Tidak tahu harus ke mana, aku telah berjalan kaki sangat jauh meninggalkan cafe tanpa disusul oleh mas Daffa. Rasanya begitu sesak dan menyakitkan.
Kebahagiaanku baru sekejap saja, mendadak semuanya seolah tanpa arti, apa yang harus kulakukan sekarang, ke mana aku harus mengadu? Tatapanku seolah bias ke masa lalu, teringat pengkhianatan Azriel yang tak mampu kumaafkan dan kini, hatiku hancur oleh suamiku sendiri.
Rasanya lebih sakit dari sebuah pengkhianatan. Kebohongan mas Daffa sungguh kejam, bahkan di saat ada kesempatan untuk jujur, dia masih saja berbohong, mengarang cerita kalau Zaki adalah anak adopsi.
Telepon genggamku berdering, tapi kuabaikan, karena kupikir mungkin itu mas Daffa yang menghubungiku dan aku masih belum mau berinteraksi dengannya.
Aku merasa lelah, kakiku sudah protes dengan rasa capai dan sangat pegal. Aku harus segera memanggil taksi tapi kemanakah aku akan menuju?
Sebuah hotel melintas di kepalaku. Akhirnya, aku memutuskan untuk beristirahat di hotel saja, karena tidak mungkin pulang ke rumah mama atau ke rumah teman, mereka akan bertanya dan mengkhawatirkanku sementara aku tidak tahu harus menjawab apa.
Kucegat taksi yang lewat dan aku menyebutkan nama hotel bintang lima yang menyatu dengan mal keren dan megah. Aku butuh membeli beberapa helai baju dan sepatu, untuk bekal selama aku belum mau pulang ke rumah.
Kuputuskan untuk bersenang-senang menghibur diri, nginap di hotel mewah, makan di restoran bergengsi dan belanja barang-barang bagus, sambil berharap luka hatiku perlahan akan tersembuhkan meski pun tidak mungkin melupakan kebohongan kejam mas Daffa padaku.
Sampai di hotel, aku memesan kamar superior dengan bathtub yang ternyata masih cukup mahal, tapi tidak masalah. Mas Daffa begitu royal menghamburkan uangnya untukku, selama self healing ini, aku tidak akan kehabisan uang atau terlantar.
Di dalam kamar, aku merebahkan diri di atas kasur sambil berpikir kembali mengenai keinginanku untuk bercerai dengan mas Daffa. Sungguhkah aku menginginkan perceraian? Bagaimana dengan mama papaku, kalau anak satu-satunya hanya menjalani rumah tangga tidak sampai empat bulan?
Sungguh aku tidak ingin membuat mama dan papa terluka dan menjadi janda di usia muda, cukup memalukan bagiku. Tidak mungkin aku harus menjadi janda tanpa masa depan.
Lalu, apakah aku harus mempertahankan rumah tanggaku yang telah ternoda oleh sebuah kebohongan besar? Itu pun tidak sanggup kujalani. Di sinilah aku, dalam kebimbangan yang meraja, dalam kekalutan yang dalam serta rasa sakit yang hebat.
Kembali aku menangis sampai meraung sambil memukul-mukul kasur dalam keadaan jeri. Aku terlalu muda untuk bisa menerima rasa sakit seperti ini.
Berjam-jam telah berlalu, aku merasa sedikit tenang meski seluruh tubuhku rasanya sakit di sana sini dan kelopak mataku yang bengkak, membuat aku tidak bisa membuka mataku lebar-lebar.
Sisa dari tangisanku adalah rasa sakit di kepala. Aku pun memutuskan untuk memejamkan mata dan tidur.
Pukul tujuh malam aku terbangun dengan perut keroncongan. Aku pun bergegas ke kamar mandi dan membasuh diriku baik-baik, lalu setelah kukenakan bajuku kembali, aku bergegas turun menuju mal, ingin belanja baju tidur dan baju ganti serta mengisi perutku.
Saat duduk di sebuah resto cafe ditemani oleh tas-tas belanjaan yang mengisi kursi-kursi kosong di depan dan di sampingku, aku mendengar suara dering telepon genggam.
Setelah seharian dari pagi tidak membuka ponsel, aku pun segera mengambilnya dari dalam tas. Ternyata ada puluhan missed call dari nomor tidak dikenal. Aku mengernyitkan dahi karena merasa heran.
Siapa yang terus menerus meneleponku? Kenapa begitu ngotot? Seketika aku merasa panik karena takut kalau telepon tersebut dari keluargaku. Aku mencoba menelpon nomor tersebut.
"Halo? Nazwa?!" Suara seorang lelaki yang menerima telepon, tapi rasanya aku familiar dengan suara itu, hanya saja belum ingat dia siapa.
"Siapa ini? Ada apa ya missed call terus?" tanyaku merasa heran sekaligus sangat penasaran.
"Wawa, ini aku, Azriel, tolong jangan ditutup teleponnya. Aku baru dapat kabar kalau kamu menikah dengan pamanku? Wa, bisakah kita ketemu? Aku benar-benar ingin meminta maaf padamu," cerocos Azriel dengan nada memohon.
Sungguh dihubungi dan menghubungi seorang Azriel adalah mengejutkan bagiku. Setelah sekian lama, kupikir Azriel sudah tenang menjalani kehidupannya dengan istri yang sedang hamil tua.
Namun, aku tergoda untuk mengiyakan ajakannya. Setelah kurasa-rasakan, sakitnya dikhianati Azriel dengan wanita lain, lebih sakit dibohongi mas Daffa yang membuatku merasa sangat kacau.
"Baiklah, besok ya, di mal star, jam makan siang," jawabku dengan santai.
"Ok, besok jam makan siang, tapi apa kamu baik-baik saja? Bagaimana kabarmu setelah menjadi Nyonya Daffa? Denger-denger, mantan istrinya mau pindah ke luar negeri dan Zaki tidak dibawa tapi diserahkan pada om Daffa, apa kamu oke dengan hal itu?" tanya Azriel setelah mengoceh panjang lebar.
Aku tertegun untuk beberapa saat, tidak tahu harus menjawab apa, tidak mungkin aku ceritakan apa yang telah terjadi dan bahwa saat ini aku sampai terdampar di sebuah hotel. "Oh, ya, Zaki di rumah kami, baik-baik saja," jawabku singkat.
"Syukurlah, tapi aku mengkhawatirkanmu, kamu masih sangat muda untuk memiliki anak usia lima tahun. Oh ya, besok kita ketemu di mana?" tanya Azriel.
"Besok aku kabarin. Ya, sudah, sampai besok ya," kataku bersiap untuk mengakhiri panggilan telepon.
"Ok deh, met istirahat. Sampai besok ya," kata Azriel. Aku merasa ada yang berubah pada diri Azriel, dia tidak lagi memaksaku. Biasanya, dia akan ngotot bicara sebelum dia sendiri yang ingin mengakhiri obrolan.
Aku menutup telepon dan tiba-tiba melihat notifikasi pesan. Rupanya dari mas Daffa.
Daffa : Sayang, semoga kamu baik-baik saja di mana pun kamu berada saat ini.
Daffa : Kamu gak bilang kalau ada Zaki di rumah. Kamu juga gak bilang kalau tadi pagi kamu sampai pingsan. Apa kamu baik-baik saja?
Daffa : Anisa ngapain kamu? Tolong kamu cerita padaku, Sayang. Aku tidak terima kalau dia ada membully kamu atau bersikap tidak semestinya sama kamu.
Daffa : Aku minta maaf atas semuanya. Oh ya, aku sudah transfer kamu buat pegangan. Aku merindukanmu, Sayang. Kamu baik-baik ya.
Itu adalah pesan terakhir mas Daffa. Dia tidak memintaku pulang, ada sedikit rasa kecewa dalam hatiku, tapi mungkin beginilah orang dewasa, memenuhi janjinya untuk membebaskan aku selama aku tidak meminta cerai darinya.
Aku menghela napas panjang. Tidak ingin membalas pesan mas Daffa, aku mematikan ponselku dan memasukkannya kembali ke dalam tas.
Setelah membayar pesanan makan malamku yang terlambat, aku pun bergegas kembali ke kamar hotel untuk istirahat, tapi sebelumnya aku menghubungi pihak hotel untuk melaundry seluruh bajuku dan pukul sepuluh besok semuanya harus sudah selesai. Malam ini, aku hanya tidur memakai pakaian dalam saja.
Tidak ada kantuk yang menghampiriku, aku pun memutuskan untuk menonton film pada saluran TV kabel di kamar hotel, sambil menutup tubuhku dengan selimut.
Menjelang pukul dua pagi, aku baru bisa tidur dan lelapku dihiasi mimpi yang membuatku gelisah. Namun, aku memaksakan diri untuk terus tidur agar tidak harus merasakan waktu yang berjalan sangat lambat.
Pukul sembilan pagi aku baru benar-benar terbangun dan jam sarapan pagi pun telah lewat. Aku bergegas mandi lalu mengenakan handuk piyama menunggu laundry diantar ke kamar.
Tepat pukul sepuluh, bel pintu kamar berdentang lembut, aku pun segera beranjak membukakan pintu dan aku cukup puas dengan service hotel tersebut.
Mengenakan baju baru, sepatu dan tas baru, berdandan sedikit agar terlihat segar, aku merasa penampilanku cukup sempurna. Aku ingin memperlihatkan kepada Azriel kalau hidupku sangat baik dan aku bukanlah Nazwa yang dulu yang kadang dikatakan culun oleh Azriel.
Pukul setengah dua belas, aku ke luar dari kamar, tidak lupa menggantungkan kartu yang bertuliskan make up room di gagang pintu.
Aku turun lift lalu berjalan melewati koridor yang menghubungkan hotel dengan mal, di sana aku memilih restoran jepang yang paling eksklusif lalu memesan ruang privat dan mengabari Azriel kalau aku telah berada di sana.
Sambil menunggu, aku memesan beberapa hidangan yang aku sukai termasuk salmon sashimi sampai empat porsi. Maklum, satu porsinya hanya berisi empat potong kecil daging salmon mentah, bagiku tidaklah cukup.
Pesanan belum datang, tapi Azriel telah nongol di ambang pintu yang dibukakan oleh pelayan di sana. Aku merasa sedikit aneh melihat penampakkan Azriel.
Dulu, aku begitu membanggakan ketampanannya, bahkan aku tergila-gila sampai teman-temanku mengatakan kalau aku b***k cinta. Namun, hari ini, saat pertama melihat Azriel kembali, segalanya tentang lelaki itu jauh berada di bawah mas Daffa.
Diam-diam aku merasa menang karena lepas dari sosok Azriel malah berjodoh dengan lelaki yang sangat berkualitas seperti mas Daffa, kecuali … kebohongannya.
Aku menghembuskan napas mengingat kebohongan mas Daffa yang membuatku berada di sini sekarang, bertemu dengan mantan pengkhianat dan kami sama-sama telah memiliki pasangan resmi masing-masing.
"Halo, kamu semakin cantik ya, setelah lama tidak ketemu dan jujur saja, sangat keren, Wa," sapa Azriel memujiku dengan nada tulus.
Memang ini yang ingin aku perlihatkan pada Azriel, aku semakin cantik dan bergaya, bukan Nazwa yang berada dalam batas kemiskinan seperti dulu. Sekarang aku rajin perawatan salon dengan skincare yang seabrek di rumah. Tentu saja aku akan semakin cantik.
Azriel menghampiriku dan ia meraih bahuku lalu mendaratkan ciuman di pipiku. Aku mematung dengan jantung yang berdetak kencang. Sangat berani sekali dia menyentuhku dan anehnya, aku hanya diam saja tanpa keinginan untuk protes padanya.
Lelaki itu memilih duduk di sampingku yang membuat aku merasa risi, tapi entah kenapa, aku tidak kuasa menolaknya. Aku bahkan merasakan hatiku berdesir tidak karuan.
Ada yang aneh dengan diriku, apakah ini tentang kerinduan padanya mengingat perpisahan kami karena Azriel harus menikahi wanita lain yang sedang hamil, sementara di antara aku dan dia, tidak ada masalah yang berpotensi rusaknya hubungan kami.
Gilanya lagi, saat Azriel memegang tanganku sambil menatapku mesra dan binar matanya menyiratkan kerinduan. Aku hanya diam mematung. Tidak berusaha menepiskan tangannya dari tanganku. Ya Tuhan, apa artinya ini?