Kamu sudah mati, brengs*k!

1369 Kata
Jihan membuka pintu seraya menunduk karena tidak berani melihat. "Kenapa lama sekali?" Deg! "Nggak mungkin," ujar Jihan dari dalam hati. Detak jantungnya semakin cepat, tapi ia tidak berani melihat sama sekali. Ia tidak berani melangkah sama sekali. "Ji-jihan," ucap Lp yang tiba-tiba berdiri. Bahkan saat Jihan menunduk, Lp sudah bisa menebaknya. Sungguh mata yang sangat lihai sehingga tingkat kesalahannya dalam mengenali Jihan sangat kecil sekali. Jihan yang awalnya menunduk langsung mengangkat wajah. Apa yang sedang ia lihat? Kenapa laki-laki di depannya mirip dengan orang yang paling ia benci di dunia ini? Jihan merasa waktu berhenti seketika. Keduanya sama-sama terdiam dengan tatapan yang tidak bisa dideskripsikan. Jujur saja, bagi Lp ini pertemuan yang tidak direncanakan sama sekali. Ia memang punya rencana untuk bertemu dengan Jihan, tapi bukan sekarang. Jangan tanya bagaimana detak jantung Lp sekarang. Dia tidak punya persiapan sama sekali. Apa yang harus Lp lakukan sekarang? Dia benar-benar bingung. Tapi Lp tidak ingin lari, ia harus menghadapi Jihan cepat atau lambat. Lp berusaha mengendalikan diri. Melihat Jihan secara langsung membuat hatinya terasa sakit sekali. Apalagi Jihan terlihat kurus, tidak seperti delapan tahun yang lalu. Jiwa Lp sangat ingin memeluk Jihan. Tapi ia tidak bisa melakukan itu. Jihan sudah menjadi mantan istrinya. "Apa kabar?" tanya Lp seakan tidak pernah melakukan kesalahan. Dia hanya berpura-pura baik-baik saja. Padahal hati Lp terasa sangat hancur. Terlihat sangat jelas bagaimana pandangan Jihan terhadap dirinya. Baru mengatakan itu. Tiba-tiba wajah Lp langsung terkena siraman kopi. Ia hanya bisa tertawa tanpa ada rasa marah sama sekali. Lp seharusnya mendapat perlakukan yang lebih besar dari ini. Hanya siraman kopi dan itu tidak akan membuat rasa marah dan benci Jihan mereda. Lp mengusap wajah dengan telapak tangan. "Apa masih kurang?" tanya Lp sembari tersenyum. Tubuh Jihan gemetar. Matanya memerah, bahkan kedua tangannya mengepal dengan kuat. Apa yang ia alami sekarang tidak pernah terpikirkan sama sekali. Kenapa harus bertemu kembali? Jihan benci dengan fakta itu. Kebencian Jihan sudah sampai ke tahap ingin melempar apapun pada Lp. Senyum yang Lp perlihatkan tidak menggambarkan bagaimana perasaannya. Dia sakit, dia rapuh dan dia merasa sesak tapi Lp tidak bisa menunjukkan hal tersebut. Ia merasa sangat malu kepada Jihan. Apa pantas dia bertingkah seakan-akan menjadi korban? Padahal dia lah pelakunya. "Jihan..." panggil Lp. Sudah lama ia tidak menyebut nama itu. "Aku ti-" "Stop!" Jihan menutup kedua telinganya. "Kamu sudah mati, brengs*k!" lanjutnya lagi. Setelah itu Jihan keluar dari ruangan Lp dengan terburu-buru. Tubuhnya masih gemetar dengan hebat, bahkan Jihan hampir jatuh karena langkah kaki yang tidak stabil. "Mbak..." panggil Edi yang berpapasan dengan Jihan di depan lift. Jihan tidak memberi respon sama sekali. Ia bahkan tidak menghiraukan apapun. "Mbak nggak apa-apa?" tanya Edi khawatir. Lagi dan lagi Jihan tidak menjawab. Ia menekan tombol agar lift cepat tertutup. Kini Lift sudah tertutup walaupun Edi masih diliputi rasa kebingungan. Tubuh Jihan melemah. Ia berjongkok di sudut lift sambil memeluk dirinya sendiri. Walaupun hanya sebentar, karena ketika Lift terbuka di lantai lain Jihan kembali berdiri dan tidak ingin menunjukkan wajahnya kepada orang lain. Jihan tidak ingin bertemu dengan Lp. Sejak Lp meninggalkan dirinya, hidup Jihan benar-benar hancur. Saat dirinya bangkit dan menjalani hidup dengan normal, Lp malah muncul di depannya. Bagaimana bisa Jihan menghirup udara dengan baik? Dadanya terasa sangat sesak. Sakit sekali dan itu sangat menyiksa Jihan. Satu tempat yang dituju oleh Jihan bukanlah tempat kerjanya. Dia memilih untuk masuk ke dalam salah satu toilet yang ada di lantai dua. Kran air sengaja dinyalakan oleh Jihan agar tidak ada yang mendengar dirinya dari luar. Jihan menangis, ya dia menangis karena tidak sanggup menahan rasa sesak di d**a. Ingatan tentang bagaimana hidupnya hancur membuat kepala Jihan ingin pecah. Disamping itu, Lp hanya bisa melihat kepergian Jihan. Dia tidak bisa mengejar sama sekali. Melihat bagaimana tatapan Jihan kepada dirinya, Lp sadar rasa benci itu sangat besar. Lp mengacak rambutnya frustasi. Pikirannya benar-benar kacau. Bahkan ia tidak peduli dengan kemeja yang sudah terkena kopi. "Jihan," lirih Lp. Sekalipun Jihan berada di dekatnya, tapi Lp tidak bisa berbuat apa-apa. Suara ketukan pintu terdengar. "Masuk," ujar Lp walau pikirannya sangat-sangat kacau. "A-apa yang terjadi, Pak?" Edi kaget melihat lantai terkena tumpahan kopi. Bahkan cup kopi tergeletak begitu saja di lantai. Lp memijat pangkal hidungnya. "Ada apa?" tanya Lp tanpa menjawab pertanyaan Edi. Emosi Lp sedang tidak stabil, jadi lebih baik menjauh. "Saya hanya memastikan kopi Bapak sudah datang" jelas Edi. "Kenapa kamu menyuruh orang lain?" Lp berkata dengan nada tinggi. Bahkan Edi langsung terkejut karena baru pertama kali mendengar nada tinggi sang atasan. "Ma-maaf, Pak." Edi menjawab dengan terbata-bata. "Kamu mau saya pecat?!" "Ti-tidak, Pak." Edi hanya menunduk. Dia belum genap bekerja selama satu bulan. Jangan sampai dipecat. Apalagi bekerja diperusahaan menjadi impian banyak orang. "Keluar!" usir Lp. Edi langsung keluar. Jika dia tetap berada di sana, bisa-bisa menambah kemarahan sang atasan. "Pak Lp mana?" tanya Yu yang tidak sengaja bertemu dengan Edi di depan ruangan Lp. "Di-didalam, Pak." Edi menjawab dengan penuh ketakutan. "Kamu kenapa?" Yu merasa ada yang aneh. "Tidak ada, Pak. Maaf, saya permisi dulu, Pak." Edi bergegas pergi. Yu hanya bisa memperhatikan punggung Edi yang perlahan-lahan menghilang. Yu membuka pintu ruang Lp tanpa mengetuk terlebih dahulu. Dia lantas berkata, "lo tau jam-" Ucapan Yu tidak selesai karena melihat ruangan Lp yang sangat berantakan. Lantai kotor, dokumen kemana-mana. Baru pertama kali Lp melihat ruangan Lp seberantakan ini. Yu melangkah secara perlahan-lahan. Dia masih dalam kebingungan yang besar. "Lp," panggilnya. "Hm." Mata Yu langsung melihat Lp yang sedang berbaring di sofa. "Ini kenapa ruangan lo berantakan?" tanya Yu meminta penjelasan. "Nggak usah banyak tanya!" jawab Lp dengan nada yang tidak bersahabat. Padahal Yu bertanya dengan nada baik-baik, tapi kenapa respon Lp malah sebaliknya. "Lo sakit?" tebak Yu. "Kalau nggak ada perlu, keluar!" Yu tambah kaget. "Gue nanya baik-baik, kok lo nyolot?" Yu tidak terima diperlakukan seperti itu. "Ck, keluar!" sentak Lp tanpa panjang lebar. Yu jadi ikutan emosi. "Lo kalau PMS jangan dilampiaskan ke orang," keluhnya. "Berisik!" Wah wah, tangan Yu jadi gatal sendiri. Meskipun begitu, ia masih bisa menahan diri. Tidak lucu jika beredar informasi dirinya memukul Lp. Bisa-bisa jadi bahan gosipan karyawan yang ada di perusahaan ini. Hancur sudah image yang dibangun susah payah oleh Yu. "Lo kalau ada masalah jangan dicampur sama pekerjaan," ujar Yu. Lp tidak memberi respon. "Lo kira hanya karena atasan, terus bisa berbuat seenaknya?" Yu menatap Lp dengan tajam. "Orang di ruang rapat udah nunggu lo selama setengah jam," lanjutnya lagi. "Apa maksud lo?" tanya Lp. "Kalau nggak bisa gantiin ya tolak dengan jelas, jangan diiyakan." Yu marah. Lp yang awalnya berbaring langsung duduk. Dia masih mencerna apa yang dikatakan oleh Yu. Yu menatap Lp dengan sinis , jangan tanya bagaimana kekesalan Yu berharap Lp. Beberapa karyawan menunggu di ruang rapat, tapi Lp tidak datang-datang. Memang awalnya rapat itu akan dihadiri oleh Zero, tapi Zero berhalangan untuk hadir sehingga meminta tolong kepada Lp untuk digantikan. "Maksud lo apa?" Lp masih tidak mengerti. Yu dengan santainya melempar Lp dengan beberapa lembar kertas yang sudah ia kutip di lantai. "Jangan main-main!" Yu tersenyum sinis. "Terserah, gue nggak mau ikut campur." Yu memilih keluar dan meninggalkan Lp yang masih diliputi tanda tangan besar. Lama-lama diruangan Lp hanya akan membuat kegaduhan yang tidak diperlukan. Lp berpikir keras tentang apa yang dikatakan oleh Yu. Beberapa menit kemudian, dia baru ingat. Pikiran Lp benar-benar kacau. Pekerjaan sedang banyak-banyaknya, kemudian malah bertemu langsung dengan Jihan dan dapat melihat kebencian yang besar dari Jihan. Lp melihat jam di dinding. Hampir tiga puluh lima menit berlalu dari jadwal rapat yang sudah ditentukan. Bisa-bisanya ia lupa. Mau tidak mau, Lp tetap melangkah ke ruang rapat walau pakaiannya terlihat kotor. Bahkan wajahnya tidak terlihat baik-baik saja. "Maaf, saya terlambat." Kalimat itu yang Lp katakan saat masuk ke ruang rapat. Tidak akan ada yang marah atau protes di depannya langsung. Mungkin kalau di belakang pasti ada. "Tidak apa-apa, Pak," jawab Pak Samsul. Lp duduk di kursi yang memang disediakan untuk dirinya. "Langsung saja," instruksi Lp karena tidak ingin basa basi. Seseorang langsung berdiri dan mempresentasikan laporan untuk divisi media. Apa saja yang sudah mereka lakukan dan hasil yang didapatkan. Lp tidak terlalu fokus, bahkan pikirannya mengarah kepada Jihan dan Jihan. Ada rasa khawatir yang sangat mendalam. Bagaimana jika Jihan memutuskan untuk pergi dari perusahaan ini? Apa Lp akan kehilangan Jihan untuk kedua kalinya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN