Rendra mengecup kening Elin yang sudah tertidur pulas, dan memandangi wajah Elin yang sangat cantik saat tertidur. Dia kembali memikirkan ucapan bundanya beberapa bulan yang lalu, sebelum dirinya ke luar negeri untuk menjalani program bayi tabung. Bundanya menyarankan dirinya untuk menikah lagi, agar bisa memiliki keturunan, itu semua karena bundanya tahu, kalau Elin akan sulit hamil, setelah dirinya melakukan operasi pengangkatan sel telur.
Rendra kembali melihat hasil dari dokter yang menyatakan gagal, Dia meremas kertas yang menyatakan programnya gagal. Rendra sebenarnya tidak terlalu mempermasalahkan dirinya yang sampai saat ini belum diberi keturunan. Namun, ayah dan bundanya yang berharap besar, agar Rendra dan Elin segera di berikan keturunan. Apalagi bundanya yang terus mendesak Elin agar cepat hamil.
Rendra mendengar ponselnya yang bergertar. Dia melihat ada pesan masuk dari bundanya. Rendra membuka dan membacanya.
“Ren, ini sudah kedua kalinya kalian gagal menjalani program bayi tabung. Bunda minta, agar kamu mempertimbangkan saran dari bunda kemarin, sebelum kamu berangkat ke luar negeri untuk menjalani program bayi tabung.”
Begitu isi pesan dari bundanya. Rendra semakin bingung, dia tidak bisa menyakiti Elin, dengan cara menikah lagi. Menyakiti dengan kata-kata kasar atau yang terlalu monohok di hati istrinya pun dia tidak pernah, apalagi menikahi wanita lain. Itu tidak akan mungkin bisa ia lakukan.
“Enggak, Bunda. Rendra enggak mau mempertimbangkan itu. Rendra tidak ingin menyakiti Elin. Maaf, Rendra tidak bisa mengabulkan saran atau permintaan bunda, Rendra tidak sanggup dan tidak bisa. Apa bunda tega melihat menantu kesayangan bunda sakit?” balas Rendra.
Rendra menghapus pesan dari bundanya. Dia mematikan ponselnya, dan tidru di samping istrinya. Rendra tidak mengerti mengapa bundanya tega memberikan saran seperti itu. Menyuruh dirinya menikahi wanita lain, dan akan membujuk Elin agar Elin juga menerima sarannya. Itu tidak bisa Rendra lakukan, karena dia sangat mencintai Elin.Rendra memeluk istrinya, dia melihat wajah istrinya yang sudah tertidur pulas.
“Tidak, aku tidak bisa menyakiti istriku, aku sangat mencintainya, meski Elin tidak bisa hamil, aku tidak akan pernah menikah lagi. Sungguh konyol sekali saran yang bunda berikan, apa naluri bunda sebagai seorang istri sudah tidak ada lagi? Hingga bunda menyuruhku menikah lagi? Seorang wanita, mana mungkin mau di madu? Meski ikhlas demi kebaikan, itu semua hanya ikhlas di mulut saja. Hati wanita sungguh rapuh dan sangat lembut, aku tidak bisa menyakiti istriku,” gumam Rendra.
Rendra masih memandangi wajah istrinya. Dia meneteskan air matanya, membayangkan jika bundanya terus mendesak menyuruh dirinya menikah lagi hanya demi mendapatkan sebuah keturunan.
“Mas, kok belum tidur? Mas matanya merah sekali, mas habis menangis?” tanya Elin yang tiba-tiba bangun, karena merasakan tenggorokannya kering.
“Mas tidak apa-apa, mas sudah mengantuk saja, tapi masih ingin memandang wajahmu yang cantik,” jawab Rendra dengan berbohong.
“Hmmm... gombal, pasti ada yang disembunyikan dari Elin, ya?” tebak Elin.
“Enggak, memang menyembunyikan apa?” jawab Rendra. “Kamu kok bangun?” tanya Rendra.
“Aku haus,” jawabnya manja dengan suara yang serak.
“Sebentar aku ambilkan minum dulu,” ucap Rendra dengan bergegas beranjak dari tempat tidurnya untuk mengambilkan air putih untuk Elin.
Elin menunggu di tempat tidurnya, dia masih bertanya-tanya dalam hatinya. Dia yakin, mata merahnya Rendra bukan karena mengantuk, tapi karena Rendra menangis.
“Pasti Mas Rendra menangis karena dia menyesali program kita yang gagal. Ah, mungkin perasaanku saja, tapi memang Mas Rendra kelihatan mengantuk sekali, sih,” gumam Elin.
Rendra kembali masuk ke dalam kamarnya, dia membawakan air putih untuk istrinya. Elin meneguk air putih dan memberikan kembali gelasnya pada Rendra. Rendra bersiap untuk kembali tidur, dia memeluk istrinya yang tangannya masih bermain kancing piyamanya.
“Tidur, Sayang,” ucap Rendra.
“Mas sedang tidak memikirkan sesuatau?” tanya Elin.
“Tidak, memang memikirkan apa?” jawab Rendra sembari bertanya pada Elin.
“Kali aja soal program yang gagal,” jawab Elin.
“Masalah itu? aku tidak memikirkan itu sama sekali, bagiku itu bukan suatu kegagalan yang sangat menyedihkan. Kita masih bisa berusaha lagi,” ucap Rendra.
“Ayo tidur, sudah malam sekali,” ajak Rendra.
Elin memeluk suaminya, sebenarnya dia tahu, ada yang Rendra sembunyikan dari dirinya. Tapi, Elin tidak mau membahasnya, karena dia memang sudah sangat mengantuk, dan besok dia harus kembali mengajar, karena sudah beberpa bulan ini dia cuti tidak mengajar.
^^^
Bu Dina tidak membalas pesan putranya lagi. Beliau juga masih memikirkan lagi keinginannya itu. Keinginannya untuk menyuruh anaknya menikah lagi. Beliau juga masih memikirkan bagaimana nanti perasaan menantu kesayangannya jika anaknya memenuhi keinginannya itu.
“Apa aku terlalu memaksakan Elin? Aku dan suamiku sudah tua, aku ingin sekali Rendra memiliki keturunan. Aku butuh penerus untuk keluarga ini, dan sudah hampir sepuluh tahun Rendra dan Elin belum memiliki keturunan. Apa aku egois, dengan menyuruh Rendra menikah lagi, hanya karena aku ingin memiliki cucu sekaligus penerus di keluarga besar ini?” gumam Bu Dina.
Bu Dina masih belum bisa tidur, beliau masih memikirkan perkataan Rendra tadi pada pesannya. Dia membolak-balikan tubuhnya di atas tempat tidur, hingga suaminya terbangun dari tidurnya.
“Bunda, kok belum tidur?” tanya suaminya.
“Bunda masih memikirkan Elin, Yah,” jawab Bu Dina.
“Kenapa? Bunda masih ingin meneruskan keinginan bunda? Menyuruh Rendra menikah lagi?” tanya Pak Ibnu.
“Itu yang sedang bunda pikirkan, Yah. Bunda ingin Rendra menikah lagi, tapi bunda sayang sama Elin, bunda tidak tega melihat Elin yang sakit karena keinginan bunda,” jelas Bu Dina.
“Itu yang ayah pikirkan juga, Bunda. Elin sudah seperti anak ayah sendiri, dan ayah sangat tidak tega jika melihat Elin di madu,” ucap Pak Ibnu.
“Sudah, Bun, jangan pikirkan ini dulu, biar Elin menenangkan pikirannya dulu, jangan membuat beban pikiran Elin, siapa tahu tahun depan Elin akan hamil, jika pikirannya tidak terganggu soal kehamilan lagi. Bunda yang sabar, pasti Elin hamil,” tutur Pak Ibnu.
“Iya, Yah, bunda akan sabar. Tapi, bunda juga ingin keluarga ini memiliki penerus nantinya,” ujar Bu Dina.
“Ayah pun begitu, tapi mau bagaimana lagi, Allah belum memberikan anak untuk Elin dan Rendra. Kita juga harus sama-sama sabar, Bunda,” tutur PaK Ibnu lagi.
Bu Dina sedikit bisa tenang hatinya, karena nasihat dari sauminya. Memang seharusnya Bu Dina lebih sabar lagi dan tidak menekan Elin untuk cepat-cepat memiliki momongan.
“Aku harus bisa sabar, aku memang sangat ingin memiliki cucu sekaligus penerus untuk keluarga ini, tapi mau bagaimana lagi, menantuku belum bisa hamil, tidak mungkin juga aku menyakiti menantu yang aku sayangi dengan menyuruh Rendra menikah lagi. Aku pun yang setua ini tidak ingin di madu, apalagi Elin yang masih muda,” gumam Bu Dina.