5. Is That You?

1366 Kata
Memiliki anak di usia 20 tahun memanglah bukan perkara mudah. Ada berbagai gejolak emosi yang harus dikendalikan dan masa depan yang dipertaruhkan. Ditambah lagi anak kembar yang harus dirahasiakan keberadaannya selama sepuluh tahun terakhir. Namun Madilyn tidak pernah menyesali keputusannya waktu itu. Sama halnya seperti Saveri, kedua orang tuanya waktu itu juga memaksanya untuk menggugurkan kandungan itu saat pertama mengetahui soal kehamilannya. Namun Madilyn bersikeras akan melahirkan dan membesarkan bayi dalam kandungannya. Dia memperjuangkan kehidupan bayi dalam kandungannya. Dan setelah sepuluh tahun berlalu dia masih tak percaya bahwa dia berani menentang kedua orang tuanya demi mempertahankan kehidupan janin dalam kandungannya. Namun setiap hari melihat pertumbuhan anak kembarnya, dia bersyukur telah memperjuangkan mereka. Dan dia rasa kedua orang tuanya juga merasakan hal yang sama karena mereka lebih memanjakan cucu-cucu mereka daripada anaknya sendiri. Bersama anak kembarnya Tuhan meminta Madilyn agar menjalani hidup dengan lebih bijak, lebih amanah dan lebih bermakna. Kehadiran anak kembarnya membuat Madilyn akhirnya sadar bahwa dia telah mengabaikan banyak hal penting di dalam hidupnya. Terutama mengasah bakatnya di bidang melukis. Hal yang telah lama ditinggalkannya karena harus menuruti kemauan kedua orang tuanya agar mendalami ilmu keuangan internasional. Di mana saat ini melukis bisa dikatakan sebagai sumber mata pencahariannya. Karena melukis versi Madilyn bukan sekadar melukis di atas kanvas. Ada banyak tempat yang bisa dijadikan kanvas dan cuan terutama ketika dia sedang mendapatkan pekerjaan melukis mural. Dari melukis dia mampu membiayai kehidupannya bersama kedua anaknya. Bahkan dia mampu membeli rumah sederhana dan sebuah mobil bekas tanpa bantuan dari kedua orang tuanya. “Mom, hari ini jadi ke bandara jemput Oma dan Opa?” tanya Riyo ketika Madilyn sedang sibuk di dapur menyiapkan sarapan untuk mereka bertiga. Ayah Madilyn sejak kemarin lusa menghadiri acara pertemuan dengan kolega bisnisnya di Singapore dan rencana pulang ke Jakarta siang ini. Madilyn diminta menjemput kedatangan kedua orang tuanya di bandara sambil membawa si kembar karena Oma dan Opa mereka sudah sangat merindukan cucu-cucunya setelah tiga hari tidak bertemu. “Yes, Baby.” “Jam berapa?” tanya Riyo lagi. “Midday, Baby. Nanti makan siang di jalan aja. Takut nggak keburu kalau masih makan dulu sebelum berangkat.” “Oke, Mom. Aku ke kamar dulu ya. Nanti kalau sarapannya sudah selesai panggil,” ujar Riyo beranjak pergi dari dapur. “Oke, Baby,” balas Madilyn sambil mengacak puncak kepala anak laki-lakinya itu sebelum pergi. Selama sepuluh tahun Madilyn hidup sebagai seorang single mother dari sepasang anak kembar yang memiliki IQ tinggi dan jenius. Sepanjang waktu itu dia masih setia berbohong pada semua orang termasuk kedua orang tuanya bahwa laki-laki yang menghamilinya adalah orang asing yang dia kenal pada saat menghadiri sebuah pesta. Beruntung anak kembarnya mewarisi gen Saveri yang memang memiliki keturunan bule dari orang tuanya. Jadi Madilyn tidak terlalu kelihatan berbohong saat mengatakan kalau yang menghamilinya adalah seorang bule, satu hal yang bisa Madilyn syukuri di tengah keputus asaannya kala itu. Karena paras si kembar cukup menunjukkan kalau di dalam darahnya mengalir keturunan bule. Terutama warna bola mata salah satu anaknya yang memang lain daripada yang lain. Meski wajahnya menunjukkan ras asiatic-mongoloid tetapi anak Madilyn yang itu memiliki warna mata merah kecoklatan atau yang biasa dikenal dengan warna hazel, persis seperti bola mata Saveri. Sementara satunya lagi wajahnya lebih menunjukkan ras kaukasoid tetapi warna bola matanya coklat terang seperti Madilyn. Anak kembar Madilyn adalah Kembar tidak identik (kembar fraternal) dan memiliki jenis kelamin yang berbeda. Yang laki-laki bernama Riyo, sementara yang perempuan bernama Sasha. Keduanya sama-sama memiliki IQ dan tinggi kecerdasan di atas rata-rata. Di usianya ke tujuh tahun kala itu anak-anak seumuran mereka sedang asyik berebut mainan dan bermain kejar-kejaran, tidak halnya dengan Riyo dan Sasha. Keduanya lebih tertarik mengetahui lebih jauh tentang bilangan nano, tentang teknologi nano. Sejak kecil Riyo sangat suka berlama-lama di kamar mandi dan mandi harus dengan ember yang besar sampai usianya sekitar 7 tahun. Belakangan Madilyn tahu hobi unik anaknya itu ternyata bermanfaat. Di usia segitu Riyo sudah belajar tentang bermacam-macam gelombang air. Sementara Sasha usia 7 tahun kala itu buku IPA kelas 1 sampai kelas 6 SD dia selesaikan dalam waktu lima bulan. Setelah selesai dengan buku pelajaran IPA tingkat SD, keduanya melanjutkan pelajaran IPA tingkat SMP. Karena materi IPA di tingkat SMP meliputi tiga bidang ilmu dasar, yaitu Biologi, Fisika dan Kimia, saat itu Riyo cenderung menyukai Fisika, sementara Sasha lebih tertarik pada Kimia dan Biologi. Itu adalah sebagian kecil kecerdasan yang dimiliki oleh anak kembar Madilyn. Sayangnya meski cerdas mereka tidak bisa menempuh pendidikan formal di sekolah negeri atau swasta unggulan karena Madilyn tidak mau anak-anaknya menjadi bahan cemooh guru-guru maupun teman-temannya kalau ketahuan anak yang lahir diluar nikah. Madilyn tidak akan sanggup kalau sampai melihat anak-anaknya pulang sekolah sambil nangis-nangis karena diejek sebagai ‘anak haram’. Jadilah Madilyn memberikan pendidikan pada anak-anaknya sebatas homeschooling. Selain homeschooling Madilyn juga berperan sebagai guru yang baik dan menyenangkan bagi anak-anaknya. Madilyn bersyukur anak-anaknya bukan tipikal anak-anak yang sulit belajar. Dia teramat sangat bersyukur Tuhan mengirimkan anak-anak yang cerdas dan memiliki hati seluas samudera seperti Riyo dan Sasha. Mereka tidak pernah protes apalagi merasa bosan meski hanya tinggal di rumah sepanjang waktu dan tidak berinteraksi dengan teman sebayanya. Sekarang pukul 11.30 Riyo yang paling excited ke bandara karena dia sangat menyukai pesawat sudah siap di teras menunggu Madilyn menyiapkan bekal makan siang untuk mereka di jalan. “Sasha mana?” tanya Madilyn saat keluar rumah dan hanya menemukan Riyo di teras. “Masih di kamar.” “Panggilin, dong. Suruh cepet gitu.” Riyo bangkit dari kursi teras dan berjalan ke dalam rumah dengan langkah malas. “Sashaaa!!!” panggil Riyo dengan suara lantang. “Iya, iya. Ini udah selesai. Aku keluar sekarang.” Terdengar suara pintu ditutup disertai langkah tergesa menuju ruang tamu. Riyo menatap malas pada kebiasaan saudara kembarnya yang cenderung lelet menurutnya. Sementara Sasha hanya tersenyum lebar melihat wajah malas kembarannya itu. Sasha mengikuti langkah Riyo yang keluar rumah lebih dulu. Di pintu rumah Madilyn berpapasan dengan Riyo. “Mau ke mana, Mom?” tanya Riyo. “Mau periksa lampu-lampu sama pintu dan jendela.” “Udah semua kok, Mom. Aku tadi yang matiin lampu dan nutup jendela-jendela.” “Udah dikunci?” “Udah. Tinggal pintu utama aja sama garasi. Mommy keluarin aja dulu mobilnya. Biar aku yang ngunci pagernya.” “Okay,” jawab Madilyn kemudian berbalik badan dan melangkah cepat menuju mobil. Setelah berkendara selama satu setengah jam karena harus berjibaku dengan kendaraan lain di jalan raya yang padat, mobil Madilyn memasuki area bandara. Namun setelah berada di bandara Madilyn mendapat kabar bahwa pesawat yang ditumpangi kedua orang tuanya mengalami delay. Sehingga pesawat yang dijadwalkan tiba pukul satu siang molor menjadi pukul tiga sore. Madilyn memutuskan mencari restoran cepat saji di sekitar bandara untuk makan siang sambil menunggu kedatangan kedua orang tuanya. Meski membawa bekal makan siang dari rumah Madilyn membebaskan si kembar untuk memilih makanan lain yang mereka suka. Satu jam kemudian Riyo merasa bosan hanya bermain ponsel saja sedari tadi di restoran. Dia lalu memutuskan untuk berkeliling di sekitar bandara. Tepat ketika Madilyn sedang pamit ke toilet Riyo kabur meninggalkan Sasha. Sebenarnya Riyo sudah mengajak Sasha. Namun kembarannya itu sedang asyik dengan ponselnya, sehingga tidak memedulikan apa pun yang hendak dilakukan oleh Riyo. “Riyo mana, Sha?” tanya Madilyn saat kembali dari toilet dan hanya menemukan Sasha sedang asyik bermain ponsel tanpa ada Riyo di sekitar mereka. “Katanya mau jalan-jalan,” jawab Sasha cuek. “Bawa handphone nggak?” “Call aja, Mom. Kalo nggak kedengeran bunyi handphone berarti bawa.” Madilyn berdecak mendengar jawaban santai dari Sasha sementara dirinya sedang cemas memikirkan Riyo. Madilyn mencoba menghubungi nomor ponsel Riyo. Benar kata Sasha, tidak terdengar dering telepon di sekitar mereka. Itu artinya Riyo memang membawa ponsel saat ini. Madilyn kembali menghubungi Riyo, akan tetapi Riyo belum juga menjawab satupun panggilan telepon Madilyn. Sampai akhirnya ketika Madilyn hendak berjalan menuju pusat informasi untuk mengumumkan pencarian anaknya, dia menemukan sosok Riyo sedang berjalan ke arah restoran. Namun bukan Riyo yang membuatnya terkejut dan panik saat ini. Melainkan sosok yang sedang berjalan bersama Riyo sambil merangkul pundak anak laki-lakinya itu. Jantung Madilyn berdebar kencang ketika langkah Riyo semakin dekat ke arah restoran. “Saveri? Is that you??” ucap batin Madilyn sambil menyentuh dadanya. ~~~ ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN