Bab lima

1026 Kata
'Dokter Zahra'. Pikiran Arfan tertuju pada dokter cantik dan baik yang telah menolong Ilham semalam. Arfan berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Matanya melihat sekeliling. Suasana yang ramai walau masih pagi. Beberapa dokter dan perawat juga berlarian karena ada pasien gawat darurat. Arfan melihat siluet yang familiar. Ternyata benar itu dokter Zahra. "Dok". Vian berjalan mengejar langkah dokter Zahra. Mendengar namanya di panggil. Dokter Zahra menghentikan langkahnya. Ia lantas menengok ke belakang. "Ada apa mas?" Tanyanya sopan. "A anu, eh maaf. Maksudnya ..." Arfan terbata. Entah mengapa berhadapan dengan dokter Zahra membuatnya jadi tidak normal. "Iya ada apa?" "Saya tadi dengar, kalau dokter bisa di panggil oleh dewan rumah sakit karena semalam melakukan pelanggaran. Apa itu benar Dok? Apa itu karena saya dan adik saya?" Tanya Arfan. Ia benar tidak bisa menahan diri. Ia merasa hanya bisa menyusahkan. Arfan bertekad untuk membantu. Tapi apa yang bisa dia lakukan? Pikirnya. Dokter Zahra menyunggingkan senyum indahnya. Arfan yang melihat itu, merasa ada yang berdesir lembut di dalam sana. Namun dengan cepat ia menyadarkan diri. 'Siapa aku sampai berani menyukainya'. Batinnya. "Bukan apa-apa mas. Bukan salah siapa-siapa. Mas nggak perlu merasa nggak enak. Yang penting sekarang mas fokus untuk kesembuhan adiknya ya". Ucap dokter Zahra lembut. Arfan hanya bisa mengangguk. Ia bingung harus berbicara apa lagi. Akhirnya dokter Zahra pergi meninggalkan Arfan yang masih terdiam sendiri. Di perhatikannya punggung wanita baik hati itu. Kemudian bayangannya hilang tak terlihat. Arfan melanjutkan langkahnya. Hampir terlupa, ada tujuan lain dari kepergiaannya. Ia membelikan sarapan untuk Fikri sebelum berangkat ke tempat kerjanya. Arfan merasa bersalah pada bocah itu. Ia merasa belum bisa menjadi Abang yang baik untuk kedua adik angkatnya. Pukul di 06.30 Arfan tiba di tempatnya bekerja setelah mengantar sarapan untuk Fikri. Waktu masih sangat pagi sehingga belum ada seorang pun pekerja yang datang. Ia duduk di atas tumpukan batu. Wajahnya kuyu. Arfan memang sudah terbiasa dengan kehidupan ini. Ia selalu berusaha mempertahankan harga diri walaupun dunia terus menerus menertawakan dirinya. Sejarah singkat tentang siapa Arfan dan bagaimana ia bisa bertemu kedua adik angkatnya itu. Sepuluh tahun yang lalu, atau tepatnya saat Arfan berusia tiga belas tahun. Ia bukanlah sosok seperti saat ini. Kehidupannya bersama kedua orang tuanya bisa di katakan sangat berkecukupan. Ayahnya merupakan pengusaha garmen yang sukses. Ibunya selalu mengurus Arfan dengan baik. Nasehat-nasehatnya masih selalu Arfan ingat hingga saat ini. Suatu hari, saat pulang sekolah, Arfan yang masih sangat muda itu menyaksikan ayahnya di datangi oleh pria yang selama ini Arfan tahu adalah sahabat ayahnya. Namanya Bara. Sahabat dekat sekaligus rekan kerja ayahnya. Namun, kedatangan pria itu tak seperti biasanya. Dan pemandangan yang di lihat Arfan sungguh menyayat hatinya. "Beraninya kamu berhianat Bara. Aku sudah sangat percaya padamu. Tapi kenapa kamu tega melakukan ini?" Ucap ayah Arfan menahan emosi. Sementara ibunya langsung mendekap Arfan begitu melihat ia pulang sekolah. "Masuklah ke kamarmu nak. Ayahmu sedang ada sedikit urusan". Ucap ibunya mengusap puncak kepala Arfan. Arfan hanya mengangguk dan melangkah menuju ke lantai atas. Belum sempat ia masuk kamar kembali ia mendengar keributan antara ayahnya dan Bara. Arfan yang penasaran memilih bersembunyi di balik dinding dan mendengar percakapan mereka. "Sudahlah Sur, kita memang teman. Tapi soal uang kita bukan lagi teman". Ucap Bara. "Kamu lupa, kalau selama ini kita membangun bisnis ini dengan modal delapan puluh persen dariku. Dan sekarang, dengan curang kamu justru mengambil alih semua saham dan mengusirku?" Ucap Surya, ayah Arfan. "Dan apa kamu juga lupa, kalau selama ini aku yang lebih bekerja keras untuk memajukan usaha ini?" Dengan pongahnya Bara berbicara. "Aku punya salah apa sama kamu Bar, kenapa kepercayaan yang ku berikan dengan mudahnya kamu hancurkan?" "Barhentilah. Sekarang semua ini bukan punyamu. Aku kasih kamu kesempatan tiga hari untuk mengemas semua barang-barang kalian dan segera tinggalkan rumah ini". Ucap Bara yang duduk di sofa rumah itu. "Kamu tidak berhak atas rumah ini. Ini rumah yang ku bangun dengan jerih payahku". "Dan jangan lupakan bahwa sekarang semua ini milikku". Bara menjeda kalimatnya. Ia menyeringai. "Kecuali jika kamu mau berlutut dan merendahkan dirimu. Maka akan aku pertimbangkan. Yah mungkin walaupun hanya sebagai tukang kebun. Dan istrimu akan ku jadikan milikku". Ucap Bara. Kesabaran Surya sampai di ambang batasnya hingga. bugh bugh bugh. Pukulan demi pukulan ia layangkan untuk orang yang tidak tau diri itu. "Mas, mas sudah mas. Jangan di teruskan". Ibu Arfan mencoba melerai. Bara sengaja tidak membalas. Hingga beberapa lebam terlihat di wajahnya. Bibir dan pelipisnya pecah. Tapi seringai mengerikan ia keluarkan. "Tunggulah panggilan polisi akibat ulahmu". Ucap Bara sambil berdiri dan meninggalkan rumah itu. "Istighfar mas. Semua sudah kehendak Allah". Ucap ibu Arfan sembari mengusap bahu suaminya. Surya menarik tubuh istrinya. Di pelukannya sang istri. Air matanya luruh. Ia mengecup puncak kepala istrinya. "Maaf. Maafkan aku Nit". Ia menangis sambil memeluk istri yang di cintai ya. Air matanya jatuh di atas jilbab Anita. "Ini bukan salah kamu mas. In shaa Allah aku ikhlas". Ucap Anita menenangkan. Ia menatap wajah sedih suaminya lalu mengusap pipi lelaki yang basah dengan air mata. Arfan yang melihat itu, dan tidak terlalu paham akan apa yang terjadi ia hanya bisa ikut menangis. Esoknya Arfan menyaksikan kembali ayahnya di jemput polisi karena laporan tindak kekerasan yang di laporkan oleh Bara. "Aku bisa mencabut laporan ku. Asal kamu berlutut dan mencium kakiku Sur". Ucap Bara yang terdengar sangat menyebalkan. Cuih. Bukannya berlutut, ayah Arfan yang sedang di pegang oleh polisi malah meludahi wajah pria di hadapannya itu. Emosi Bara meningkat sampai di ubun-ubun. "Bawa dia. Aku tidak akan pernah mencabut tuntutanku darinya". Dengan geram Bara pergi meninggalkan Surya yang kemudian di seret oleh polisi. Surya di bawa polisi tepat di depan mata Arfan. Ibunya hanya terduduk bersimpuh menangisi suaminya. "Ibu". Arfan mendekati ibunya dan menyentuh pundaknya. Anita menarik tangan putranya dan memeluknya. Arfan yang juga syok hanya diam. Semua begitu tiba-tiba, hingga air matanya bahkan tak menetes karena ia berusaha mencerna semuanya pelan-pelan. "Kita pergi dari sini nak. Ibu punya sedikit tabungan untuk mencari tempat tinggal". Ucap Anita. Dengan di tuntun putranya, Anita membawa beberapa tas yang berisi pakaian dan pergi meninggalkan rumah itu. Rumah yang penuh kenangan akan perjuangan. Rumah yang di bangun dengan jerih payah mereka berdua. Hingga suatu hari kabar duka yang kembali mengguncang mental Arfan yang masih remaja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN