Aku bukan orang picik yang akan meratapi sebuah kematian, “Kenapa tidak ada yang menjemputku kemarin, tadi malam, atau tadi pagi?” Aku tak akan pernah mengeluhkan hal semacam itu.
Memangnya siapa yang tahu kapan 'Sang Maut' akan datang? Memangnya jika aku berada disana apa takdir akan berubah? Memangnya aku siapa sampai bisa menghambat pekerjaan Malaikat Izrail? Lagipula kematian memanglah tujuan kita bukan? Aku, kau, kita semua bisa mati kapan saja, dan sekarang giliran Abuelo-ku yang dipanggil pulang.
Menurut kalian aku tak punya hati? Secara harfiah, jika aku tak punya hati pasti aku sudah mati. Jika yang kalian maksud adalah simpati. Tentu aku punya, tapi bukan itu yang dibutuhkan Abuelo-ku sekarang. DO’A. Dapat dimengerti?
Lagipula tadi aku sudah menangis. Jika kulakukan lebih lama lagi, itu tidak akan bisa disebut sebuah duka. Itu akan menjadi ratapan. Dan aku tidak sekurang ajar itu untuk meratapi apa yang sudah digariskan Sang Pemilik Kehidupan.
“Jadi? Martin itu adalah sepupumu yang lain?” Tanya Ningrum sambil melipat mukena.
“Sepupu?” Aku yang sudah selesai melipat mukena masih duduk bersandar ke dinding terdekat. “Bukan. Dia salah satu cicit Abuelo. Jadi dia keponakanku.” Aku tersenyum melihat raut terkejut di wajah Ningrum.
“Keponakanmu naik pesawat sendiri? Apa bapak-ibunya sudah gila?” Sontak pertanyaan Ningrum membuatku tertawa geli.
“Kau tahu sendiri kan, Ning. Kami Keluarga Besar. Sepupu tertuaku, dua anak tertua masing-masing bahkan lebih tua dariku. Abuelo punya empat orang cicit yang usianya lebih tua dariku, Martin salah satunya.” Jelasku.
Ningrum mengangguk dengan wajah serius yang membuatku makin geli. “Dia yang tertua?”
Aku menggeleng. “Dua yang tertua usianya sama dengan Renji Bhai dan salah satunya adalah kakak dari Martin.” Ningrum sudah duduk di sebelahku. Dia mengangguk paham. “Usia Martin sama persisi dengan usia Daphne dan Davina.” Ningrum mengangguk paham lagi. Kami lalu berdiri untuk keluar mushola karena Renji sudah memberi isyarat.
“Estamos en Mataram Café. ¿Sigues usted largo? (Kami di Mataram Café. Kau masih lama?)” Renji mengaktifkan loudspeaker.
“No. No. Acabo de salir de la puerta de llegadas. Voy a ir a ustedes de inmediato. ¡colgar, Tío Renji! (Tidak. Tidak. Aku baru saja meninggalkan arrivals gate. Aku ketempatmu sekarang. Dah, Tío Renji!)” sambungan telepon terputus.
Kami berempat duduk di salah satu sudut Mataram Café di dalam Bandara Adisucipto. Tak sampai lima menit, orang yang kami tuggu pun datang. Remaja tanggung berambut hitam, berkulit terang seperti kebanyakan orang Asia Timur, memakai hoodie dan jeans berwarna hitam. Rambutnya yang telat dipangkas tampak berantakan. Wajahnya, kusut. Kacamata minus berbingkai hitam yang ia pakai jelas tak menutupi mata lelahnya yang memerah. Usianya setahun lebih tua dariku tapi tingginya bahkan sudah melebihi Mas Jagad, dan kabar baiknya kemungkinan besar tingginya masih akan terus bertambah.
Dia menyungginngkan senyum di atas wajah lelahnya. “Assalamu’alaikum.” Salamnya yang kami jawab serentak. Dia mencium punggung tangan Renji lalu menempelkannya ke dahi sebelum memeluknya. Hal sama dia lakukan padaku, pelukannya sedikit lebih lama, bahkan dia sempat menarik nafas berat sambil kami saling mengusap punggung satu sama lain. Meski dia lebih tua dariku aku adalah bibinya.
Ada pergolakan emosi yang teramat kuat dalam diriku, Renji, Martin, bahkan mungkin Mas Jagad juga Ningrum. Hingga kami sama sekali tak membahas tentang Abuelo. Sekali bahas, maka pengendalian emosi yang mati-matian kujaga pasti akan jebol. Aku tak mau itu terjadi.
Setelah menyalami Mas Jagad dan Ningrum, Martin menarik satu kursi dari meja di sebelah meja kami yang tidak diduduki pelanggan. Dia duduk di antara aku dan Renji. Tampak sekali jika dia kelelahan. Minumanku dan minuman Renji pun tak luput dari serbuanya. Sedotan yang terpasang manis pun seperti tak memiliki fungsi.
“Bagaimana penerbanganmu?” Tanyaku saat dia mulai memeriksa buku menu. Ah, meski dia tidak bertubuh tambun tapi dia jago makan.
“Pantatku kebas. Rasanya seperti kapalan.” Jawabnya sambil meminta Renji memesankan makanan yang dia inginkan. Hanya aku dan Renji yang tertawa, karena memang Martin tidak berbicara Bahasa Jawa apalagi Inggris. Bahasa ibunya adalah Spanyol dan Korea. Lalu untuk Bahasa India dan Jawa dia hanya sebatas paham tapi tidak mempraktekkannya, lebih tepatnya tidak ada lawan bicara di sekitarnya yang menggunakan kedua bahasa itu.
Ningrum menyikutku pelan. “Kau yakin jika namanya Martin?” tanyanya setengah berbisik.
Aku menatapnya balik dengan geli sambil mengangkat sebelah alisku. “Memangnya orang Korea tidak bisa memiliki nama Martin?” tanyaku balik sambil terkekeh pelan. “Ibunya dia adalah sepupuku. Putri tertua Tío Juan. Pak Tua Tampan yang katamu seperti Dewa Zeus karena rambut lurus sebahunya yang berwarna putih itu.” Ningrum terlihat malu dan salah tingkah mendengar penjelasanku, begitu juga dengan Mas Jagad dan Renji yang ikut tertawa geli. Sedang Martin hanya memandang kami dengan wajah datarnya yang sudah tak sekusut tadi.
“Estoy seguro de que ustedes deben estar hablando de cosas sucias. Tu risa me hace cosquillas. (Kalian pasti sedang membicarakan hal-hal kotor. Tawa kalian membuatku geli.)” Martin memandang kami berempat dengan smirk diwajah tampannya.
Renji mengacak-acak rambut Martin gemas. “¡Esto es lo único que está lleno de suciedad! (Inilah satu-satunya hal yang penuh dengan kotoran!)” Ucapnya masih dengan tangan di kepala Martin sambil tertawa geli. Begitu juga dengan Martin yang ikut terkekeh. “Cepat habiskan makananmu lalu kita pulang!” Perintah Renji begitu pelayan meletakkan tiga jenis makanan yang berbeda di atas meja. Tak lupa secangkir kopi hitam dan segelas besar iced lemon tea.
“Wow, tu apetito es realmente algo eh. (Wah, napsu makanmu benar-benar sesuatu yah.)” ucapku iseng karena tiga hidangan yang Renji pesan tadi sudah Martin habiskan sendiri dalam waktu relatif singkat.
“Tujuh jam Incheon-Jakarta aku benar-benar tidur, karena aku selesai latihan sudah hampir subuh tadi. Sedangkan Jakarta-sini aku pusing berat. Lagipula kita harus banyak makan pada masa pertumbuhan seperti saat ini.” Jelasnya dengan lancar. “Ngomong-ngomong, sepertinya tinggi badanmu tidak ada pertumbuhan yang berarti ya dua tahun belakangan, Jageun Tiá (Bibi Kecil).” Balasnya padaku.
Hah! Dia sama sekali tak terlihat seperti orang yang kelelahan hingga bisa balas mengejek seperti itu. “Tengo dos palabras para ti. Tre-ce. (Aku punya dua kata untukmu. Tiga-belas).” Langsung kugamit tangan Ningrum dan mengajaknya meninggalkan Renji yang masih membayar di kasir dan juga yang lain menuju parkiran.
Perjalanan pulang ini benar-benar terasa sangat lama, mungkin karena tidak ada obrolan semenjak kami meninggalkan bandara. Persisi seperti rencana Renji tadi. Kami para ‘bocah’ duduk di kursi belakang, sedangkan dia duduk di samping Mas Jagad yang menyetir. Kali ini Ningrum rela duduk diapit olehku dan Martin yang sama-sama ingin duduk dekat jendela. Aku di belakang Renji dan Martin di sisi lainnya.
“¿Han enterrado al bisabuelo? (Apa kakek buyut sudah dikebumikan?)” Tanya Martin lirih.
“Belum.” Jawab Renji tanpa menoleh ke kursi belakang. “Bisabuela-mu meminta kami semua untuk bersabar hingga kalian berdua sampai rumah.”
Kembali lagi suasana menjadi hening. Aku dan Martin sama-sama lebih memilih untuk menatap pemandagan di luar jendela. Setelah mendengar jawaban Renji, rasa haru mulai lagi merayap naik ke permukaan hingga tak terasa meneteslah airmataku diluar perintah. Dengan susah payah kuatur nafasku sambil terus beristighfar dalam hati, agar pintu bendungan kembali tertutup.
“Bagaimana dengan Yangkung-Yangti?” tanyaku memecah keheningan.
“Tadi subuh sebelum Marshall dan Bapaknya datang, aku dan Ryosuke Nii-san juga baru saja kembali dari bandara menjemput Yangkung-Yangti, Tío Luis dan Anita Chāchī. Kami selisih tidak sampai lima belas menit. Bapak sama abangnya dia,” Renji menunjuk Martin dengan dagunya. “dijemput Kenneth dan Joshua.” Renji menghela nafas berat dan aku melirik matanya yang sedikit berkaca-kaca dari spion tengah dengan cukup jelas. “Alhamdulillah Yangkung-Yangti sempat melepas rindu dengan Abuelo. Bahkan setelah sarapan Abuelo sempat berkelakar pada Yangkung yang terus duduk menemani di samping ranjangnya.”
Sesak lagi rasanya. Apalagi Martin yang terlihat seperti sedang tidur, terdengar mengambil napas dengan sedikit tersengal. Tanda bahwa dia sedang menahan tangis. Suasana kembali hening.
Yangkung. Tiba-tiba aku teringat perkataannya beberapa tahun silam. Saat Katherine berselisih dengan Miya Chāchī, ibunya. Aku tak bisa memutuskan siapa yang salah dan benar ketika Yangkung menanyakan pendapatku dan aku tak bisa memberikan komentar apapun.
“Memang semua hal di dunia ini selalu berpasangan, Nak. Persisi seperti Yin dan Yang. Tapi ada banyak hal yang harusnya tak dinilai seperti itu. Terutama tentang hal yang sering disebut ‘Benar’ dan ‘Salah’.” Yangkung hanya tersenyum ketika melihat wajah bingung yang kutunjukkan. Tidak ada yang kukatakan.
“Kau akan paham satu hari nanti.” Lanjut Yangkung. “Pada intinya, jika satu hal dianggap ‘Benar’ belum tentu yang lainnya ‘Salah’. Begitupun sebaliknya. Bisa saja keduanya ‘Benar’.” Yangkung berhenti sedikit lebih lama untuk menghisap kretek-nya. “Bahkan, bisa juga keduanya ‘Salah’.”
Otakku yang masih muda dan belum terlalu lama digunakan, makin bingung dan penasaran dengan isi pembicaraan waktu itu. Memang aku masih sangat muda, tapi memang seperti itu jugalah cara mendidik para kakek-nenekku. Cara mereka memasukkan segala macam sudut pandang dan cara berpikir.
“Maka dari itu, Gauriku sayang, jangan pernah mencintai sesuatu secara berlebihan. Apapun itu. Karena cinta yang buta akan membawa malapetaka. Naluri dan Nilai (baca: cinta dan norma) harus berjalan bersama, beriringan. Ingat itu dengan baik, Nak!” Ia memutus lagi penjelasannya untuk menyelesaikan hisapan terakhir kretek-nya.
“Ketika dua hal itu sudah berjalan bersama dan kau masih merasa sakit, sedih, marah, bahkan hancur, maka yang harus kau lakukan adalah berbaik sangka pada-Nya. Tanpa 'tapi'.” Yangkung tersenyum sambil menengadahkan tangannya seperti sedang berdo’a untuk menunjukkan keberadaan Tuhan. ”Jadilah rakus dengan mengambil sebanyak mungkin pelajaran yang mampu kau pahami dengan merendahkan seluruh ego yang kau miliki. Cintai kami secukupnya saja.”
Continuara………