Cincin Obsidian

1321 Kata
Aku terbengong menerima jaket berwarna hitam tersebut dari Alex, "Serius? Aku benaran pergi loh." "Aku serius, Cantik. Datanglah ke tempatku kapan pun kamu mau. Aku selalu menerimamu dengan tangan terbuka." Dia serius! Aku menatap tidak percaya. Alex berjalan meninggalkanku begitu saja. Sejenak aku berdiri tak bergerak. Dasar lelaki sialan. Untung aku belum menyerahkan apa pun padanya. Bayangkan bagaimana sakitnya kalau ditinggal saat sudah membuka hati. "Ya sudah! Aku pulang!" Tidak ingin berlama-lama di apartemen dengan kenangan aneh tersebut aku segera memanggil taksi. Biarlah secuil hatiku tertinggal di penthouse Alex. Besok pagi aku akan membuat hatiku utuh kembali dengan melupakannya. Eh? Aku melupakan cincin obsidian ini. Tidak kusangkal cincin hitam dengan ulir perak peninggalan nenek terlihat sangat cantik di jari manisku. Aku menghela nafas. Sebaiknya aku tidak memakai benda apa pun yang digunakan untuk mengikat roh. Eeh? Cincinnya tidak bisa lepas! "Ini pakai lem super atau gimana sih? Aduh, kencang sekali?" gerutuku sambil terus berusaha melepas cincin. 'Eliana ....' Aku—yang sedang fokus pada cincin—menjerit kaget. Sopir taksi yang sedang fokus menyetir ikut terkejut sampai mobilnya oleng. "Kenapa, Mbak?? Bikin kaget saja??" cetus si sopir taksi. "Maaf, Pak, itu ... ada cicak," sahutku sekenanya. "Cicak? Mana ada cicak? Mobilnya baru saya bersihkan, Mbak!" Si sopir tidak mau kalah rupanya. "Ya nggak tahu. Tadi kabur ke belakang." Aku juga tidak mau kalah, dong? Sambil menggerutu si sopir kembali fokus menatap jalan raya nan lengang. Aku melirik kanan kiri untuk mendeteksi makhluk apa yang memanggilku. Kok tidak kelihatan? Apakah ada hantu jahil? Beberapa saat menunggu, suara itu tidak terdengar lagi. Aku menghembuskan nafas lega. Anggap saja aku sedang berhalusinasi. Malam menjelang subuh begini bukanlah waktu yang lucu untuk melihat penampakan. Sekali lagi aku menghela nafas. Seandainya Alex sedang bersamaku ... Tidak! Berhenti berpikir seperti itu! Lelaki itu adalah racun! "Mbak, kenapa lagi jambak-jambak rambut sendiri?" Si sopir memperhatikanku dari kaca spion. "Perhatiin aja sih, Pak? Ini, lagi sakit kepala." Aku meringis memberi alasan. Masa iya aku harus menceritakan alasan sebenarnya yang membuatku bertingkah aneh? Bisa-bisa pak sopir langsung mengantarku ke psikiater terdekat. "Jaga makanan dan pola hidup, Mbak. Usia masih muda masa sudah penyakitan?" "Iya, Pak. Benar juga sih. Biasanya yang muda kalah dengan yang lebih tua, ya?" Aku masih saja meringis seperti kuda. "Bukan cuma itu, Mbak. Pergaulan juga menentukan loh. Anak saya karena salah pergaulan, diajak coba yang nggak-nggak, malah pergi mendahului bapaknya," tutur si sopir. "Oh." Aku tidak tahu harus berkata apa. "Bayangin saja, Mbak. Gimana rasanya melihat anak sendiri meregang nyawa di pangkuan saya." Jantungku berdebar lebih cepat dari biasanya. Seketika hatiku terasa sakit seperti ditusuk pisau. Dalam kepalaku muncul adegan si pak sopir berada di rumah sakit bersama putranya. Penglihatan dan pendengaranku seolah dihalangi oleh tembok tebal tak kasat mata. Celaka tiga belas. Sepertinya aku akan lumpuh sejenak oleh transfer kesedihan si pak sopir ... Mendadak aku merasa seseorang menggenggam tanganku. Aku terkesiap. Selubung kesedihan dari si sopir segera menguap tak berbekas, bagai uap hangat keluar dari kepala dan punggungku. Ini sesuatu yang baru! 'You're welcome, El.' "Aaaaahhh!" Aku menjerit karena kaget dan ngeri. Mobil kembali oleng. Si sopir menggerutu, "Astaga, apa lagi, Mbak??" "Maaf, maaf, Pak ... cicaknya loncat ke kaki," kilahku. Dalam hati aku mengutuki Alex yang entah bagaimana caranya berbicara langsung dalam pikiranku. Ugh! Tidak cukupkah dia menggodaku sepanjang malam? Masih harus menghantui pikiranku? Ditambah lagi ... genggaman tangannya terasa nyata! Bagaimana dia melakukannya?? Tatapanku jatuh pada cincin yang kupakai. Sejenak aku sangsi. Apakah benar karena benda ini? Apa mantranya tadi? 'Apa yang kamu rasakan juga kurasakan'? Ini sangat menarik. Kalau aku sakit perut, apakah dia juga sakit perut? 'Kalau kamu kembali akan kujelaskan.' Aku memegangi kepala. Sialan ... manusia ini memanfaatkan keadaan kami dengan sangat maksimal! Taksi tiba di gedung apartemenku tercinta, tempatku melabuhkan diri untuk istirahat. Aku memberi tips untuk pak sopir karena kubuat sport jantung dua kali. Sebelum dia menghujaniku dengan ucapan terima kasih aku bergegas turun. Maklum, aku bukan tipe orang yang nyaman menerima berbagai ucapan. Lain cerita dong kalau transferan uang. "Home sweet home." Aku bernafas lega begitu menjejakkan kaki di dalam unit apartemenku yang berukuran lima puluh meter persegi. "Selamat malam, Eliana." "Selamat malam, Virginia. Music, please?" Aku melepas sepatu dan meletakkannya di rak yang tersedia. "Baik. Clair de Lune?" "You know me well." Aku memuji artificial intelligence di sistem smart home yang kuberi nama Virginia. Segera saja musik klasik kesukaanku memenuhi seisi ruangan. Syarafku yang tegang sejak kemarin sore menemukan tempat nyaman dalam sinar rembulan karya Claude Debussy. Aku mengambil sebotol air mineral dari kulkas dan melangkah santai ke sofa. Helaan nafas panjang kuhembuskan ke udara. Dalam keadaan santai aku dapat berpikir lebih baik, tapi otakku malah memilih untuk mengingat ciuman panas Alex. "Aaaahhh! Kenapa malah dia??" Aku mendekap wajah dengan kesal. 'Memikirkanku, Cantik?' "Aaaaahhhh! Keluar dari kepalaku!" Hening. Yakin lelaki itu tidak lagi mencoba berkomunikasi, aku meneguk air dingin banyak-banyak. Seharusnya ada cara untuk memperoleh privasiku kembali. Baru saja menenangkan diri kembali, bulu kudukku meremang. Biasanya hal ini terjadi jika ada kehadiran makhluk tak kasat mata. Aku mengeluh dalam hati, kira-kira makhluk apa yang mengikutiku sampai kemari? "Jangan muncul ... jangan muncul ...." Jantungku berdebar kencang. Tangan dan kakiku dingin padahal Virginia tidak menyalakan penyejuk ruangan. Perlahan kuletakkan botol air di meja pendek. Aku melotot saat botol air bergeser ke tepi meja. Seperti kucing menangkap mangsa aku menangkap botol itu sebelum terjatuh ke lantai. Tidak lucu 'kan kalau subuh-subuh harus mengepel lantai? Lagipula kenapa makhluk ini tidak bicara saja sih? Kenapa harus bermain ala poltergeist? Tidak kasihan padaku yang membersihkan tempat tinggal sendiri tanpa bantuan asisten rumah tangga? "Sudahlah. Aku tidur saja." Botol kusimpan kembali ke dalam kulkas. "Virginia, stop musik. Redupkan semua lampu, nyalakan AC di suhu dua puluh tujuh. Aku mau tidur." "Baik." Seketika semua lampu di unitku meredup. "Sleep well, Eliana," kata si artificial intelligence. Kakiku yang sudah berat mendaki tangga menuju kamar tidurku di loft. Aku senang dengan konsep terbuka unitku. Nyaris tidak ada dinding atau sudut gelap bagi makhluk apa pun untuk bermain petak umpet. Kasur berukuran queen size dan bantal-bantal empuk terlihat bagai surga di mataku. Aku melepas jaket pemberian Alex kemudian melepas kemeja yang kancingnya sudah terlepas. Setelah menimbang sejenak aku memakai jaket hitam itu kembali. Aroma tubuh Alex tertinggal di dalamnya dan—aku benci mengakui, tapi aroma itu—membuatku nyaman. Sambil rebah aku menatap cincin di jariku. Warnanya hitam pekat dan kalau dilihat lebih teliti seperti ada partikel berkilau di bagian dalam batu tersebut. Kucoba untuk melepasnya dengan hasil nihil. "Nenek, kenapa nggak memberitahu soal ini?" bisikku pada udara kosong. Balutan jaket yang kebesaran beserta aromanya mengantarku menuju alam mimpi. Tidak heran aku memimpikan lelaki tampan yang menyeramkan itu. Bahkan dalam mimpi saja dia terus menggodaku dengan ciuman-ciuman mautnya. Aku 'kan jadi menginginkan lebih! Untung aku terbangun sebelum mimpiku mengarah pada adegan dua puluh satu plus-plus. Saat membeli unit apartemen loft ini aku memilih unit yang menghadap ke Barat agar tidak perlu kesilauan di pagi hari. Sampai hari ini aku tidak menyesali keputusan tersebut. Puas bergulat dengan jaket Alex dan mengalahkan keinginan untuk tidur lagi aku pun turun ke dapur. Mulailah hari dengan memamah sedikit makanan. "Selamat pagi, Eliana," sapa Virginia begitu aku melewati sensor gerak di dinding anak tangga terbawah. "Selamat pagi. Matikan AC, hangatkan air mandi." "Baik." Pemandangan di dapur membuatku ternganga. Seseorang, atau sesemakhluk menghabiskan saus tomatku dengan menulis di permukaan counter! Aku berkeluh-kesah. Kejadian seperti ini memang bukan pertama kali. Ya, memang ada makhluk yang pemalu dan lebih suka bicara lewat tulisan ... tapi pengeluaran belanjaku jadi bertambah! "Help. 'Help' apa? Mana kutahu kalian minta tolong apa kalau nggak bicara? Aku 'kan bukan cenayang," gerutuku sambil membersihkan ceceran saus tomat. Bulu kudukku meremang. Pandanganku sedikit memgabur dan punggungku terasa panas, tanda ada makhluk dunia lain yang hendak mengambil alih tubuhku. Belum sempat terjadi apa-apa rasa panas itu menguap hilang digantikan oleh rasa sejuk yang—aku tahu jelas—berasal dari cincin obsidian. "Oh, rupanya seperti itu cara kerjamu," ucapku kagum.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN