan pinus yang cukup luas di bagian timur desa, berbatasan dengan desa sebelah, dimana keluarga Ningrum tinggal. Penduduk menyebutnya Alas Sekar meski tak banyak bunga yang tumbuh di dalamnya. Kami berdua sama sekali tidak melakukan obrolan sejak keluar gerbang dan memulai acara lari pagi kami. Elita Jade, anak keempat dan putri kedua Tío Jemmy. Dia lahir di tahun yang sama dengan Kenneth. Dia orang yang tenang dan tak banyak bicara, tapi bukan berarti dia orang yang membosankan. Dia tipe kakak yang tampak acuh di luar. Tetapi didalam, dia adalah observator jenius dan dia akan bersikap sesuai situasi yang sudah ia pahami. Lalu, saat ini, aku adalah objek yang pastinya dengan gampang ia observasi. Jadi menghabiskan waktu bersamanya membuatku merasa nyaman. Karena dia sama sekali tidak bersusah payah untuk menunjukkan ‘aku sedang menghiburmu, dik'. Dia kakak yang baik. Matahari sudah mulai terbit ketika kami sudah menyelesaikan setengah rute lari kami. Setelah kira-kira jarak kami ke rumah tinggal setengah kilometer, Jade memberi isyarat untuk berhenti berlari dan mulai berjalan dengan santai. Baju kami sudah hampir basah sepenuhnya oleh keringat. Aku membuka ikatan rambutku agar sedikit terkena angin pagi yang baunya sangat segar, di sebelahku Jade juga melakukan hal yang sama. Tentu saja, kami melakukannya agar tidak pusing karena rambut kami yang lembab. Ketika langit makin terang, jalanan desa juga makin ramai dengan banyak orang yang mulai beraktifitas. Ada yang berangkat ke pasar, ada yang berangkat ke ladang dan sawah, aku juga melihat beberapa karyawan pabrik kosmetik tradisional Ibu Stevie yang sudah berseragam rapi berangkat menuju pabrik untuk bekerja. Semua orang yang saling berpapasan jalan pasti saling menyapa dan tersenyum ramah, kenal ataupun tidak, begitu juga pada kami berdua. Beginilah memang suasana kehidupan di desa. Ramah tamah yang kami miliki tak main-main. “Berapa hari yang akan kau habiskan di Mumbai nanti?” Tanya Jade mulai membuka obrolan. “Urusanku di DAIS sehari saja harusnya sudah beres. Pokoknya Kamis kami semua harus sudah disini lagi.” “Sekarang Sabtu.” Dia terlihat menghitung hari sambil manggut-manggut paham. “Apa kau mau dengar sesuatu?” Tanyanya lagi dengan senyum yang hambar. ‘Ada apa lagi ini?’ tanyaku dalam hati. “Masih pagi begini kau sudah mengajakku ghibah, Behan-ji?” tanyaku dengan ekspresi jenaka. Jade tertawa lebar. “Enak saja kau! Aku masih terlalu muda untuk melakukan hal aneh seperti itu.” Dia masih melanjutkan sisa tawanya. “Ini bukan ghibah, Gauri. Ini informasi yang sepertinya kita semua harus tahu. Cukup tahu saja.” “Apa itu?” aku juga ikut tertawa melihatnya tertawa geli seperti itu. “Icha Behan dan Seungwon Oppa resmi bercerai tiga hari sebelum Abuelo meninggal kemarin. Jadi empat hari lalu palu sudah di ketok di Cordoba.” Tawanya sudah hilang sekarang dan pandangan matanya berubah menjadi sendu. “Tapi kemarin Seungwon Oppa dan orangtuanya disini semua.” “Memang. Orangtuanya bahkan menginap disini. Tapi tidak dengan Seungwon Oppa.” “Abuelo tahu?” “Tidak. Icha Behan meminta Yangkung agar melarang semua orang membahas perceraiannya sebelum Abuelo sembuh.” Jade tersenyum masam dan dia diam agak lama. “Baru kali ini aku melihat Yangkung meneteskan air mata, Gauri. Saat ia menciumi puncak kepala Icha Behan setelah menyanggupi permintaannya. Aku bahkan tak bisa membayangkan bagaimana suasana hati Yangkung karena itu. Dia benar-benar benci perceraian.” “Bagaimana dengan Chrissie dan Christo?” “Kau pasti tidak percaya dengan apa yang akan aku katakan ini. Tapi keputusan yang diambil Icha Behan adalah atas desakan dua bocah itu.” Sepertinya tampang kagetku terlihat lucu dimata Jade hingga membuatnya terkekeh geli. “Sungguh! Bahkan Icha Behan mempraktekan perkataan si manis Christo di depanku dan yang lain beberapa malam lalu. Christo mengatakan, 'Allah memang membenci perceraian, tapi Mama tidak boleh diperlakukan seperti ini. Aku tidak benci Papa, tapi aku benci dengan apa yang Papa lakukan pada Mama. Aku akan segera minta diajari shalat taubat pada Yangkung buyut agar aku bisa memohon ampun karena sudah meminta Mama untuk bercerai.' Bocah manis itu mengatakan semuanya di depan keluarga besar Papanya.” “Masyaallah, he’s a real gentleman, in ten.” Aku tak sadar jika aku mengatakannya dengan mata berkaca-kaca. Sepertinya hati kami sama-sama menghangat karena Christo. Buktinya saat ini Jade juga tengah mengusap air mata yang hampir menetes ke pipinya. “Benar. Mindset Icha Behan dan anak-anaknya memang berada di level tertentu.” Aku mengangguk setuju. Chrissie yang semalam tidur di kamarku juga tampak biasa saja. Sama sekali tidak ada yang berbeda dari sikap Icha Behan maupun anak-anaknya. Meski aku juga tak tahu bagaimana seharusnya sikap seseorang yang baru saja bercerai. Semoga ini pertama dan terakhir kali, juga satu-satunya perceraian yang terjadi dalam keluarga kami. Aamiin. Tak terasa kami sudah sampai di depan gerbang depan rumah. Begitu aku dan Jade Behan melewati gerbang depan, hampir seluruh bagian halaman luar penuh dengan manusia berbagai usia yang tengah menikmati hangatnya sinar mentari pagi sambil bercengkerama, berjemur ataupun menjemur anak dan cucu mereka. Maklum saja, sebagian keluargaku tinggal di tempat dimana matahari tidak sehangat di Imogiri. “Wow, chicas, kalian berdua tampak segar sekali. Kenapa tadi pagi tidak ada yang mengajakku?” Terdengar protes dari Tío Juan yang duduk di lantai terbawah kuncung pendhapa. Dalam dekapannya ada Bianca kecil yang tengah digoda beberapa kakaknya yang duduk di sekeliling kakek mereka itu. “Kak Chiqui tidak akan mengijinkan Tío untuk membawa bayinya lari-lari.” Jawab asal Jade yang mengundang tawa. “Tadi pakai rute yang mana, Gauri?” Tanya Rohan Chāchā padaku. Dia sedang menggoda Daisy, cucunya yang berada dalam gendongan Caroline Behan. Dia menggosok-gosokkan jenggotnya hingga membuat bayi cantik itu tertawa geli. “Ngalor, Chāchā (Paman). Utara. Sampai mentok Alas Sekar, lalu putar balik.” Jawabku. “Itu kira-kira sembilan kilo, Bhai-ji. Kau yakin akan kuat membuntuti dua gadis muda yang penuh semangat ini?” Tanya Rohan Chāchā memprofokasi Tío Juan. “Aku baru lima puluh lima, Rohan. Kalau hanya untuk lari pagi sejauh itu saja tenagaku masih sisa banyak sekali. Bahkan jika saja rumahku dekat dengan Château de la Croix, pasti aku akan ikut latihan anak-anakmu setiap hari, Rohan.” Jawab Tío Juan penuh percaya diri. “Abuelo, harusnya kan lima puluh enam tahun ini!?” Protes Meghan, adik Martin yang setahun lebih muda dariku. “Itu masih tanggal tiga puluh satu nanti, Meg. Kau jangan mencuri start ya!” “Aigooo, itu hanya tinggal lima belas hari lagi, Abuelo. Dua minggu satu hari. Itu sama sebentarnya dengan mengedipkan mata.” Debat Meghan makin sengit. “Bagaimana bisa kau mengedip dalam waktu selama itu, nak?” beberapa orang tersenyum dan menahan tawa mendengar perdebatan lucu antara kakek dan cucunya itu. “Dengar, Meg. Kau tahu Planet Jupiter?” Meghan mengangguk. “Berapa diameternya?” “139.820 kilometer. Kurang lebih sepuluh setengah kali diameter bumi.” Jawab Meghan cepat. “Nah, planet sebesar itu saja membutuhkan waktu sembilan jam lima puluh lima menit untuk berotasi. Lalu bagaimana bisa kau mengatakan kalau lima belas hari itu sangat lah cepat?” Meghan memutar bola matanya malas. Beberapa orang tua, seperti Papi, hanya bisa tertawa geli dengan sanggahan Tío Juan yang tak mau kalah dari cucunya itu. “Lima belas hari itu sangat lama, Meg.” Tegas Tío Juan lagi. Jade tampak tertarik untuk duduk di atas rerumputan di dekat Katherine yang juga sedang menggoda Daisy. Aku pun memutuskan untuk ikut duduk di atas rerumputan sambil meluruskan kaki di dekatnya “Papi, tolong berhenti memenggal nama putriku seperti itu! Panggil dia dengan benar, dong!” Marianne Behan datang membawa dua gelas s**u di tangannya. Satu ia serahkan pada putri bungsunya, Marion, dan satu lagi ia berikan pada Kak Beya, istri Jeff Bhai. “Kalau tak bisa memanggilnya Meghan maka panggil dia Ah-reum. Itu tak terlalu panjang kan, Papi!” Omelnya. “Aku tak keberatan dipanggil begitu, Eomma.” “Bagaimana bisa begitu, Meghan Yang Ahreum? Nama seorang anak adalah do’a yang diberikan oleh orangtuanya. Itu do’a dari Eomma dan Appa-mu untukmu. Meghan bermakna mutiara lalu Ahreum artinya tentu saja cantik, jadi Abuelo-mu sekalipun tidak boleh membuat julukan lain padamu seenaknya. Haiyuuuh, mendengar namamu dipenggal seperti tadi saja sudah membuatku merasa kalau Abuelo-mu sedang memanggil seorang berandalan yang brutal.” Kami semua tertawa dengan omelan Marianne Behan. Benar. Suasana pagi ini sama sekali jauh dari kesan berkabung karena orang yang sangat kami cintai baru saja meninggal dunia kemarin. Ini lebih seperti acara kumpul keluarga yang sarat akan kerinduan satu sama lain. Rasa sedihku bukan apa-apa jika dibandingkan dengan bayi-bayi yang bahkan belum bisa berbicara disini, juga bayi-bayi yang masih berada dalam perut saudari-saudariku itu. Mereka tidak punya kesempatan untuk mengenal Bisabuelo mereka yang penuh cinta. Tapi aku, bahkan sampai detik ini, aku mengingat dengan jelas kasih sayang yang ia limpahkan padaku. Rasa sedihku belum seberapa jika dibandingkan dengan Tío Juan yang akan merayakan hari jadi dengan disambut oleh kematian ayah kandungnya terlebih dahulu. Aku membayangkan betapa sedih hatinya, tapi sedih itu tak terlihat pagi ini. Mungkin karena dia berpikir bahwa masih lebih banyak hal yang bisa membuatnya bersyukur daripada bersedih. Jadi kurasa aku pun harus menirunya. Aku mulai mengingatkan diriku lagi. Aku bisa memilih untuk terus bersedih atau mulai mensyukuri hal baik yang sudah terjadi dalam hidupku sejauh ini. Lalu selanjutnya aku akan mempertimbangkan, lebih baik yang mana, mendo’akan Abuelo dengan hati yang penuh kesedihan atau dengan hati yang penuh syukur. Sepertinya akan mudah mengambil keputusan dengan suasana yang diciptakan keluarga besarku saat ini. Continuara………

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN