Lelaki yang pernah kusebut tampan tapi ingin kuhindari itu, berdiri di depanku dengan senyum terbaiknya. Ia menatapku lekat-lekat.
Aku berpikir cepat, haruskah aku pura-pura tidak mengenalnya lalu mengambil langkah seribu atau membolehkan dia duduk sesuai yang baru saja dikatakannya?
Otakku mendadak lemot ketika dihadapkan pada situasi yang mengejutkan dan mendadak seperti ini. Entah kenapa sepertinya aku terkena sindrom lola alias loading lama kaya pentium empat.
Hatiku hanya bisa merutuk kesal pada diriku sendiri, ah, bagaimana mungkin lelaki yang mengaku sebagai pamannya Azriel justru menemukanku di sini?
Haruskah aku pura-pura tidak mengenalnya setelah air mataku membasahi kemeja batiknya ketika berpelukan sambil duduk di pinggir jalan dan mengumpat kasar?
Eit, tapi tunggu, bukankah aku tidak mau ada urusan dengan segala hal yang terkait Azriel? Benar-benar dilema yang memporakporandakan hatiku saat ini, rasanya aku ingin tiba-tiba TRING! Menghilang begitu saja seperti penyihir dalam film.
"Wawa? Apa kamu baik-baik saja? Kenapa seperti sedang melihat hantu?" tanya lelaki itu yang tak lain adalah Daffa.
Ya, tentu saja kamu hantu Pak Daffa, pokoknya semua yang berkaitan dengan Azriel sama-sama menyeramkan seperti hantu. Aku sibuk mengoceh di dalam hati.
"Hai, Wawa, ini aku, Daffa," ujarnya sambil menyentuh lembut lenganku.
"Kata orang, patah hati oleh lelaki obatnya adalah lelaki lain, begitu pun sebaliknya. Kamu apa kabar? Bagaimana kalau hari ini kita shopping, mumpung ada di sini, supaya kamu happy?"
Daffa duduk di kursi yang tadinya untuk Bella, tanpa menunggu aku mengiyakan permintaannya.
"Eh, itu aku belum bilang boleh atau tidak ya, kenapa ujug-ujug duduk begitu saja?" tegurku dengan kesal.
Lelaki itu kembali memamerkan senyum manisnya kepadaku. Ah, aku bilang senyum manis? Hei, Wa! Otakku ini tak bisa aku percayai, kenapa harus bertolak belakang dengan keinginanku yang tidak ingin bertemu lagi dengannya sih? Harusnya aku tidak mengatakan senyum dia manis!
"Apa sih yang membuatmu marah kepadaku? Sampai-sampai kamu lari tempo hari? Ada yang salah dengan sikap dan ucapanku padamu?" tanya Daffa dengan nada lembut dan menyenangkan untuk didengar.
Hei, Wa! Lagi-lagi aku memujinya, sungguh, diriku sendiri pun mampu mengkhianatiku, apa lagi orang lain? Aku merasa menjadi wanita yang super sial dalam hidupku.
"Karena Om pamannya Azriel, semua hal yang berkaitan dengan Azriel aku anggap musuhku!" jawabku dengan ketus.
Daffa tidak menanggalkan senyumnya, seolah-olah semua yang aku ucapkan tak ada artinya bagi dia.
"Bahkan lebih menyeramkan dari hantu," imbuhku ingin merasa puas.
"Aku sendiri walaupun pamannya Azriel, tapi tidak pernah ketemu sering-sering kalau bukan hari raya. Aku sendiri tidak pernah tahu bagaimana keseharian dia, jadi kalau kamu menganggap aku jahat seperti dia, rasanya kok tidak adil ya?"
Apa yang dikatakan lelaki itu memang benar, kalau aku menyakiti seseorang tentu saja orang itu tidak boleh melampiaskannya kepada ibuku karena tidak ada kaitannya.
Hanya saja, aku tidak mau sesuatu, apapun itu yang bisa mengingatkanku pada Azriel. Titik.
Aku bersikap masa bodoh atas ucapan terakhir Daffa lalu menyeruput coklat panas yang tidak lagi panas sampai kandas tak bersisa.
Tanpa mengucapkan apapun, aku mengangkat tubuhku dari atas kursi dan berbalik lalu beranjak secepat yang aku bisa, meninggalkan Daffa untuk kedua kalinya.
Berjalan cepat-cepat ke luar dari cafe dengan tujuan berada sejauh mungkin dari lelaki itu, jauh dan semakin jauh sampai napasku terengah-engah aku belum mau berhenti melangkah dan sampailah aku di halte bis, dengan terheran-heran.
Jarak antara aku dengan cafe tadi kurang lebih satu kilometer. Aku menggelengkan kepalaku merasa takjub karena mampu jalan kaki sejauh itu di bawah sengatan matahari yang biasanya tidak akan pernah aku lakukan.
"Sialan juga dia, bisa-bisanya membuatku berjalan sejauh ini, ah, menyebalkan sekali!" gumamku merutuk pada lelaki tadi.
Saat itulah aku teringat kalau belum membayar segelas coklat panas di cafe itu. Aku kabur begitu saja, lupa kalau minuman yang kunikmati haruslah dibayar.
Aku pun berdiri mematung dengan kebimbangan yang luar biasa. Haruskah aku kembali ke cafe untuk membayar minuman yang aku pesan atau aku abaikan saja?
Duh, rasanya pusing sekali. Kalau aku kembali ke cafe, akankah bertemu lagi dengan orang itu? Tapi kalau aku tidak kembali untuk membayar pesananku, masihkah aku bernyali datang lagi ke sana?
Cafe itu adalah tempat kami; aku dan teman-temanku berkumpul untuk sekedar curhat-curhatan atau sekedar ketemu tanpa membahas hal-hal penting kecuali gosip-gosip. Lagi pula, aku tidak mau sampai dianggap butuh minum coklat gratisan. Mau taruh di mana wajahku yang kece badai ini coba?
"Ya Tuhan, kenapa aku mulai mengalami kesialan hari ini? Belum juga mengisi perut, udah dapat sial aja," gerutuku sambil melangkah gontai kembali ke arah cafe, rasanya ingin menangis kencang-kencang saat itu.
Sepanjang jalan kembali, tak henti-hentinya aku berdo'a dalam hati agar tidak dipertemukan dengan lelaki itu. Seandainya dia tahu kalau sakit hati akibat pengkhianatan itu seperti apa, seharusnya ia paham bahwa aku ingin menghindari semua yang mengingatkanku pada Azriel sialan itu.
Jadi, bukan salahku, salah dialah kenapa dia punya saudara yang jahat kepadaku?
Langkahku bergegas karena ingin segera sampai cafe dengan harapan orang itu tidak lagi berada di sana. Panas terik aku hiraukan karena sudah tanggung seluruh tubuhku berkeringat dan terlambat untuk merasa sengsara.
Aku pikir meluruskan hal-hal akibat kesalahanku memang harus bersusah payah alih-alih menghibur diriku agar tidak lagi merasa bersalah.
Akhirnya aku sampai di cafe dan langsung menuju kasir. "Mbak, saya tadi pesan coklat panas satu dan lupa bayar, berapa ya, Mbak?" tanyaku buru-buru sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling.
"Mbaknya tadi duduk di meja berapa ya?" Kasir itu bertanya balik padaku.
"Oh, itu … aku gak tahu nomornya, Mbak, mejanya yang itu, yang ada colokkan listrik buat nge-charge," jawabku sambil menunjuk pada meja yang tadi aku duduki dan saat itu telah diduduki oleh sepasang muda mudi.
"Meja itu nomor delapan, Mbak, pesanannya coklat panas satu dan sudah dibayar," kata kasir sambil tersenyum.
"Sudah dibayar? Sama siapa?" tanyaku merasa heran.
"Sama orang tadi yang duduk di sana juga, Mbak. Oh, ya, orang itu menitipkan pesan, katanya barangkali Mbak Nazwa datang lagi, dia minta minta tolong sampaikan ini ke Mbak," ucap kasir yang ramah itu sambil menyodorkan kertas terlipat padaku.
Benar, dengan fasihnya kasir itu menyebut namaku, maka pastinya Daffa yang membayar pesanan coklatku.
Aku mengambil kertas terlipat itu dari tangan kasir. "Makasih, Mbak."
Tanpa basa basi lagi, aku segera membalikkan badan dan cepat-cepat pergi meninggalkan cafe itu sambil celingukan karena tidak ingin terlihat oleh Daffa seandainya lelaki itu masih berada di sana entah di mana.
Aku menyetop taksi yang lewat dengan nekat saking tidak sabar ingin segera membuka kertas terlipat tanpa diketahui siapapun.
Padahal, aku anti naik taksi dengan argo yang mahal. Bagiku, lebih suka jajan seblak pedas ketimbang harus dipakai bayar argo taksi, tapi entahlah saat itu aku justru mengambil keputusan yang bertabrakan dengan kebiasaanku hanya demi membaca pesan dari lelaki itu.
Setelah duduk di dalam taksi sambil menikmati udara yang sejuk karena AC, aku menenangkan diri sebentar lalu mulai membuka kertas itu perlahan. Ternyata isinya hanya beberapa kalimat saja.
"Besok di jam yang sama, aku jemput kamu di rumah ya. Ada sesuatu yang ingin aku bahas. Urgent.
Salam,
Daffa."
DEG. Apa maksudnya lelaki ini mau nekat datang ke rumahku?!