Satu
Diara menatap dinding rumah kecilnya dengan kosong, helaan napas terdengar keras dari wanita berambut sepunggung itu, mata besarnya tampak agak bengkak dan sayu.
"Kalau aku jual rumah ini, apa cukup untuk membayar hutang itu? Lagipula aku hanya tinggal sendiri sekarang, mungkin sebuah kos kosan kecil saja sudah cukup." wanita itu berpikir keras.
Sungguh Diara tak pernah berpikir hidupnya akan seperti ini, sudah berapa kali ia melakukan penjualan rumah untuk pindah ke rumah yang lebih kecil dan lebih kecil lagi demi membayar hutang yang tak pernah ada habisnya, sedangkan si pembuat hutang yaitu ayahnya entah berada dimana saat ini. Bahkan saat ibunya meninggal satu bulan lalu karena sakit, tidak ada kabar dari sang ayah sama sekali.
Diara sungguh tidak bisa tenang barang sebentar saja dalam keadaan duka kehilangan sang ibu karena sudah harus pusing oleh perilaku ayahnya.
"Kenapa ada manusia seperti itu? Menyusahkan saja, benar-benar pria menyebalkan!" Diara menggerutu dan menelpon pihak yang akan membantu penjualan rumahnya.
***
"Di.., lo bengong aja gua perhatiin dari tadi, mikirin apa lo?" tanya kasir lain yang sama-sama bertugas dengan Diara malam ini di sebuah minimarket.
Diara tersadar dan menggeleng saja, "pusing kepala gua Sha, problema hidup gua ga ada abis-abisnya heran."
"Kenapa hah? Ada yang mintain utang lagi?"
"Iya, dan rumah gua belum terjual juga sampai sekarang."
"Lo jadi jual rumah lagi?" tanya Sasha kaget dengan ucapan Diara.
"Mau gimana? Gua ga ada uang lagi, tabungan gua habis untuk ibu kemarin. Rasanya pusing banget Sha, masalah hidup gua cuma kitaran utang bapak gua yang bahkan gua ga tahu uangnya dipake buat apa."
Sasha cuma bisa ikut bersedih mendengar permasalahan temannya ini, "andai aja gua bisa bantu Di, tapi lo tahu, hidup gua juga pas-pasan."
Diara tersenyum, "lo dengerin masalah gua tiap hari aja gua udah seneng banget kok Sha."
"Terus kalau lo jual rumah, lo mau tinggal dimana? Nyari rumah yang lebih kecil lagi?"
Diara menggeleng, "gua sekarang sendiri, gua bakal cari kos-kosan aja."
"Gua kadang juga suka kepikiran sama hidup lo, Di. Mau sampai kapan lo begini? Dan sekarang lo sendirian, makin kepikiran gua." Sasha benar-benar khawatir mengingat bagaimana hidup Diara dengan segala permasalahannya.
"Ya mau gimana, dah begini jalan hidup gua. Mau marah juga ga tahu marah ke siapa, gua cuma berusaha bertahan aja, gua yakin suatu hari akan membaik, kalaupun ga berubah, gua yakin gua bakal terbiasa."
"Salut gua sama lo, emang ya ujian yang berat itu cuma untuk orang kuat kayak lo."
Diara terkekeh, "apaan sih lo, lebay banget. Sekarang gua cuma bisa berandai-andai bakalan ada keajaiban yang datang ke gua, setidaknya cuma untuk lepas dari jeratan utang yang dibikin bapak gua."
Sasha tersenyum mendengar itu, "pasti bakal ada jalan keluar. Tapi Di, menurut gua lo harus ada temen, jangan sendirian mulu."
"Maksud lo, Sha?"
"Cari pacar sana, biar ada yang merhatiin lo sedikit. Lagian juga lo kapan terakhir deket sama cowok? Ya kali lo bisa lakuin semua sendiri? Walaupun gua tahu lo kuat dan mandiri, tapi apa salahnya ada temen spesial?"
Diara menghela napas panjang, "gua sadar diri Sha, ga berani gua deket sama orang."
"Sadar diri? Apanya Di? Gua tahu kalau lo sendiri sadar kalau lo cantik kan?"
"Makasih udah muji gua, jadi malu nih." Diara tertawa sambil memperhatikan kondisi minimarket yang sedang sepi.
"Serius Diaraaaaaaa!"
"Siapa sih Sha, cowok yang mau terima keadaan hidup gua yang ga jelas begini? Gua hidup cuma bawa masalah aja, sadar diri aja gua mah.''
"Lo ga boleh mikir begitu, ada banyak orang baik di dunia ini."
"Iyaa, gua tahu ada banyak orang baik. Tapi orang baik yang deket gua pada jarang yang mau nerima kondisi gua yang begini. Udahlah Sha, santai aja."
Sasha hanya bisa geleng kepala sambil kini mulai menghitung belanjaan seorang pembeli dihadapannya.
Sedangkan Diara, ia kembali diam dengan berbagai pemikirannya yang tidak ada habisnya.
*
"Kenapa ya belum ada kabar orang beli? Harus berapa lama lagi aku mesti nunggu? Ini sudah deket sama hari yang kujanjikan untuk membayar hutang." Diara gelisah sambil menggigit kuku ibu jarinya.
Namun disaat itu ia mendengar ketukan pintu, wanita itu kaget dan ragu untuk membukakan pintu. Ia sudah cukup lelah, setiap ada orang yang datang, pasti mereka hanyalah orang yang menagih hutang.
"Sudah berapa seringpun, aku tetap saja ketakutan menghadapi para rentenir ini." Diara memijat kepalanya sendiri dan memutuskan untuk keluar menemui siapapun itu.
"Diara?" tanya seorang pria cukup berumur saat melihat Diara membukakan pintu.
"Ya., apakah bapak ingin menagih hutang atas nama ayah saya?" tanya Diara dengan wajah putus asa.
Pria itu mengerutkan dahinya mendengar pertanyaan Diara, "kamu tidak ingat saya?"
Kini giliran dahi Diara yang mengerut karena heran, "maaf, apa saya kenal bapak? Eh, maksudnya bapak kenal saya?"
Pria itu tertawa, "waktu itu saya ada disaat ibu kamu kritis di rumah sakit, dan saya juga bantu proses pemakaman ibu kamu, Tyas."
Diara diam sejenak hingga akhirnya tersadar, "ouh bapak, maafkan saya pak. Saya tahu bapak, padahal bapak yang udah banyak sekali bantu saya dan ibu saya. Mari pak masuk.."
Pria itu tersenyum sambil menggeleng, "kita bicara di sini saja."
"Baiklah pak, silahkan duduk. Saya ambil minum sebentar."
*
Diara keluar dengan segelas teh hangat dan meletakkannya di meja kecil antara tempat duduknya dengan pria itu.
"Silahkan pak, diminum." Diara mensilakan dengan sangat sopan.
"Kamu mungkin belum kenal saya secara resmi, saya Adrian, teman ibu kamu."
Diara mengangguk, "iya pak, saya bahkan belum sempat berterima kasih karena bapak udah banyak bantu saya dan ibu."
"Apa keadaanmu baik-baik saja sekarang? Kamu sekarang tinggal sendiri bukan?"
Diara tersenyum kecut, "saya baik-baik saja, pak."
"Saya dengar, kamu mau jual rumah ini. Apa benar?"
Diara agak terkejut walau tetap menjawab dengan anggukan, "bagaimana bisa bapak tahu?"
"Apa karena hutang ayahmu? Dia masih belum memberi kabar?"
Menyadari Pak Adrian mengetahui banyak hal membuat Diara menerka kalau orang ini benar-benar dekat dengan mendiang ibunya, entah kenapa ia merasa lega.
"Ayah entah tahu atau tidak ibu sudah tidak ada. Sudah sangat lama sejak ia menghilang entah kemana."
Pak Adrian menatap iba Diara yang berlagak biasa saja, padahal ia tahu benar kalau masalah ini sangat berat untuk dipikul oleh seorang wanita seperti Diara seorang diri.
"Saya kesini ingin membantu kamu."
Diara terkaget dan langsung menggeleng, "ah tidak usah, Pak. Bahkan bapak sudah terlalu banyak membantu saya dan ibu sebelumnya. Saya tidak ingin berhutang budi terlalu banyak."
Adrian tertawa, "kamu itu mirip sekali dengan ibu kamu. Makanya saya kesini tidak hanya datang untuk membantu."
Mata Diara membesar menunggu penjelasan lanjut maksud dari Pak Adrian.
"Saya akan tawarkan kamu pekerjaan, setidaknya gajinya lebih besar dari pekerjaan kamu sekarang. Saya akan bayar semua utang ayah kamu, dan kamu membayarnya dengan bekerja pada saya."
Diara langsung gugup dan bingung, namun di satu sisi ia merasa begitu bahagia karena bisa terlepas dari jerataran hutang yang selama ini menjadi satu-satunya problema paling menguras otak dan perasaannya.
"Tapi sepertinya utang itu banyak sekali, saya tidak yakin bisa membayarnya dengan bekerja pada bapak."
"Tenang saja, karena ibu kamu juga sudah menitipkan kamu pada saya. Saya merasa bertanggung jawab atas kehidupan kamu. Jika merasa tidak enak, anggap saja kamu berikan rumah ini pada saya, dan kamu pindah ke tempat yang saya sediakan agar pekerjaan kamu bisa lebih mudah." jelas Pak Adrian dengan senyuman yang sangat hangat hingga membuat hati Diara terasa lebih tenang.
"Pak, apa ini serius? Bapak nggak main-main kan? Saya merasa sedang bermimpi." Diara coba memastikan lagi apa ini benar atau tidak.
"Saya serius, ini adalah janji saya pada ibu kamu. Ibu kamu sangat menyayangi kamu lebih dari apapun itu, dia meminta saya menjaga kamu dan memastikan kamu bisa lepas dari kesengsaraan yang dibawa oleh ayah kamu. Kamu mau bantu saya untuk penuhi janji ini bukan?"
Dengan cepat Diara mengusap sudut matanya yang terasa sudah basah karena terharu sekaligus bahagia, satu-satunya harapan yang paling ia harapkan terwujud adalah lepas dari permasalahan ulah sang ayah yang dengan tega meninggalkannya dan sang ibu.
"Kamu bersedia, Diara?"
"Kalau saya boleh tau, pekerjaan apa yang harus saya lakukan, Pak? Apa saya perlu menyiapkan sesuatu?"
Pak Adrian menggeleng, "kamu hanya persiapkan diri dengan baik saja. Ibu kamu pernah cerita tentang kamu, dan saya tahu kamu bisa lakukan pekerjaan ini dengan sangat baik.
"Apa itu?"
"Kamu hanya perlu merawat dan memperhatikan anak saya, pastikan dia makan dengan baik dan melakukan segala sesuatu dengan baik dan tidak melakukan hal yang tidak-tidak."
"Saya menjadi pengasuh? Atau guru privat? Kebetulan dulu saya sempat punya pengalaman pengajar kursus." jelas Diara mulai percaya diri.
"Kapan kamu bisa pindah dan mulai bekerja?" tanya Pak Adrian sambil menenggak minuman yang tadi Diara suguhkan untuknya.
"Hm.., saya butuh beres-beres dulu pak."
"Baiklah, kamu tidak perlu bawa banyak persiapan. Semua keperluan kamu sepertinya sudah tersedia cukup. Bawa kebutuhan pribadi saja ya Diara."
Diara mengangguk dan tersenyum lebar, "baiklah pak. Saya juga sudah tidak sabar untuk mulai bekerja. Ini terasa seperti memulai hidup yang baru.''
"Saya akan tunggu kabar dari kamu kalau kamu sudah selesai mengurus segalanya dan siap untuk mulai bekerja pada saya. Saya akan tinggalkan kontak saya, kamu bisa hubungi kapan saja."
"Baiklah, saya akan bereskan semuanya dengan cepat. Sekali lagi terima kasih banyak, Pak."