4. Bukan Mama Biasa

1544 Kata
Badanku rasanya mau remuk, pun demikian dengan tulang-tulangku yang terasa lunglai. Aku baru selesai merapikan apartment sekitar pukul tujuh malam, yang artinya aku berjibaku dengan barang-barang dan kamar baruku sekitar empat jam lamanya. Mulai dari menata buku-buku di rak yang ada di dalam kamar, menyusun baju-baju ke dalam lemari, merapikan koper kosong, memasang sprei, memasang humidifier dengan aroma favoritku, aah … pokoknya banyak yang aku kerjakan. Jadi pantas saja kalau sekarang perutku meronta karena lapar, tampang kumal, satu-satunya yang kupikirkan saat ini hanya tempat tidur dan bantal-bantal empuk yang melambai-lambai. Mama sengaja tak kuijinkan ikut serta dalam kegiatan menata ulang tempat tinggal baruku ini. Beliau sudah pasti kelelahan selama perjalanan Surabaya Jakarta, jadi biarlah tugas ini itu aku saja yang melakukannya. Karena bosan hanya duduk diam, mama akhirnya memutuskan untuk belanja persediaan bahan makanan di supermarket yang ada di sebelah apartment. Mama bilang mau beli buah dan bahan makanan yang mudah dimasak untuk stok di kulkas, juga beberapa camilan untuk mengisi toples. “Mel, udah selesai mandinya?” pekik suara mama mengagetkanku yang sedang menyikat gigi di wastafel kamar mandi. Aku sudah selesai mandi sejak beberapa menit yang lalu, namun masih betah berada di kamar mandi mewah apartment ini. Benar-benar hunian level sultan lah asset si Anya ini. “Bentar lagi, Ma. Masih sikat gigi!” balasku ikut menaikkan volume suara. Tadinya kukira mama akan berlama-lama berbelanja di bawah, ternyata tak sampai satu jam beliau sudah kembali naik. "Eh, tumben kok cepet, Ma? baru aja mau aku telpon, mau nitip-nitip," seruku begitu keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambut dengan handuk. "Mau nitip apa emangnya? mama cepet soalnya di bawah tadi ketemu sama Mas Hanif ini, dibantuin sekalian bawa belanjaannya. Makasih Ya, Mas." Eh... kok ada orang lain? Aku memang tak begitu memperhatikan keadaan saat keluar dari kamar karena aku berjalan ke arah ruang tengah. Sedangkan mama ada di area dapur dengan 'tamu' barunya, yang tak lain adalah Mas Hanif, orang kepercayaan Anya dan suaminya. "Eh, Mas Hanif?" aku buru-buru menoleh, I dan mengangguk canggung pada pria jangkung berkulit sawo matang itu. Dasar mama, baru juga ketemu satu kali udah sok akrab aja. "Haduuh maaf ya jadi ngerepotin lagi, pasti mama tadi cerewet banget ya?" Aku hafal bagaimana mama, begitu pula dengan kebiasaan belanjanya yang super lama karena sering membandingkan satu barang dengan barang lainnya. Hal yang tidak perlu sebenarnya, karena ujung-ujungnya akan dibeli juga. "Hmmm, nggak kok, Mbak. Kebetulan tadi ketemu di bawah. Saya pas belanja juga." Aku memang melihat plastik belanjaan lain yang ada di sisi meja makan. Ternyata memang bukan belanjaan mama, melainkan milik Mas Hanif. "Mas Hanif tinggal di apartment ini juga?" tanyaku mencoba mengurangi canggung. "Iya, Mbak, di—" "Panggil Meli aja, nggak usah formal banget," potongku sebelum ia menyelesaikan kalimatnya. "Oh oke," angguknya singkat. "Saya tinggal di di apartment ini juga, di lantai dua tepatnya." Aku hanya mengangguk dan ber-o ria saat mendengar jawabannya. Tidak terlalu terkejut juga sebenarnya, karena sepengetahuanku suami Anya memiliki beberapa unit di gedung ini, jadi memang sangat mungkin sekali kalau orang-orang yang bekerja dengannya tinggal di sini juga. Apalagi jika dia adalah orang nomor satu yang menjadi kepercayaan seorang Senopati Rajata. “Saya pamit dulu ya kalau begitu, mari Bu, duluan Mel,” pamit Hanif setelah keheningan beberapa saat. "Looh, mau keburu mau ke mana sih? ini udah tante bikinin kopi. Kopi sachetan biasa tapi ya?" Suara mama kembali melengking. Satu detik kemudian sosoknya sudah kembali muncul dengan nampan kecil di kedua tangannya yang berisi secangkir kopi dan satu piring berisi potongan buah melon. "Repot aja, Bu, eh ... Tante," balas Mas Hanif sambil mengangguk sungkan. "Duh, repot apa sih? cuma kopi gini, sini … sini duduk lagi," ajak mama mencurigakan, apalagi saat beliau melirikku sekilas. Aku hafal aura-aura yang dipancarkan mama, apalagi kalau... "Kalau Hanif tinggal di apartment ini juga, tante sambil nitip-nitip jagain Melisa boleh ya?" Nah kaaan, apa kubilang... "Ma," sergahku hingga tanpa sadar melotot. "Aku bukan anak PAUD, nggak usah dititip-titipin segala." "Segede apapun kamu, mama tetep nganggep kamu itu anaknya mama yang harus dijagain dengan benar, Meli." "Mama malu-maluin deh," decakku sebal. "Malu-maluin apanya? ya enggak lah," “Itu tadi, ngapain nitip-nitipin segala?” cercaku mencoba lebih cerewet dari mama. Teman-temanku dulu sering memanggilku dengan sebutan ‘si cerewet berisik’, tapi rasanya panggilan itu lebih cocok disematkan untuk mama mengingat aku yang menuruni gen cerewet darinya. “Ya nggak dong, itu mah biasa aja Meli, nggak malu-maluin sama sekali.” "Hmmm, sa- saya akan inget pesan, Tante," sela Mas Hanif mencoba menengahi percekcokan antara aku dan mama. Duh, mama beneran malu-maluin kan? belum kenal sehari sama Mas Hanif, udah sok kenal aja. Lihat aja tuh muka Mas Hanif sampai pucat setengah kikuk. Aku bisa membayangkan posisi Mas Hanif yang tentu saja tak enak hati menolak permintaan mama. Apalagi dia tahunya aku adalah sahabat dekat Anya, yang tak lain adalah bosnya. Aku bersyukur karena tak lama kemudian ponselku mendadak berdering nyaring. Setidaknya hal tersebut bisa kujadikan alasan untuk menghindar sementara dari mama dan Mas Hanif. Setelah mengangguk pelan pada Mas Hanif, aku gegas ngacir ke dalam kamar. Ternyata Mbak Ajeng yang menelpon, dia salah satu editor senior juga di kantor Jakarta. Dia menghubungiku untuk sekedar mengingatkanku tentang job desk baru yang kini aku emban, juga tentang jadwal kerjaku yang akan dimulai dua hari mendatang. Meninggalkan Mama dan Mas Hanif yang sayup-sayup masih terdengar masih mengobrol, aku sengaja berlama-lama di dalam kamar. Bahkan setelah mengakhiri panggilan dari Mbak Ajeng, aku tak langsung keluar kamar, malah asik menata buku-buku, notes, laptop juga beberapa perlengkapan kerjaku di meja kerja minimalis yang berhadapan langsung dengan jendela kamar. “Kok lama banget, Mel?” Mama sudah melongokkan kepalanya ke kamar yang malam ini menjadi ruang pribadiku selama satu tahun ke depan. “Baru kelar telponnya, Ma,” dustaku sambil mengangkat ponsel yang memang sudah mati sejak tadi. “Ayo makan malam dulu, jangan langsung sibuk kerja. Mama dari tadi sendirian nungguin kamu,” titah perempuan paruh baya idolaku ini. Iya, mama memang menjadi sosok idolaku, di luar ranah seringnya kami adu pendapat atau lomba siapa yang paling berisik di rumah. “Sendirian?” ulangku langsung di angguki mama. “Mas Hanif udah balik?” “Udah barusan, dia nggak mau mama ajak makan malam bareng.” Aku mendebas napas lega. “Ya iyalah nggak mau, Ma. Lha wong baru juga kenal tadi pagi, langsung mama recokin gitu. Risih pasti.” “Masa sih? Hanif kelihatan nyantai-nyantai aja tuh ngobrol sama mama, kamu sih nggak tau, makanya ikutan nimbrung tadi!” Mama masuk kamar dan langsung duduk di kursi depan meja rias. “Mas Hanif sungkan aja kali, makanya nggak nunjukin kalau risih. Lagian Mama kurang kerjaan banget deh, sok deket sama Mas Hanif gitu. Jangan lagi ya! sibuk dia tuh, jadi orang kepercayaannya Seno pasti kerjaannya nggak main-main.” Mama mengerucutkan bibir mendengar ceramahku. Tapi aku mana peduli, karena aku yakin pemikiranku benar dalam hal ini. Mama sendiri yang tadi pagi menceramahiku agar tak merepotkan Anya atau siapapun selama aku merantau ke ibukota, eh, ndilalah malah mama sendiri yang sok ngerepotin Mas Hanif pake acara nitipin aku segala. Hadeeh, dasar emak-emak ya, labil! “Kamu kapan mulai ngantor?” tanya mama begitu kami berdua duduk bersebelahan di ruang tengah sambil membawa piring berisi nasi padang lengkap dengan lauknya. Kami memang jarang makan di meja makan, jadi ruang keluarga yang selalu menjadi ruang favorit kami untuk makan sambil bercerita ngalor ngidul. “Dua hari lagi sih, Ma. Sekarang masih santai, kan emang dikasih waktu lebih buat pindahan dulu.” aku mencomot kerupuk udang di depan mama karena yang sebelumnya sudah habis duluan. “Nanti di kantor yang baru kamu harus lebih hati-hati loh ya!” pesan mama membuatku menaikkan alis tak mengerti. “Ngapain? aku kerja ya kerja aja, Ma.” “Ya mama cuma khawatir aja, kamu cinlok lagi kayak sama si Bayu banci yang waktu itu. Pokoknya mama nggak rela kalau kamu sampai tertipu dua kali.” Dari nada bicaranya saja aku sudah sangat paham kalau mama masih memendam dendam kesumat pada Bayu, mantan suami super b******n yang sempat singgah dalam hidupku. “Hadeh, Mama … nggak usah diingetin juga aku pasti hati-hati. Siapa juga yang mau masuk ke dalam jebakan buaya buntung.” “Ya kali aja kamu belum kapok sama kisah yang lalu-lalu. Gagal move on dari pacar sebelumnya, malah dapet laki modelan kayak Bayu yang … haduuuuh, amit-amit jabang bayi!!” mama mengetuk-ngetuk kepalanya pelan dengan kepalan tangannya. Aku memejamkan mata sejenak. Rasanya hatiku tersentil setiap kali mama menyindirku perihal bagaimana bodohnya aku yang dianggap sebagai korban ghosting dan gagal move on dari cinta pertama, lalu terjerat jebakan pernikahan oleh mantan suami yang aku jadikan pelarian seperti Bayu. Rentetan kejadian yang lagi-lagi menarikku ke dalam kenangan di masa lalu yang pernah ditorehkan oleh seorang Arfino Hesta, lelaki pertama yang sukses membuatku terkekang dalam sakitnya pengkhianatan. “Mama ih, nggak perlu merembet bahas masa lalu lagi deh,” “Biar nggak terulang lagi, Meli,” tegas mama dengan mama tenang. “Nggak akan, Mama,” balasku tak mau kalah. “Semoga saja, doa mama nggak pernah putus buat kamu. Biar segera dipertemukan sama jodoh terbaik dan bisa langgeng bikin kamu bahagia.” “Amiiin,” “Eh, kayaknya Hanif Hanif tadi baik loh, Mel.” “Astaga, Mamaaa!!!” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN