Alpha POV
"Kamu terluka lagi, Aira," kataku yang mulai memainkan peran.
Aku bersungguh - sugguh ingin menghilangkan perasaan yang salah ini kepada Aira. Salah satunya mengurangi kapasitas tersenyum kepadanya. Dimulai dari hal - hal kecil yang bernilai besar. Jangankan tersenyum, melihatnya saja perasaanku mulai menggila.
Mungkin terdengar kekanakan tapi ini kenyataannya.
"Maaf, Kak Alpha." Ia mencicit dengan suara parau.
Obsidian jernih yang selalu membuatku terpanah setiap melihatnya, bola mata indah itu, meliriknke arahmu takut - takut.
"Kakak marah."
"Tidak, Ra. Kakak hanya bingung kenapa kamu bisa sampai jatuh seperti ini?"
"Ini karena kecerobohan Aira sendiri, Kak. Maaf."
"Kamu tidak perlu meminta maaf. Kamu tidak membuat salah kepada Kakak. Tapi kepada dirimu sendiri. Kamu tidak becus menjaga diri sendiri."
Aira tak lagi menjawab. Aku hanya ingin terlihat bijaksana sebagaimana seorang kakak yang memarahi adiknya jika mereka terluka karena kesalahan sendiri. Ini wajar untuk seorang kakak adik kan?
"Iya ... lain kali Aira akan menjaga diri sebaik mungkin, Kak. Sekarang kan Aira sudah bisa melihat."
Jangan bicara begitu Aira. Kau menyakitiku. Jujur, aku mencelos mendengar kata - katanya barusan.
Aku merasa jahat sekali kepadanya.
Ya Tuhan!
"Kapan kamu bisa baik - baik saja saat Kakak tinggal sendiri. Hmm?" Tapi mulut ini, ntah mengapa tetap mengatakan hal yang jahat.
"Kak, Aira dengan Kak Sheila hari."
Aku terkesiap. Hampir saja aku melupakan kalau siang tadi menitipkannya dengan Sheila. Lantas, ke mana ia saat Aira terluka?
"Di mana Sheila, Ra? Kakak tidak melihatnya sejak tadi."
Adikku terdiam, matanya bergerak gelisah. Apa yang sedang ia pikirkan? Dirinya dengan segala pemikiran rumit itu agak memusingkan.
"Aira ..."
"Kak Sheila sudah pergi lama sebelum aku terjatuh, Kak."
Pergi? Bukannya dia bilang lengang?
"Tapi dia bilang sedang tidak ada acara?"
"Tidak tahu, Kak. Katanya ada urusan mendadak. Aku mengantuk. Sebaiknya Kakak keluar saja."
"Aira, ada apa dengan kamu?"
Ia menggeleng perlahan. "Memangnya aku kenapa, Kak?"
"Tidak biasanya kamu seperti ini."
"Aira hanya mengantuk, Kak. Tidak kenapa - napa kok."
Bohong! Ada sesuatu yang sedang coba kau tutupi Aira.
"Sheila ..."
"Aira mengantuk, Kak! Sana keluar saja!" ucapnya memangkasku. Kali ini nadanya lebih tinggi.
Ini benar - benar bukan sosok Aira yang kukenali.
Lantas, ia pun berbalik. Memunggungiku dan menarik selimut tinggi - tinggi sebatas kepala dan menutupi semua area wajahnya dari jangkauanku.
Ada apa dengan kamu Aira?
"Baiklah, Kakak keluar. Maafkan Kakak ya karena terlalu keras tadi. Selamat tidur ..." Tidak ada kecupan di puncak kepalanya sebagi penghantar tidur. Tidak ada usapan lembut di sekitar kepala dan pipinya. Aku hanya mampu mengatakan hal demikian lantas keluar. Sesuai permintaannya.
Tekadku bulat, aku harus move on. Aira tidak bisa kumiliki secara utuh. Sementara berpisah tidak mungkin ku lakukan. Sehingga pilihan terbaik adalah melupakan. Ketika rasa di dalam sana mulai berkurang maka dengan sendirinya aku pun akan terbiasa tanpa melihatnya minimal satu hari saja.
Pasti mudah kan?
"Bintang? Kamu masih di sini, kupikir sudah pergi." Ketika keluar dati ruangan Aira, Bintang masih terduduk di kursi tunggu depan ruangan adikku.
"Tidak ada jadwal sampai tiga jam ke depan. Hanya ingin bersama Aira lebih lama," jawabnya. Aku menganggukkan kepala singkat.
"Mau ke mana kamu, Al?"
"Ke ruanganku. Mau tidur, ada apa? Kamu mau ikut?"
"Eyy, yang benar saja." Kami pun terkekeh sejenak.
"Tapi ... tumben kamu tidur di sana. Biasanya lebih memilih tidur di sofa asalkan tetap bisa bersama Aira. Apa aku salah?"
Iya tapi itu dulu. Sekarang aku sedang dalam tahap move on. Jadi, harus mengubah kebiasaan - kebiasaan kecil juga.
"Badanku jadi mudah sakit dan lelah sekali, Bi. Jadi sepertinya mulai hari ini aku akan tidur di ruanganku saja," jawabku pada akhirnya.
"Begitu ya. Yakin ini mau meninggalkan Aira sendirian?" Lagi - lagi Bintang menggoyahkan keputusanku.
"Banyak tim dokter yang akan memeriksanya setiap satu jam sekali, Bi. Para perawat juga melakukan jam malam mereka. Pasti Aira akan baik - baik saja."
Iya, Aira tidak akan kenapa - napa tanpaku sejenak.
"Kalau begitu, aku dan Julio saja yang tidur di ruangannya malam ini ya, Al."
Julio? Kenapa harus dia?
"Kenapa Julio?" tanyaku cepat.
"Sebagai pendekatan dokter dan pasiennya, Al. Kamu tidak keberatan kan?"
Tapi Aira penggemar Julio. Caranya memandang Juljo berbeda tidak sama seperti melihat dokter - dokter lainnya. Dan cara Julio memandang Aira pun, sangat berbeda. Saat ada aku di sana saja mereka saling melempar pandangan dengan mesra. Lalu, bagaimana jika aku tidak ada?
Lalu, kira - kira apa yang akan keduanya lakukan?
"Alpha! Hello kamu baik - bain saja kan?" Suara Bintang kembali terdengar.
Oh no!
"Aku berubah pikiran, Bi. Sepertinya aku saja yang akan tidur di sana. Seperti biasa." Telah ku pikirkan matang - matang. Dan inilah jawaban yang tepat. Tidak ingin mengambil resiko terlalu besar.
Jika Aira jatuh cinta dengannya adalah hal terburuk yang singgah di serebrumku.
"Dasar kamu Al - Al. Kenapa pula bisa berubah pikiran secepat itu kamu ha?"
"Bisa saja, Bi. Sudah pokoknya aku yang tidur di ruangan adikku. Kalian mengungsi di tempat lain saja," ucapku jahat. Ya, tidak masalah menjadi jahat asalakan tetap bersama Airaku. Tidak masalah.
Di sebelahku, Bintang mencebik. Kalau seperti ini dirinya serupa bayi karena wajahnya memang semenggemaskan itu.
"Yasudah, Al. Aku pamit sajalah." Dengan muka murung dan bibir merosotnya Bintang berucap.
Aku pun mengangguk sebagai jawaban paling etis setelah mengatakan kalimat - kalimat jahat sebelumnya kepadanya tadi.
***
Usai kepergian Bintang, aku memutuskan masuk kembali ke dalam ruangan Aira. Masa bodo dengan ucapanku sebelumnya. Perihal move on dan segala macamnya, sepertinya ditunda saja dulu.
Di ujung sana, adikku masih bergelung dalam balutan selimut tebal yang membungkua sampai sebatas lehernya. Kepalanya muncul dari balik itu.
Aku mendekat. Ada penyesalan atas sikapku tadi terbadapnya. Demi Tuhan aku merindukannya. Sangat merindukan sosoknya yang begitu kusayangi.
Sebelah tanganku terangkat mengelus puncak kepalanya.
"Selamat tidur, Sayang ..." ucapku pelan. Kemudian menanamkan satu kecupan panjang di keningnya. Lama.
Aku rindu, pada dirimu Aira. Tak pernah ada penolakkan sebelumnya yang kamu lakukan. Tolong, percayalah.
Lantas, mengapa harus seperti ini? Alpha sadar, sika yang Aira tunjukkan tadi adalah hal yang ingin ia bangun sebelumnya. Serius, mengapa pula harus dirinya yang bertindak demikian?
"Ada apa denganmu, Aira?" Pelan sekali. Begitu lirih nyaris seperti sebuah bisikkan.
Sebenarnya, siapa yang mencoba membangun dinding pembatas di antara kita? Jika pun itu kamu, kenapa, Ra?
Banyak hal yang menjadi tanda tanga pada diri Alpha. Bagaimana mungkin Airanya yang tulus dan menyayanginya dapat melakukan hal itu.
"Apa pun itu, tetaplah di sisiku. Hmm? Kakak sayang kamu," ucapku sekali lagi. Kemudian menanamkan kecupan sekali lagi. Kali ini di punggung tangannya.