Perjanjian

1319 Kata
"Nggak mau! Biarkan aku pergi! Aku nggak mau punya hubungan apa-apa denganmu, dasar b******k!" Pikiran bahwa lelaki menyeramkan ini berada dalam unit apartemenku sungguh membuat panik. "Ssshh ... tenang, Cantik. Aku tidak menyakitimu, 'kan?" Alex kembali memelukku. Merasa sia-sia meronta aku pun berdiam diri. Siapa tahu lelaki ini akan melepasku jika aku patuh. Aku kembali bergidik saat tangannya membelai sisi wajahku. Tidak hanya itu, dia sengaja mengelus daun telingaku yang sensitif. "Kamu menyukainya." Suara Alex begitu rendah seperti dengkuran singa jantan. Jantungku berdebar kencang sampai rasanya menyakitkan. Tanganku berusaha menahan tangan Alex, tapi seperti yang telah kusadari beberapa menit lalu tenaga kami tidak sebanding. Lambat laun aku menyerah. Tidak ada lagi perlawanan saat dia kembali menciumku. Langit sudah gelap saat Alex puas memperlakukanku sesuka hati. Yah, tidak terjadi apa-apa selain berciuman sih. Aku saja yang merasa teraniaya oleh sikap dominan lelaki itu. Seumur hidup aku terbiasa memegang kendali atas hidupku sendiri, dan sekarang Alex seenaknya memegang kendali atas tubuhku. "Sudah lebih tenang?" Aku yang bersandar pasrah di lengan Alex hanya bisa mengangguk lemah. "Bagus. Kalau begitu kita bisa bicara seperti manusia beradab." "Kamu yang nggak beradab," cetusku. Alex tertawa, "Bagaimana kalau satu ciuman lagi sebelum bicara?" "Nggak!" Spontan aku mendekap mulut. Enak saja! Ciuman terakhir seolah menyedot sebagian rohku! Kalau dia menciumku satu kali lagi sepertinya aku akan pingsan. Hening sejenak. "Seperti baru kemarin aku melihat seorang gadis kecil berusia tujuh belas tahun melawanku dengan ketegaran hatinya. Sekarang kamu sudah dewasa," kata Alex. "Gadis kecil ... memangnya umurmu berapa sih?" gerutuku. "Tebak." Lelaki itu tersenyum. "Lima puluh," sahutku asal. Lagi-lagi suara tawa maskulin menyerbu gendang telingaku. Ah, sial. Aku mulai menyukai suara tawanya. "Memangnya aku terlihat setua itu?" "Aku cuma menebak." Diam-diam aku memperhatikan fitur wajahnya. Kenapa lelaki ini terlihat tampan sekaligus menyeramkan? "Katakanlah usiaku saat ini adalah tiga puluh lima. Bagaimana? Tidak terlalu tua, bukan?" "Apanya nggak tua? Umur kita selisih dua belas tahun! Aku bisa memanggilmu paman!" Oke. Sekarang aku overload dengan suara tawa maskulin Alex. Belum lagi serbuan feromon yang membuatku gelisah tidak karuan. Apakah tidak ada cara untuk membentengi diri dari lelaki ini? "Kenapa harus membentengi diri? Kamu calon istriku, dan sudah seharusnya terbuka terhadapku. Aku pun tidak membatasi diri terhadapmu, Cantik," ucap Alex lembut. "Aku nggak ingat pernah menyetujui apa pun! Lagipula kita baru bertemu lagi, masa serta-merta aku jadi istrimu?" Aku menolak kalah. Masa hanya karena dicium berkali-kali aku harus menyetujui semua perkataannya? "Virginia telah menyetujui ikatan di antara kita." Raut wajah Alex berubah serius. "Nggak berlaku tanpa persetujuanku." Aku bersikeras. "Si Cantik yang keras kepala. Saat itu kalau bukan karena kamu masih di bawah umur, aku sudah membawamu pergi." Jemari Alex memainkan rambutku yang menjuntai di bahu. "Sialan. Predator." Aku menghalau tangan besar itu dari bahuku. "Tapi sekarang kamu sudah dewasa. Yang memisahkan kita hanya kehendakmu." Alex kemudian mendekat dan berucap lirih, "Aku akan membuatmu menyerah, Cantik." Seketika bulu kudukku meremang. Dengan apa dia akan membuatku menyerah? Dengan mengikat dan menyiksaku? Ugh, mengerikan sekali ... aku seperti sedang berhadapan dengan iblis ... Alex menyentil dahiku, "Hati-hati dengan pikiranmu. Kamu tidak menginginkan hal itu menjadi kenyataan." Sesuatu dalam nada bicara lelaki itu nyaris membuatku yakin bahwa perkataannya benar. Ku mengusir pikiran itu jauh-jauh dan membalas, "Omong kosong untuk menakuti anak kecil." Bibir tipis Alex menyunggingkan senyum, "Lalu hantu yang mengobrol denganmu juga omong kosong?" Aku menggigit bibir, bukan karena keki, tapi karena berada dalam jarak begitu dekat dengan bibir lelaki yang baru saja menciumku. Godaan ini terlalu sulit kutolak. Aneh bukan? Padahal selama ini aku bisa menolak lelaki setampan apa pun yang berusaha pedekate. "Itu karena ikatan di antara kita, Cantik." "Hah? Maksud?" "Ikutlah ke tempatku. Akan kujelaskan lebih baik." "Nggak mau. Kamu menjebakku." "Aku tidak perlu menjebakmu, Gadis Kecil. Kamu sudah berada di ambang menyerahkan diri padaku." "Kata siapa?" Aku menyangkal diri semaksimal mungkin. Alex memberi ciuman ringan di dahiku sebelum berucap, "Pindah ke depan. Kita pergi sebelum malam terlalu larut." "Aku di sini saja." Lelaki itu terdiam sejenak lalu membiarkanku duduk sendiri di belakang. Kupandangi sosoknya yang mengemudikan mobil dengan santai. Punggungnya lebar dan kokoh, rambut ikal sebahunya diikat ekor kuda. Kok dilihat sekilas malah seperti gangster ya? "Motormu mana? Sepertinya dulu kamu bawa motor?" Penasaran aku bertanya. Terlihat Alex melirik dari kaca spion, "Kamu lebih suka motor? Tenang saja. Besok pagi kuantar ke kantor naik motor." "Nggak usah sih. Aku cuma penasaran kok." Kurasa Alex tidak mempercayaiku. Ya sudahlah. Itu urusan dia. Sekarang yang kuinginkan hanya melompat ke kasur empuk dan memeluk bantal. Mendadak terbersit bagaimana hangatnya berada dalam pelukan Alex. Argh! Pikiran macam apa itu?? Pergi jauh-jauh sana! Belum lagi kegelisahanku mereda, jantung ini kembali berdebar karena menyadari Alex mengemudikan mobil bukan ke arah apartemenku. Lelaki ini benaran membawaku ke tempatnya tinggal?? "Uhm ... salah arah, apartemenku ke arah lain." Aku memberanikan diri bicara. Tidak ada jawaban. Aku melihat kanan kiri mencari jalan keluar. Mungkin saat mobil berhenti aku bisa langsung lari ke jalan raya. Kalau Alex mengejar aku akan memukulinya sampai pingsan! "Sangat menarik. Aku mau lihat sampai di mana usahamu." Alex tertawa geli. "Yang penting ada usaha," gerutuku. Mobil sampai di tempat tujuan, yaitu sebuah gedung apartemen mewah yang penghuninya golongan atas dan ekspatriat. Aku mencibir, mewah apanya? Dari luar terlihat biasa tuh. Apartemenku juga bagus meskipun bukan bintang lima. Alex membukakan pintu untukku. Ada kesempatan untuk kabur! Aku beringsut turun dan ... "Aaahh! Turunkan aku!" "Sudah malam, Cantik. Aku tidak mau kejar-kejaran di tengah jalan." Ya sudahlah. Toh dia sendiri yang capek karena memanggulku seperti sekarung beras. Aku juga sudah lelah dan berharap bisa segera istirahat. Semoga saja lelaki ini tidak mengerjaiku sepanjang malam. Alex menurunkanku di dalam lift, tapi tidak melepasku. Satu lengannya memelukku erat. Terpaksa aku bersandar di dadanya, menikmati aroma tubuh yang membuat berdebar. Lama-lama aku bisa semaput nih. Tanpa berucap sedikit pun Alex mengangkat tubuhku keluar dari lift yang berhenti di lantai tujuan. Oke, kuakui interior bangunan ini memang berbeda dengan apartemenku. Lebih mewah. Aku memperhatikan Alex membuka pintu unitnya dengan sidik jari. Wih, keren sekali? "Welcome to my place," kata Alex. "Hmm ... ya." Aku berlagak cuek meskipun kagum dengan ukuran unit apartemennya. Tunggu dulu. Ini bukan unit biasa, tapi penthouse. Ada balkon luas di luar. Ah, sial, kenapa dia tidak melepasku juga sih? Aku 'kan mau lihat seperti apa pemandangan dari balkon. "Lepasin dong?" pintaku. "Belum. Aku masih ingin memelukmu." Perutku mulas karena Alex menatap begitu dalam sampai menembus jiwa. Oh, sial ... jika bermalam di sini bukan hanya jiwaku yang akan dia tembus ... "Pikiranmu nakal sekali." Lelaki itu tersenyum. "Gara-gara siapa?" Wajahku pasti sudah tidak karuan. Namun, aku senang dia membawaku ke balkon. Kalau Alex selalu memberikan keinginanku mungkin aku bisa betah bersamanya. Sudah, sudah, lupakan sejenak lelaki tampan yang menyeramkan ini. Masih dalam pelukan Alex, aku berusaha menikmati pemandangan indah tanpa batas dari puncak gedung. Memang menakjubkan. Sepertinya aku bisa tinggal di sini. "Wanita cantik dalam pelukan. Apa lagi yang kurang dalam hidupku?" Alex menghela nafas seolah baru melepas beban berat. "Eh, bagaimana kalau turunkan aku sekarang? Aku nggak akan bisa kabur, 'kan?" pintaku. "Sebelum itu." Kuperhatikan Alex merogoh ke dalam saku celana. Mataku membulat saat dia mengeluarkan sebuah kotak kayu kecil yang sekelilingnya dipenuhi ukiran rumit. Aku mengenalinya sebagai salah satu kotak antik milik nenek! Kenapa ada di tangannya? "Ini adalah tanda pengikat kita, Cantik. Virginia memberikan persetujuan bahwa aku akan menjadi pelindungmu. Sebuah janji yang mengikat jiwa kita seumur hidup." "Nenek nggak pernah bilang apa-apa. Aku berhak untuk tidak setuju." Secercah pemberontakan muncul di hatiku. Masa mereka menentukan jalan hidupku tanpa minta persetujuan?? Tidak kusangka Alex malah tersenyum. Apa yang dia rencanakan? Aku melotot saat kotak kayu di tangannya perlahan terbuka. Sepasang cincin berwarna hitam dengan ulir perak melayang di udara. "Tidak seperti itu cara kerja di dunia kita, Eliana. Sekali perjanjian dibuat, tidak ada siapa pun yang dapat mematahkannya." "Tunggu dulu, kenapa benda ini bergerak sendiri?" Aku mulai meronta. Meskipun sering melihat makhluk tak kasat mata bukan berarti aku tidak punya rasa takut loh!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN