5

1083 Kata
Jika dia menerimamu dengan segala masa lalumu Dia tidak akan membahas hal menyakitkan apapun Di masa lalumu ☂☂☂☂☂ “Aku turut berbahagia untukmu, Nai…”  Naima mengangguk, “Mungkin ini jawaban Allah atas segala kebimbanganku.”  “Kapan giliranku ya Nai?” tanya Raira menerawang.  Naima terdiam, tak mampu menjawab pertanyaan Raira.  “Nai, cerai itu rasanya apa ya?” tanya Raira sambil meneguk es lemon pesanannya, matanya menerawang jauh. Berbagai hal berkecamuk dalam fikirannya. Naima mendelik kaget mendengarnya. Sesulit apapun kehidupan rumah tangganya, tak pernah ia mendengar kata-kata cerai dari bibir Raira.  “Kamu mau cerai Ra?”  “Mungkin…”  “Astagfirullah, banyak-banyak istigfar Ra. Kamu dan Mas Arfan baik-baik aja kan?”  Raira mengangguk, “Mungkin…”  “Apa maksudmu dengan mungkin? Kau bertengkar?”  “Mungkin…”  “Raira!!” bentak Naima.  Raira tersentak, “Haah?? Apa??”  “Ya Allah Ra, jadi dari tadi kamu itu ngayal atau gimana sih?”  “Apanya??”  Naima mengerutkan keningnya, tak pernah-pernah Raira bersikap seaneh ini. “Ra, ada apa sih? Kamu bertengkar dengan Mas Arfan?”  Raira menggeleng.  “Jadi kok ngomongin cerai?”  “Nggak apa, aku cuma kefikiran aja. Tadi pagi lihat gosip di tv, ada perceraian lagi dikalangan artis. Kok mereka bisa seenak itu yah mutusin cerai, memang cerai rasanya apa?”  Naima manyun, “Ya mana ku tahu Ra. Yang jelas proses kesananya nggak enak. Kamu ingat kan gimana galaunya aku kemarin…”  Raira terkekeh, “Ah iya, aku lupa kalau disebelahku ini adalah wanita yang batal cerai, mana dia tahu rasanya cerai…”  “Sialan kamu…” rutuk Naima. “Eh, tapi kamu beneran baik-baik aja kan sama suamimu?”  “Insyaallah, do’akan saja. Kalaupun ada pertengkaran, mungkin nanti aku yang pergi.”  “Maksud kamu?”  Raira menggeleng, “Dari pada aku ditinggal, mending aku yang ninggalin kan…” ujarnya santai.  “Gila kamu. Banyak-banyak istigfar ih…”  Raira tersenyum, “Nanti kalau aku cerai, aku kabarin kamu deh gimana rasanya. Siapa tahu enak kan, jadi kamu pengen coba juga.”  “Ih, amit-amit. Ingat komitmenmu sehari sebelum bapak dan ibu berpulang, kamu berjanji untuk selalu menjaga keutuhan rumah tanggamu dengan suamimu. Jangan bilang kamu sudah lupa ya…”  “Ah iya, kenapa juga dulu aku harus janji yang begituan ya. Bapak dan ibu juga aneh, mau pergi itu mbok yang dititipin warisan segudang gitu, ini malah petuah-petuah.”  “Kamu mulai ngaco, Ra. Inget, petuah itu sekarang lebih berharga dibanding ratusan atau ribuan juta harta warisan. Harta masih bisa kamu cari, lah petuah-petuah itu coba, masih bisa kamu suruh bapak dan ibu bangun untuk bicara lagi, hah??”  Raira mengangguk, “Iya deh bu ustadzah, afwaaaann….”  Naima menggelengkan kepalanya, “Sepertinya kamu butuh refreshing deh…”  “Mungkin lah Nai. Mungkin sekalian pergi, menjauh, mengistirahatkan segalanya, menghentikan waktu…”  “Apaan sih Ra…”  “Nai, bantuin aku dong…” pinta Raira.  “Bantuin apa?”  “Cariin doraemon, pinjemin mesin waktunya, atau paling nggak pintu kemana sajanya juga boleh…”  Naima refleks mengguit lengan wanita cantik itu. “Kamu beneran butuh liburan deh Ra. Ini pasti dampak dari kerja doublemu, ibu rumah tangga plus wanita karir.” “Wanita dikatakan ibu rumah tangga ketika dia benar-benar mengurus rumah tangga, mengurus suami beserta zuriyat-zuriyat yang lucu dan menggemaskan. Lah aku, cuma menggurus suami, itupun dia sudah bisa dan mampu mengurus dirinya sendiri tanpa aku. Jadi aku bukan ibu rumah tangga.”  “Tetap saja, Ra. Kamu ngurusin suami dan rumah…” ujar Naima gemas.  “Entahlah. Lalu, aku juga bukan wanita karir lagi…”  Naima kembali mendelikkan matanya, “Oh ya? Sejak kapan?”  Raira mengangguk, “Sejak kunjungan kenegaraan beberapa minggu yang lalu.”  Kening Naima bertaut, “Maksudmu nyonya besar datang?” tanyanya.  “Kau ini…” tegur Raira, tanpa bisa menahan tawanya.  “Kok kamu nggak cerita sih?”  “Gimana mau cerita, wong aku nggak bisa kemana-mana. Tiga hari memang, tapi riweuhnya subhanallah. Kau tahu dong seperti apa beliau,” Naima menggelengkan kepalanya, “Jadi kamu menuruti keinginannya untuk resign?”  “Untuk ketenangan batinku, Nai. Toh Mas Arfan bekerja, kami tidak kekurangan.” “Suamimu setuju? Diakan yang paling mendukung karir kamu.”  “Dia marah sih waktu tahu, tapi insyaallah sekarang dia bisa terima. Toh dia juga yang diuntungkan, pulang kerumah sudah lihat rumah bersih, istri cantik, masakan tersedia…”  “Enak ya jadi Mas Arfan…”  “Hmm, makanya pas dulu pembagian jenis kelamin kamu jangan salah masuk antrian, jadi kan bisa ngerasain enaknya jadi dia.”  “Dasar gendeng…” ujar Naima menjawil lengan sahabatnya itu.  Raira terkekeh geli, “Eh, ini kamu yang bayar ya, aku kan udah nggak kerja lagi…”  Naima ikut tertawa mendengarnya, “Tuh kan, emang lagi gendeng ibu-ibu sebiji ini…” Raira menghapus bulir air mata yang menetes di pipinya. Ia masih mengingat bagaimana sahabatnya itu sangat berbahagia ketika menerima kabar bahwa dirinya positif mengandung setelah kondisi rumah tangganya yang tengah diambang kehancuran. Wajah Naima begitu cerah kala itu. "Nai, maafkan aku...." bisiknya pilu. ☔☔☔☔☔  “Kamu yakin akan kembali sekarang, Ra?” tanya Ratih ketika melihat Raira membereskan bajunya kedalam koper.  Gerakan Raira terhenti, “Naima sakit, mbak. Sepertinya cukup parah. Aku ingin melihatnya.” “Lalu kau akan pulang kerumahmu kan?” Raira menggeleng, “Aku belum tahu, mbak.” Ratih mendekati sepupunya itu, menyentuh pelan bahunya, “Kalau kau berada di kota ini tanpa memberitahu aku, dan kemudian kau menginap ditempat lain, aku akan sangat marah, kau tahu itu kan? Begitu juga dengan suamimu, dia pasti akan marah kalau tahu kau pulang tetapi tidak kembali ke rumah.” “Aku tidak bilang aku akan pulang kan, Mbak. Lagi pula tadi Mas Riski bilang dia nggak akan beritahu Mas Arfan kalau aku datang,”  “Dan kau percaya begitu saja? Kau jangan lupa kalau mereka bersahabat. Resign menjadi guru kau tidak langsung jadi bloon kan, Ra…”  “Tapi Mas Riski itu amanah, mbak.”  “Kalau aku jadi dia, aku pasti akan beritahu Arfan, jadikan aku bisa mempertemukan kau dan dia,”  “Ah mbak ini, aku kan jadi ragu.”  Ratih tertawa, “Aku bercanda, semuanya kan kembali padamu. Kalau kau masih cinta, kau pasti akan kembali. Terserahmu saja…”  “Do’akan aku ya…”  Ratih mengangguk, “Insyaallah…”  ☂☂☂☂☂ 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN