Bab tujuh.

1021 Kata
"Hah, alasan adikmu lagi. Kenapa nggak mati saja dia sekalian". Bani berteriak keras. Arfan hanya diam mengepalkan tangannya kuat. Ia menahan gejolak Amarah. Menghadapi manusia seperti ini memang susah. Andai saja bukan karena pekerjaan, Arfan pasti sudah menghantam mulut dari lelaki botak itu. "Aku tidak memberimu izin. Kalau kamu masih tetap mau bekerja di sini, jadi tetap patuhlah". Lelaki botak sekaligus buncit itu melangkah menjauh. Yang tanpa dia sadari, sedari tadi Rahmat mendengar ucapan Bani yang menyakitkan. Rahmat melangkah pergi tanpa berkata apa-apa. Tapi sebenarnya di dalam hatinya, ia sedikit tertarik dengan pria muda itu. Ya, dia merasa tertarik dengan kehidupan Arfan. Lelaki yang tampak kuyu dengan penampilannya. Saat jam istirahat dan pembagian nasi bungkus, Arfan justru terlihat menyendiri dan menyimpan nasi yang dia dapatkan. Rahmat lewat di hadapan Arfan yang sedang menatap kosong pemandangan di depannya. Pikirannya jauh menerawang entah ke mana. Sesuatu dari kantong Rahmat jatuh saat ia melewati Arfan. Arfan yang melihat itu, dengan cepat berdiri dan mengambil benda itu. Sebuah dompet kulit berwarna hitam. Saat hendak memanggil Rahmat, orang itu sudah berlalu dengan sangat cepat. Arfan menyimpan dompet itu di dalam bajunya. Ia berniat mengejar posisi Rahmat. Di luar dugaan, Arfan di cegat oleh tiga pekerja yang lain. "Apa yang lu umpetin di balik baju lu?" Tanya Seorang pekerja bertubuh jangkung bernama Jono. "Bukan apa-apa bang". Jawab Arfan tenang. "Lu pikir kita nggak tau kalo lu lagi ngumpetin sesuatu hah?" Ucap pria bertubuh pendek berisi bernama Kowo. "Beneran bukan apa-apa bang". "Lu kasih ke kita atau mampus lu". Ancam pekerja bernama Uki. "Nggak bakal bang. Saya mau balikin ke yang punya". Jawab Arfan tegas. "Alah. Lu pikir kita kagak tau. Tu barang mau lu embat kan?" Kowo melirik sinis. "Nggak bang. Ini mau saya balikin". "Ah lama lu". Bugh. Bunyi pukulan pertama di layangkan Uki ke perut Arfan. Arfan terduduk dan merintih kesakitan. Karena pukulan itu tepat di ulu hatinya. "Makanya Jan belagu. Kalo kita bilang kasih ke kita ya kasih". Ucap Jono puas. "Nggak bang. Ini bukan hak kita. Bukan hak Abang ataupun hak saya. Saya akan tetap menjaga ini walaupun harus di pukul" Arfan tetap memegang kuat dompet kulit itu. "Benar-benar lu. Abis emosi gua". Kowo mengangkat bagian atas kaos Kumal Arfan dan hendak melayangkan tinjunya, hingga tiba-tiba. "Ada apa ini?" Tanya Rahmat yang terkejut melihat pemandangan ini. "I ini pak. Arfan ngumpetin dompet. Waktu kita minta untuk di balikin dia malah nggak mau pak". Ucap Jono memutar fakta. "I iya bener pak". Jawaban itu di perkuat dengan dukungan Uki dan Kowo. Arfan yang masih merasakan nyeri di perutnya hanya menggeleng kuat. Tanpa penyangkalannya. "Apa benar itu Arfan?" Tanya Rahmat. "Itu tidak benar pak. Saya tadi mau mengejar bapak untuk mengembalikan dompet ini. Tapi saya di cegat sama mereka". Jawab Arfan seadanya. "Bohong pak". Sahur mereka bertiga. "Kalian pikir saya tidak tau yang sebenarnya terjadi?" Ucap Rahmat tegas. Wajah ketiga orang itu mendadak pias. Seperti maling yang ketahuan mencuri. Mereka hanya bisa menunduk tanpa melakukan pembelaan lagi. "Cepat kalian minta maaf pada Arfan". Perintah Rahmat. Mereka hanya diam di tempat. Tidak menunjukkan itikad hendak meminta maaf. "Jika kalian tidak minta maaf. Berarti kalian akan saya pecat. Saya tidak mau ada pekerja yang melakukan bullying di tempat ini". Ucap Rahmat tegas. Ketakutan jelas tergambar dari wajah mereka. Mereka dengan terpaksa meminta maaf pada Arfan. Tapi di dalam hati mereka, mereka menyimpan dendam sakit hati pada Arfan. Setelah itu ketiga manusia itu pergi meninggalkan Arfan dan Rahmat sendiri. "Ini dompet bapak". Ucap Arfan sopan, mengulurkan dompet milik Rahmat dengan kedua tangannya. "Alhamdulillah, terima kasih ya nak". Ucap Rahmat. Ia membuka dompet dan berniat memberikan Arfan sejumlah uang. "Terima ini nak". Rahmat mengulurkan uang ratusan ribu berjumlah tiga lembar. "Tidak usah pak. Saya ikhlas membantu bapak". Arfan menolak secara halus. Berkali-kali di paksa Arfan tetap menolak. Tak ingin melukai harga diri Arfan, Rahmat menarik kembali uang itu. "Tadi saya dengar adik kamu lagi sakit?" Tanya Rahmat. "Iya benar pak". "Kalo di perbolehkan, sore nanti saya mau jenguk adik kamu". "Bapak nggak keberatan?" Tanya Arfan merasa tak enak. "Tentu tidak nak". "Baiklah pak". Ada rasa senang dalam hati Arfan, karena ada orang yang masih peduli pada adiknya. "Ya sudah, sekarang kamu kerja dulu". Ucap Rahmat menepuk pundak Arfan dan berlalu meninggalkan Arfan. *** Sepulang kerja, Arfan pulang dulu ke gerbong tempatnya tinggal. Ia mandi dan berganti pakaian, juga mengambilkan pakaian Fikri. Rahmat memaksa untuk mengantar Arfan. Entah mengapa kesan pertama bagi Rahmat untuk Arfan terkesan baik. Jadi ia berusaha membuat anak itu nyaman. "Sudah?" Tanya Rahmat. "Sudah pak". Jawab Arfan sembari membawa bungkusan plastik berisi pakaian Fikri. "Kamu sudah lama tinggal di situ?" Tanya Rahmat begitu mobil sudah melaju. "Iya pak. Saya sudah lama tinggal di situ". "Kenapa kamu nggak cari rumah kos yang lebih layak?" Tanya Rahmat. Ada rasa iba dalam hatinya untuk pemuda ini. "Penghasilan saya tidak menentu pak. Cuma kuli, dan kadang untuk makan saja kurang". Jawab Arfan. "Bapak tidak perlu mengasihani saya. Saya masih sangat muda dan tidak layak di kasihani". Kata Arfan saat melihat wajah sendu Rahmat. Sebenarnya Arfan sangat tidak suka di kasihani. Ia merasa harga dirinya terluka saat ada orang yang mengasihani dirinya. "Ah, maafkan saya kalau sudah melukai harga diri kamu". Rahmat berbicara sungkan. Sementara Arfan membuang muka menatap ke arah jendela yang menampilkan mobil dengan lalu lalangnya. Beberapa menit kemudian, setelah obrolan singkat mereka, Arfan jadi lebih banyak diam. Arfan melangkah bersama Rahmat meninggalkan tempat parkir. Mereka melangkah melewati lobi dan menuju bangsal tempat Ilham di rawat. "Abang". Fikri menyambut dengan semringah. "Gimana keadaan Ilham Fik?" Tanya Arfan setelah memberikan bungkusan pada Fikri. "Ilham sudah agak lebih baik bang". Ucap Fikri menjelaskan. "Syukurlah Fik". Arfan mengusap kepala Ilham. "Hari ini Ilham jadi di periksa?" Tanya Arfan. "Sudah jadi bang. Katanya sore ini hasilnya keluar". Ucap Fikri menjelaskan. Arfan hanya manggut-manggut. "Ini baju gantimu, kamu mandi dan ganti bajumu. Arfan menyerahkan bungkusan plastik yang di bawanya tadi. Fikri menerimanya dan berjalan ke toilet umum di rumah sakit itu. Arfan berbincang ringan dengan Rahmat. Ia sedikit bertanya tentang asal-usul Arfan. Hingga sebuah panggilan mengagetkan mereka. "Ayah". Arfan dan Rahmat menoleh ke arah sumber suara. Ia melotot saat mengetahui siapa pengucap panggilan itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN