Bab 9

1113 Kata
"Seminggu?" "Iya. Ini kesempatan besar untuk kita agar Aira bisa segera melihat kembali." "Tapi Ayah, Ayah tidak perlu sampai harus bekerja ke negara orang. Bukankah kita sudah sepakat, Ayah tidak bekerja terlalu keras?" Pria parubaya yang merupakan ayahku itu pun menggeleng. Makanan di hadapannya telah habis tak tersisa. Ketika aku sedang menenangkan Aira yang tampak gelisah dari tidurnya, seseorang mengetuk pintu rumah. Dan orang itu Ayah. "Tolong, jaga Aira selama Ayah tidak ada. Jangan melukainya lagi seperti dulu, Al." Nada Ayah terdengar sumbang dan tegas disaat yang bersamaan. "Hanya seminggu, dan Ayah bisa kembali dengan ratusan dollar, Al. Ayah ingin Aira segera melakukan operasi transplantasi mata itu," lanjut Ayah. Sarat akan keputusasaan. Aku terdiam, beberapa saat sebelum ikut menimpali, "Alpha ada tabungan yang bisa kita gunakan untuk membiayai operasi Aira, Yah. Ayah tidak usah pergi ke mana - mana. Cukup Alpha yang akan mencari dananya sampai cukup." "Tulang punggung Ayah bermasalah dan bisa fatal jika Ayah nekat. Tolong, percaya dengan Alpha, Yah. Alpha akan berjuang semaksimal mungkin agar Aira lekas melakukan operasi itu," ucapku. Selain pekerja serabutan, Ayahku juga seorang buruh bangunan yang siap bekerja ke mana pun atasannya menunjuk lokasi tersebut. Seperti sekarang, Ayah ditugaskan ke negeri sakura untuk membangun sebuah gedung - gedung pencakar langit di sana. Di usia Ayah yang sudah rentan dan riwayat penyakit yang dimilikinya? tentu saja aku tidak akan mengizinkan. Kesempatan kedua dan terakhir yang Tuhan berikan kepadaku. Aira dan Ayah, mereka tanggung jawabku sepenuhnya. Itu janjiku kepada diri sendiri dan mendiang Ibu. "Berapa tabungan yang sudah kamu miliki?" tanya Ayah cepat. Ada kilatan merah yang terpancar jelas dari mata senjanya. Ayah tentu tidak setuju dengan usulanku. Sama sepertiku, Ayah juga teramat menyayangi Aira. Adikku itu menjadi prioritasnya sampai detik ini. Dan aku paham seberapa besar keinginannya untuk melihat Aira kembali sehat seperti sedia kala. "Sepuluh juta delapan ratus?" Aku mengangguk. Chandra dan Bintang duduk bersampingan di hadapanku. Di warung yang Chandra katakan siang tadi, kami telah berada di sini. Minus Aira. Ayah berhasil kucegah untuk pergi, dan Aira sedang bersama Ayah di rumah. "Kalau begitu Aira sudah bisa dioperasi. Aku ada setengah dari 30 juta," sahut Chandra. Bintang mengangguk, "Tabunganku juga bisa kita gunakan. Tapi ..." Otomatis perhatianku dan Chandra tertuju pada Bintang sepenuhnya. Pria itu tampak tidak secerah saat pergama kali aku tiba, lebih tepatnya setelah mendapat telepon dari seseorang tadi Bintang terlihat tidak bersemangat. "Ada apa, Bi? Jangan membuat kami penasaran?" ucap Chandra tidak sabaran. "Baru saja aku mendapat telefon, persedian mata di bank mata sudah kosong lagi," sambung Bintang lirih. "Maaf, Al padahal aku yang mengumpulkan kalian di sini dan ingin menyampaikan kabar bahagia bahwa persediaan mata sudah ada tapi, secepat itu pula sudah habis." Bintang memperlihatkan wajah sedihnya. Aku pun sedikit kecewa. Telah terkonsep di kepalaku jika Aira mekakukan operasi itu, namun apa boleh buat. Ini di luar kehendak kami termasuk Bintang. Ia sudah berniat membantu tapi mungkin belum tiba saatnya. Sebenarnya, bisa saja aku mendapatkan donor mata tidak dari bank mata. Asal Aira bisa melihat kembali apa pun akan aku lakukan. Tapi, Ayah tidak setuju, Ayah takut jika hal tersebut tidak resmi, dan mata yang akan didonorkan pada Aira pun tidak baik. Ayah menjauhi segala kepentingan berbau ilegal. Aku mengangguk sembari tersenyum, ini bukan salah Bintang. "Tidak apa - apa, Bi. Masih ada kesempatan yang lain," jawabku. Bibirku tersenyun tapi, hatiku turut merasa kecewa. Aira ... Kamu pasti bisa melihat kembali, bersabarlah. "Alpha?" Aku menoleh, seorang wanita berdiri di hadapan kami. "Kamu?" Dia, wanita yang memintaku menjadi kekasih pura - puranya di cafe kemarin malam. Kalau tidak salah namanya Sheila. "Wah, kebetulan sekali kita bertemu di sini," katanya lagi. Aku masih diam tanpa merespon apa - apa. Bintang menyenggol kakiku di bawah sana, tatapannya mengarah penuh ke wajahku. Dia sedang menuntut penjelasan. Begitu pun dengan Chandra yang menampilkan raut serupa. 'Dia siapa, Al?' Chandra bertanya tanpa suara. Aku berdeham sejenak, sebelum menatap Sheila yang balas tersenyum melihatku. "Kamu sedang apa di sini?" Aku mencoba berbasa - basi. Sheila tersenyum kembali, " Ingin mengisi perut saja, Al. Kebetulan aku lapar," jawabnya. Hening, suasana kembali kikuk. Aku tidak terbiasa mengobrol dengan wanita terlalu jauh selain pada Aira. "Hmm ... apa aku boleh bergabung?" Ia bertanya tidak malu - malu. Aku mengangguk sekenanya. Sheila langsung menarik kursi yang masih kosong dan duduk di sana. Kenapa dia duduk di sebelahku? Aku tidak mempermasalahkan posisi duduk Sheila tapi, yang menjadi pertanyaanku adalah kenapa Sheila meminta bergabung? "Al, bisa kamu jelaskan ini siapa?" Bintang bertanya dengan raut datar. Bintang, si beagles yang tampan dan cantik dalam waktu bersamaan ini akan sangat ramah dan riang jika bersamaku dan Aira, begitupun dengan Chandra. Mereka kerap menjadi vitamin yang dapat menghidupkan suasana jika sedang berkumpul. Tapi, tidak jika di hadapan orang baru. Seperti sekarang, ia bertanya tapi rautnya menampilkan hal sebaliknya. Aku melirik Sheila sekilas. Wanita itu masih menyunggingkan senyumnya. "Ini Sheila, pelanggan tetap di cafe tempatku bekerja," ucapku memperkenalkan Sheila kepada Bintang dan Chandra. Aku tidak ingin mengatakan lebih jauh lagi mengenai sandiwara kami yang sempat terjalin kemarin malam. Bintang, Chandra, dan Sheila pun berkenalan. Mereka saling bersalaman. "Jadi, apa kalian cukup dekat di kerjaan Alpha?" Chandra angkat suara. Tidak juga. Bahkan kami saling bertatapan cukup lama saat kesepakatan itu berlangsung. Sebelumnya, aku hanya pernah memandang Sheila dari jauh ketika sedang bekerja. Ia sering datang sendiri atau bersama kakaknya. "Hmm, iya begitulah. Kita lumayan dekat." Tapi jawaban yang Sheila ucapkan sangat berkebalikan dengan pikiranku. Apa dia berpikiran seperti itu? "Iya kan, Al?" Aku menoleh, Sheila menatapku dengan senyum yang masih setia terpatri di wajahnya. Aku mengangguk sekenanya. Memangnya apalagi yang bisa kulakukan selain mengangguk? "Ada satu hal yang sulit dijelaskan dalam hubungan kami. Dan kurasa, Alpha adalah pria yang baik," katanya lagi. "Oh ya? Hubungan seperti apa yang kamu maksud?" Bintang menimpali. Semua terdiam, saling menunggu jawaban yang selanjutnya akan Sheila katakan. Dan aku tidak pernah menyangka Sheila justru malah berkata, "Something with comitment? Girlfriend I think?" Maka, dapat kulihat Chandra dan Bintang memelototkan mata mereka. Lalu, keduanya menatap penuh ke arahku. "Hahaha ... tidak kok, kami hanya pernah terlibat kerja sama yang lucu. Alpha membantuku saat itu," sambar Sheila. Kedua beagleas di sana seperti kembali pada poros mereka. Seperti lega? Dan aku pun menatap Sheila dari tempat dudukku. Gadis ini seseorang yang humoris, begitu pikirku. "Hmm ... ngomong - ngomong aku lapar, boleh aku memesan makanan?" tanyanya. Chandra dan Bintang terkesiap, mereka pun mengangguk. "Silahkan." Dan aku yang menjawab. Sore itu, Sheila seperti orang yang sudah lama kami kenal. Chandra cepat akrab dengannya dan Bintang sesekali menanggapi perkataannya. Kami makan bersama dengan perasaan bahwa Sheila bukan seperti orang asing. Gadis itu cukup ramah dan tidak sekaku saat di cafe kemarin malam. Sheila terlihat seperti wanita baik - baik.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN