“Gagal jantung kongestif, ketika aliran darah dari jantung melambat otomatis akan terjadi penumpukkan pada pembuluh vena sehingga bisa menyebabkan edema. Kemungkinan terjadi edema pada organ – organ tubuh yang lain pun cukup besar. Ini bukan masalah sepele Alpha,” jelas Prof. Fany.
Aku mengusap wajah dengan kasar. Nuansa cafetaria rumah sakit yang tenang dengan instrumental musik malah membuatku semakin sulit berpikir. Aku tahu ini masalah serius tapi, ada beberapa sudut pandang yang harus kupahami. Aira juga memiliki riwayat ginjal. Ini yang kukhawatirkan.
“Tapi, Prof-”
“Tapi apa Alpha? Operasi adalah pilihan yang tepat, kita bisa melakukan operasi bypass jantung atau memasang implan di jantungnya. Memasang alat pacu jantung, atau memasang Left Ventricular Assist Device (LVAD) selagi menunggu pendonor transplantasi jantung.”
“Aira ... Dia pernah menjalani operasi transplantasi ginjal saat kecil. Dan, dua minggu lalu, dia baru saja melakukan radioterapi,” ucapku tak berdaya.
“Radioterapi? Tapi itu salah satu penanganan untuk penderita kanker, Al.”
Aku mengangguk. Demi Tuhan, mengapa harus Aira yang menerima ini semua.
“Transplantasi ginjal beberapa tahun lalu, membuat Aira memiliki kanker ginjal. Penyebarannya cukup cepat dan aku khawatir dengan melakukan operasi itu malah akan membuatnya mengalami komplikasi beresiko mematikan yang lain, Prof.”
Wajah Prof. Fany terlihat syok. Kedua matanya bahkan mulai berkaca – kaca.
“Ya Tuhan Alpha, kenapa kamu tidak pernah memberitahukan hal sepenting ini sejak dulu kepaku? Aira sudah kuanggap seperti putri kandungku sendiri, Alpha. Demi Tuhan, kau membuatku kecewa.” Suara Prof. Fany serak. Nadanya mulai sumbang.
“Stadium berapa?” tanyanya.
“Masih stadium awal.”
“Bagus, pencegahan penyebaran bisa kita tangani dengan cepat. Beberapa syaraf penting mungkin saja akan terserang terlebih dahulu mengingat riwayat jantung Aira. Tidak perlu lagi melakukan radioterapi, hal itu bisa membahayakan organ tubuhnya yang lain. Mulai sekarang, Aira harus mengonsumsi obat –obatan herbal, ini bisa sekalian menetralisir zat – zat keras dari obat-obatan yang sebelumnya dia konsumsi.”
Prof. Fany lekas mengeluarkan ponselnya dari saku snelli-nya. Tak menunggu waktu lama, panggilan tersebut tersambung.
“Halo, Kai. Aku membutuhkan bantuanmu, bisakah kau terbang ke Indonesia secepatnya?”
“...”
“Tidak masalah, ini akan memakan waktu cukup lama.”
“Bagus sekali, kutunggu kedatangan kalian.”
“Baiklah, terima kasih. Safe flight.”
Lalu sambungan terputus. Atensi Prof. Fany kembali tertuju padaku.
“Kaindra, dia dokter spesialis bedah toraks kardiovaskular yang saat ini sedang bertempat tinggal di Perancis. Lusa, dia yang akan memegang kasus Aira secara penuh. Dengan catatan-”
Ada jeda, tatapan seniorku sangat intens.
“Ya?” Aku bertanya hati – hati.
“Kamu, Alpha Riandra harus kembali menjadi dokter ahli bedah umum di sini. Atau tidak akan pernah ada prosedur pengobatan apa pun itu yang kukatakan tadi untuk Aira.”
JANGAN!
“Baik Prof. Aku mohon, tolong beri yang terbaik untuk adikku aku mohon dengan sangat,” ucapku spontan penuh permohonan. Kedua tanganku menangkup telapak tangan Prof. Fany yang tergeletak di atas meja. Tangan – tangan hebat yang telah menyelamatkan banyak nyawa.
“Aira juga putriku, Alpha. Ingat itu, sejujurnya aku membencimu karena kamu menyembunyikan rahasia sebesar ini. Apa yang kamu pikirkan hingga nekat menyimpan segalanya sendirian?” Raut wanita dewasa yang biasanya memandangku dengan raut ramah itu kini, berganti menjadi sorotan tajam sarat akan kemarahan.
Aku membahayakan Airaku lagi.
“Maaf, Prof. Aku hanya bingung dan tidak tahu harus melakukan apa,” jawabku menyesal.
“Jangan ulangi kebodohanmu! Jika Aira dalam kondisi yang semakin parah, aku bersungguh – sungguh akan sangat membencimu, Alpha.”
“Tidak, tidak akan pernah lagi Prof. Aira segalanya bagiku, tolong bantu aku memberikan yang terbaik untuknya. Tolong sembuhkan Airaku.”
Prof. Fany mengangguk. Ia menepuk sebelah bahuku. Wajahnya mulai terlihat seperti biasa, kemudian ia berucap, “Kita berjuang bersama. Aku yakin Aira akan sembuh.”
Benar, Aira pasti sembuh. Harus sembuh!
Baiklah, mari kesampingkan trauma dan ketakutanku pada meja operasi, itu hanya kisah lalu yang tidak seharusnya menjadi lubang hitam bagiku. Kondisi Aira sangat tidak memungkinkan untuk dirinya yang rawat jalan biasa. Dia harus dirawat secara intensif.
Banyak hal yang sulit kejelaskan mengenai Aira. Hanya waktu yang bisa menjawab segalanya. Aku berharap, semoga Tuhan menghendaki kehendakku.
***
Usai dari cafetaria, aku segera kembali ke ruang rawat Aira untuk melihatnya. Saat aku membuka pintu, Aira yang sedang bercerita dengan Chandra di depannya pun langsung menampilkan senyum cantiknya.
“Kak Alpha, ke mana saja? Kok lama?” Mukanya cemberut.
Apa kamu menungguku Aira?
“Sedang berbicara dengan Dokter Fany, Aira. Kenapa?”
“Aira kangen tuh, Al. Nanyain kamu terus dari tadi.” Chandra yang menjawab. Aku terkekeh kemudian menghampiri Aira yang menatapku penuh. Meski tatapan itu kosong. Chandra beranjak dari duduknya, lalu berpindah pada sofa di ujung sana. Aku segera duduk di kursi yang tadi Chanra duduki.
“Rindu Kakak ya?”
Dia tak menjawab namun, sebelah tangannya terangkat seperti hendak meraba. Kutangkap telapak kecil dan hangat itu. Aira, dia benar – benar sangat rapuh.
Lantas, dalam sekali gerakan ia merubah letak tangannya pada wajahku. Menelusuri pipiku di dan hidungku di sana.
“Aira rindu melihat wajah Kakak, bagimana ya wajah Kak Alpha sekarang? Dulu kan Aira masih kecil jadi tidak ingat lagi deh. Hehe ...”
Tes!
Dengan sendirinya, air mataku jatuh membasahi pipi. Segera kuambil tangan Aira. Mencegah agar dia tidak merasakan air mataku.
Suara lembutnya terasa sangat sendu. Dia sedih tapi, dapat menyembunyikan kesedihannya dengan baik. Aku bisa melihat dari kantung matanya yang bergetar.
“Aira ... maafkan aku,” ucapku pada akhirnya. Aku merangsek maju memeluknya dalam posisi ia berbaring.
“Ini semua salah Kakak. Karena Kakak kamu mengalami kebutaan, Ra. Kenapa kamu masih baik dengan Kakak? Kenapa kamu masih bisa menerimaku sebagai kakakmu, Ra? Kenapa? Aku manusia paling jahat yang pernah ada di muka bumi. Tidak sepantasnya kamu memiliki seorang kakak sepertiku, Aira.” Tangisku pecah bersama dengan isakkan yang tak lagi mampu kutahan.
“Al, jangan seperti ini.” Itu suara Chandra. Pria itu terasa sangat dekat denganku, mungkin ia telah berdiri di sampingku.
Aku menyembunyikan wajahku di sela leher dan bahu sempit milik Aira. Menangis seperti anak bayi kepada ibunya di sana. Hatiku menjerit sakit, secara tidak langsung, akulah yang menyebabkan penyakit – penyakit lain dalam tubuh Aira muncul.
“Kak Alpha, itu kecelakaaan. Bukan salah Kakak, bukan.” Ia menangis menjawab perkataanku.
“Aira bahagia kok tinggal bersama Kakak dan Ayah. Aira bersyukur masih bisa hidup, Kak. Aira tidak apa-apa meski tidak bisa melihat, Aira tidak merasakan sakit sekali saat jantung dan ginjal Aira kambuh. Sungguh, Aira tidak papa, Kak.”
Berbohong lagi. Inilah yang membuatku semakin membenci diriku sendiri. Aira terlalu naif untuk kusakiti. Dia benar-benar mirip dengan Ayah. Tidak peduli sebesar apa orang-orang menyakitinya, Aira akan tetap memaafkan.
Aku tahu, yang ia katakan itu bohong. Airaku sedih karena tidak bisa melihat. Dia sedih dengan penyakit yang dideritanya. Aira selalu diam, dia menutupi segala perasaannya. Dia perwara yang hebat di depan banyak orang tapi, tidak denganku. Aku mengetahui semua kesedihannya.
“Jangan seperti ini Aira. Kamu semakin memperjelas betapa buruknya aku. Marahlah, marah sepuasmu. Hakimi Kakak sesukamu, Ra. Kakak pantas mendapatkan itu semua.”
Aira menggeleng, memeluk leherku erat sebab wajahku masih setia bersembunyi di sana.
“Aira tidak marah, Kak. Kakak orang baik, Aira sayang dengan Kakak.”
Di sana, siang itu. Kami menangis tersedu-sedu bersama. Disaksikan oleh Chandra.
Ini permainan takdir yang seakan menghukumku dengan situasi rumit ini. Aku mencelakai Aira hingga membuatnya menanggung segala penyakit ini. Perasaan salah ini yang juga hadir pada tali persaudaraan kami. Memberikannya luka sebesar itu. Aku tidak pantas diberi julukan seorang kakak, sangat tidak pantas.
“Jangan pernah mengatakan diri Kakak seperti itu lagi, Kak. Aira sedih,” ucap Aira dengan suara parau.
Aku mengangkat wajah sejenak untuk menanamkan satu kecupan lama di dahinya.
“Aira sayang, Kak Alpha.”
Aku mengangguk cepat.
“Aku juga sangat menyayangim Aira.” Lagi, kukecup keningnya. Kali ini lebih lama dari yang awal.