8. The Evil in-Law Family

1673 Kata
“Kalau gitu, biar kamu gak kesepian, hari ini aku akan ambil cuti aja ya. Kita akan habiskan waktu bersama, gimana?” Akhirnya Zack berikan ide yang menurutnya cemerlang. Setidaknya dia bisa mengulur waktu untuk kembali mencari alasan yang masuk akal agar Elena tidak lagi memaksanya ikut ke kantor dan bertemu Tatyana. Masalahnya, bukan hanya hidupnya akan berada dalam bahaya, dia sendiri juga tidak tahu di mana keberadaan Tatyana sekarang. Apakah masih bernafas atau tidak, dia juga tidak tahu. Sejak kejadian itu, sungguh dia tidak tahu di mana Tatyana juga Fenty. “Aaah, tapi kan cuma satu dua hari aja Zack kamu bisa cuti. Besoknya gimana? Kamu kan gak mungkin terus menerus cuti untuk temani aku di rumah. Aku merasa seperti di penjara Zack, gak boleh ini, gak boleh itu, gak boleh keluar rumah. Eyang juga cuma video call karena asam urat Eyang sering kambuh. Oiya mama papamu kenapa gak datang untuk jenguk aku, Zack?” Tanya Elena, penasaran, baru menyadari bahwa keluarga mertuanya sama sekali belum ada yang menjenguknya. Sejak di rumah, untuk mengembalikan ingatannya, dia minta simbok untuk membawa album foto dan coba mengingat siapa saja mereka yang ada di foto itu, tentu saja dibantu simbok. “Kemarin itu aku yang melarang mereka datang jenguk kamu sayang, biar kamu cepet pulih, kamu kan harus banyak istirahat. Lagipula, aku merasa akhir-akhir ini sikap eyang berubah banget ke mama dan papa. Kenapa ya?” Pertanyaan retoris Zack yang tidak bisa dijawab oleh Elena. Elena hanya kedikkan bahu, dia masih sedih karena tidak mendapat ijin keluar rumah. Dia butuh suasana baru. “Aah ya, gimana kalau aku minta mereka untuk ke sini aja dan jenguk kamu ya?” Tanya Zack dengan nada antusias. “Boleh juga tuh, ide bagus. Oiya kapan aku harus ke rumah sakit Zack? Aku harus memeriksakan kehamilanku kan?” Kembali Zack merutuki kebodohannya. Rupanya dia memang tidak sepandai perkiraannya menyusun sebuah rencana yang mulus dan tanpa celah. Nyatanya dia lupa dengan status kehamilan Elena, yang sebenarnya tidak hamil tapi dia yakinkan bahwa istrinya itu sedang hamil. Otaknya segera berpikir untuk mencari alasan lagi. “Sayang, kamu kan tahu kondisi di rumah sakit gimana sekarang ini. Virus COVID19 sedang naik lagi statusnya kan karena ada varian baru. Tubuhmu masih lemah, aku takut kamu malah terpapar kalau nekat ke rumah sakit.” Tolak Zack dengan halus. Dia hembuskan nafas lega setelah ucapkan ini, tapi kelegaannya tidaklah lama. “Terus kapan dong aku bisa cek kandunganku ini? Aku kan juga pingin lihat bayiku di usg. Aku sungguh penasaran sekaligus antusias Zack! Akhirnya kita akan punya anak setelah dua kali aku keguguran.” Elena mengusap perutnya, dia berkata dengan nada penuh kebahagiaan. Zack menghela nafas panjang dan dikeluarkannya perlahan, dia benar-benar harus mengalihkan perhatian Elena dari kehamilan palsunya itu. Setidaknya, dia harus mengulur waktu. “Eeum sayang, gimana kalau hari ini kita aja yang ke rumah mama? Jadi kamu kan bisa keluar rumah sekalian refreshing tuh, tapi gak boleh terlalu lama ya. Kamu belum benar-benar fit. Kalau kamu setuju, aku akan kabari mama dan kita bisa secepatnya berangkat.” “Boleh Zack!” Jawab Elena, gembira. Yang penting dia bisa keluar rumah mewah ini, tapi bak penjara untuknya. Berada di rumah mertuanya memang bukanlah ide yang buruk walau juga bukan ide yang bagus juga karena kata simbok keluarga sang mertua tidak tulus menyayanginya. Entah apa yang mendasari simbok berkata seperti itu. Tapi, bagaimana dia bisa yakin karena sejak kecelakaan dia sama sekali belum pernah bertemu mertuanya? Lagipula, dia tidak mempunyai kecakapan dalam menilai orang. Dia tidak kuliah psikologi untuk bisa menilai orang lain. Simbok bilang, dia terlalu naif, menganggap semua orang itu tulus dan baik. * “Kalau mau istirahat, bawa Elena ke kamar tamu saja Zack. Kasihan, masih pucat gitu.” Tutur Pratiwi, ibunda Zack dengan wajah yang dibuat seolah dia bersimpati pada Elena. Mereka baru saja sampai di rumah orang tua Zack. “Iya mah, tadi aku udah ingatkan dia tidak bisa terlalu lama di sini karena Elena tidak boleh kecapaian. Istirahat dulu ya sayang, sejam lagi aku bangunin yaa.” Kata Zack dengan mimik khawatir karena Elena yang memucat. Jalanan lumayan macet hingga membuat mereka tersendat, sedari tadi Elena sudah gelisah di mobil, mungkin karena merasa lelah. Sebenarnya Zack menawarkan untuk putar balik, pulang, tapi Elena menolak dengan alasan sudah berjanji pada sang mertua. “Iya. Maaf ya ma, aku ke sini tadinya mau ngobrol banyak, malah ngerepotin gini.” Jawab Elena, lemah. Ternyata fisiknya memang belum mampu untuk dipaksa melakukan perjalanan jauh. Baru satu langkah kaki tapi Elena sudah limbung, beruntung Zack yang jalan di belakangnya, sigap memeluk agar istrinya itu tidak jatuh. “Aku bopong saja sampai kamar ya sayang, lingkarkan tanganmu di leherku. Kalau mau menyadar, bersandarlah.” Bisik lembut penuh kasih Zack membuat Elena melayang. Tanpa ragu dia sandarkan kepalanya ke bahu Zack. Matanya melihat ke Zack penuh cinta, merasa sungguh beruntung mendapatkan suami seperti Zack. “Tidurlah dulu, sekira satu jam ya. Aku mau ngobrol sama mama papa di taman belakang.” Kecup Zack ke kening Elena. Zack menyelimuti hingga d**a agar Elena merasa hangat dan segera lelap tertidur. “Gimana kondisi istrimu Zack? Sepertinya sudah membaik ya?” Tanya Pratiwi saat Zack sudah duduk bersama dia di halaman belakang. “Iya mah, sudah lumayan tapi belum seratus persen sih. Dari rumah ke sini aja dia sudah kelelahan.” “Amnesianya masih?” Sambar Subari, ingin tahu. “Masih pah, sudah ada beberapa hal yang dia ingat, tapi yaa gitu deh.” Zack kedikkan bahu. Dia tidak bercerita apa yang terjadi sesungguhnya pada keluarganya. Cerita yang dia sampaikan ke mama papanya, sama persis dengan yang dia ceritakan pada eyang dan Elena, agar sinkron dan tidak ada perbedaan. "Oiya, mana Soga? Gak keliatan mah." Zack menanyakan adiknya yang selisih usia tujuh tahun dengannya. "Tadi dia menunggumu tapi karena kamu telat datang dan dia ada janji jadi dia titip salam saja." Sahut Subari. “Zack, bukankah ini saat yang tepat untuk kamu ambil alih perusahaan?” Tanya Pratiwi, licik. Perempuan paruh baya ini sangat menikmati mempunyai menantu kaya raya. Dia bisa berfoya-foya tanpa perlu memusingkan sumber dana karena Zack selalu memberinya uang bulanan dengan nominal sangat besar. “Maksud mama apa sih? Aku tuh memang dipercaya menjadi direktur mah, tapi bukan berarti aku punya kemampuan untuk menguasai semuanya. Mayoritas saham tetap dimiliki eyang dan Elena. Penghasilanku tuh dari gaji loh mah, bukan cuma-cuma dari eyang. Aku tidak sekadar menengadahkan tangan untuk mendapatkan penghasilan.” Jawab Zack, sekali lagi menjelaskan posisinya di keluarga Bratajaya. “Kalau ada apa-apa terjadi pada Elena, bukankah haknya akan diberikan ke kamu Zack?” Pratiwi, si serakah, tetap saja mengompori sang putra. “Enggak mah. Kami kan ada perjanjian pra nikah. Aku tidak berhak sama sekali pada warisan Elena jika sesuatu terjadi padanya, sepeser pun. Mama kenapa sih? Aku gak mau mama punya niatan buruk pada Elena ya! Dia istriku loh, menantu mama dan papa!” Tegas Zack. Dalam hatinya, dia merasa curiga dengan tingkah laku mamanya yang mendadak jadi berambisi dan serakah. “Huuft, kirain bisa. Mama kira kamu bisa memanfaatkan kondisi amnesia Elena dengan mengambil keuntungan darinya. Tapi kalau tidak bisa ya sudah, berarti kita harus puas dengan apa yang kita dapat selama ini ya pah.” Pratiwi seperti minta persetujuan Subari untuk mendukungnya. “Iyaa mah, bener itu. Kita nikmati aja.” Jawab Subari, santai, tapi tampak memikirkan sesuatu. “Mah, pah, aku sudah berkali-kali bilang kan jangan punya pikiran buruk pada Elena. Elena sudah berikan banyak hadiah untuk mama dan papa. Mobil mewah, rumah mewah, pelesiran setiap tahun, kurang apalagi sih?” Nada Zack mulai naik, merasa emosi karena papa mamanya masih saja merasa kekurangan. Padahal jika dibandingkan dengan masa lalu, kondisi mereka sekarang jauh lebih sejahtera. Subari dan Pratiwi berpandangan, seperti punya kode yang hanya dipahami oleh keduanya. “Iya Zack, mama ngerti itu. Maaf ya bikin kamu jadi emosi gini. Nih minum dulu kopi kesukaanmu. Lusa mama dan papa akan jenguk Elena di rumah kalian ya. Mau dibawain apa? Rujak? Buah yang asem-asem?” Pratiwi memberikan secangkir kopi pada Zack, tapi ditolak. “Enggak aah mah, terima kasih kopinya, nanti perutku kembung nih. Aku mau ajak Elena pulang ya, mumpung masih jam segini jadi belum begitu macet lagi perjalanan ke Jakarta. Kabari kalau kalian mau ke rumah biar aku bisa ambil cuti.” Pamit Zack, berdiri dan melangkah ke arah kamar tamu di mana Elena sedang istirahat. “Ingat ya mah pah, tolong jangan aneh-aneh deh. Kalau kalian butuh uang, yang aku tahu sebenarnya tidak, kalian bilang saja padaku. Menjadi kewajibanku untuk menafkahi kalian.” Sayangnya Zack tidak melihat seringaian seram dari bibir Pratiwi dan Subari. Keduanya menyimpan sebuah rahasia kelam yang akan merubah garis hidup Zack. Hidupnya sebagai seorang anak lelaki, mungkin terbilang berbakti pada orang tua, namun sayangnya, baktinya itu dimanfaatkan oleh orang tua yang serakah, hanya ingin menikmati duniawi tanpa mau bersusah payah bekerja keras. Andai Zack tahu rahasia kelam apa itu, mungkin saja dia akan berubah pandangan pada orang tuanya. Mungkin saja dia memilih untuk membenamkan dirinya ke inti bumi paling dalam yang dia bisa. Menyelam di palung Mariana dan tidak lagi memunculkan dirinya. “Pah, berarti kita harus simpan rahasia itu rapat-rapat, jangan sampai Zack atau keluarga Elena tahu bahkan mengendus keterlibatan kita. Semua bukti sudah dimusnahkan kan pah?” Tanya Pratiwi pada Subari dengan berbisik, padahal mereka hanya berdua. Seakan mereka takut, hembusan angin mampu mendengar apa yang mereka bicarakan dan membocorkannya pada Zack dan Elena. “Kita sudah mah, papa sudah hancurkan semua bukti tak bersisa, tapi gak tahu dari pihak keluarga Kamal. Ingatkan papa untuk bertanya pada mereka. Semoga saja mereka cukup pintar dengan sudah menghilangkan semua barang bukti.” Jawab Subari, juga berbisik. Terkadang, bagi sebagian orang, harta benda duniawi mampu menutup mata hati dan akal sehat manusia hingga halalkan segala cara untuk memuaskan syahwat semata tanpa pernah memikirkan dosa. Apakah Pratiwi dan Subari mampu lakukan itu? Hanya waktu yang bisa menjawab ini, tentu saja dengan campur tangan eyang dan juga Raymond (semoga masih ingat Raymond ya - ada di Crazy Rich Daniel Tedja, monggo mampir ke lapak Daniel.)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN