BAB 4 – Tentang Kuliah

1125 Kata
Hari dengan cepat berlalu, tak terasa seminggu sudah aku mengurung diri di kamar dan meratapi Azriel di dalam kamar. Banyak teman-teman yang memberikan semangat kepadaku. Aku hanya bisa mengatakan ‘ya’ tanpa melanjutkan percakapan.   Aku tidak tahu apakah semua orang yang beberikan dukungan kepadaku benar-benar tulus atau hanya sebuah pencitraan di media sosial, sebab hingga hari ini tak ada satupun orang yang datang ke rumahku meski hanya untuk bertemu dan mengucapkan rasa sedihnya.   Ternyata popular demedia sosal tidak menjamin kalau kita popular di dunia nyata. Walaupun popular juga, tidak bisa menjamin kita memiliki banyak teman. Ah, aku benar-benar pusing memikirkan pertemanan.   Selama di SMA, aku selalu menghabiskan waktuku dengan Azriel, mungkin itulah mengapa aku tidak mempunyai teman dekat yang bisa kujadikan sandaran saat mendapatkan masalah. Aku benar-benar menyesal terkena buah rayuannya.   Andai saja, aku tidak berpacaran dengan Azriel. Sudah pasti aku memiliki banyak teman, aku tidak akan sedih seperti ini, dan yang pasti aku tidak akan ditinggal nikah oleh pacarku sendiri. Aku benar-benar kesal bila memikirkannya.   “Ponselku selalu menampilkan notifikasi tanpa aku minta, tapi di dunia nyata aku dituntut untuk memberikan notif kepada orang lain,” kataku.   Aku kembali tergolek di tempat tidur. Mataku sudah bengkak karena menangis berhari-hari. Memang mudah mengatakan,‘Jangan dipikirkan lagi, sekarang kamu harus bangkit’ namun sungguh. Bila mengalami apa yang aku rasakan, aku yakin jangankan membalas semua nasihat-nasihat sok bijak itu, membacapun akan tidak sudi.   “Sayang … bangun, Sayang!” seru ibuku dari luar kamar sambil mengetuk pintu.   Satu-satunya orang yang selalu ada untukku adalah ibuku. Ibuku menjadi satu-satunya wanita yang selalu perhatian dan selalu ada di sisiku. Ayahku juga merupakan orang baik namun sebagaimana layaknya seorang ayah, Ayahku terlalu sibuk bekerja.   Aku memang paham kalau pekerjaan tentulah sangat pentung mengingat beliau adalah satu-satunya tulan punggung keluarga, namun terkadang aku merasa selalu ingin berada di dekat ayahku juga. Aku ingin yang dekat dengan Ayah bukan hanya pekerjaan, namun aku dan ibuku juga.   Aku meletakkan ponsel yang sedang aku mainkan di atas bantal.   “Iya, ini aku sudah bangun, Mah!” seruku sambil beranjak dari tempat tidur dan membuka pintu kamar.   “Sudah seminggu, loh, kamu mengurung diri di dalam kamar. Mama jadi khawatir,” kata ibuku. Ibuku memang seperti ini selalu pengertian kepadaku.   Akupun langsung memeluk ibuku dengan sayang. “Aku nggakpapa kok, Mah …,” kataku.   “Kamu masih memikirkan Azriel? Sudahlah, Nak. Dia bukan pria baik-baik. Kamu tidak boleh meratapi laki-laki menyebalkan seperti dia.” Ibuku mulai memberiku wejangan lagi.   Aku memang sudah menceritakan semua yang terjadi kepada Ibuku, itulah yang membuat Ibuku bisa memberiku sarapan nasihat di pagi hari seperti ini.   “Iya, Mah. Aku tidak akan meratapi dia lagi,” kataku.   “Nah, itu baru anak Mama. Ya sudah, sekarang kamu makan dulu ke bawah, Mama sudah masak banyak untuk kamu,” kata Mama.   Aku pun langsung mengangguk, “Sebentar, Mah. Aku akan mengambil ponselku terlebih dahulu,” kataku sambil nyengir lebar.   Mama menggelengkan kepalanya, “Ya sudah, Mama tunggu di meja makan ya?” kata Mama.   Aku pun mengangguk lalu Mama langsung turun ke bawah menuju ruang makan. Aku kembali masuk ke dalam kamarku dan mengambil ponsel milikku.   Rasanya tidak asyik ketika makan namun tidak membawa ponsel, bukan?   Setelah mengambil ponsel, aku pun langsung berjalan ke ruang makan, di sana sudah ada ayahku yang terlihat sudah rapih akan ke kantor.   “Hai, Papa?” sapaku kepada ayahku.   “Kamu baru bangun, Nak?” tanya Ayahku.   Aku hanya bisa menyunggingkan deretan gigiku yang rapi.   “Perawan zaman sekarang,” kata Ayahku.   Aku hanya bisa nyengir kuda. Namun, tidak ambil pusing karena setiap aku bangun kesiangan, ayahku selalu mengatakan hal serua hingga membuat aku hafal kalimat apa yang akan di katakana oleh beliau.   “Jadi, kamu mau lanjut ke mana?” tanya Ayahku.   Pertanyaan Ayahku benar-benar tidak jauh dari pertanyaan tentang sekolah. Menurut beliau, aku harus menempuh Pendidikan hingga sampai jenjang paling tinggi.   “Pah, aku kan sudah bilang. Aku tidak mau kuliah,” rengekku.   Aku memang tidak mau kuliah. Rasanya tiga belas tahun dari TK sampai SMA membuatku malas untuk berpikir. Lagi pula bila dilanjutkan pun otakku rasanya tidak mampu. Aku lelah untuk disuruh berpikir.   Belajar bagiku tidak lagi mengasyikkan. Satu-satunya yang mengasyikkan dari ke sekolah hanyalah bertemu teman-teman, selainnya tidak asyik. Aku tidak suka Matematika, Bahasa Indonesia, IPA, Bahasa Inggris, dan lain sebagainya. Aku benar-benar tidak suka belajar.   Menyebut mata pelajaran saja rasanya aku tidak kuat. Ah, lebay memang namun itulah yang aku rasakan.   “Mau jadi apa kamu kalau tidak kuliah?” tanya Ayahku.   Aku jadi kesal, Ayahku seperti menyetir hidupku. Aku sudah mengikuti keputusan beliau saat memilihkan sekolah dan jurusan untukku di SMA, aku tidak mau kalau Ayahku melakukan hal yang sama untuk kuliah.   “Pah, banyak kok orang di luaran sana yang sukses tanpa menempuh pendidikan tinggi.” Aku mencoba menjelaskan kepada Ayahku. Bila itu tujuan Ayahku memintaku untuk kuliah maka aku akan menyebut nama-nama pengusaha yang sukses yang tidak sampai menempuh pendidikan tinggi.   “Kamu tau apa keahlian kamu saat ini?” tanya Ayahku.   Aku benar-benar malas saat ini. Aku tidak lagi nafsu untuk makan. Inilah yang aku tidak suka, percakapan berat di meja makan. Rasanya aku ingin mengatakan kepada ayahku agar beliau tidak mengajakku mengobrol masalah kuliah saat sedang makan karena aku jadi mual dan tidak selera makan.   Namun, aku tidak berani karena bagaimanapun ayahku bisa marah dan aku tidak mau dimarahi oleh ayahku terlebih saat sedang berada di meja makan. Aku tentu malu kepada nasi yang ada di hadapanku.   “Aku memang tidak tahu, Papa. Tapi aku akan menemukan apa yang aku mau,” kataku.   Papa menatapku dengan tatapan tajam, aku hanya bisa mengerucutkan bibirku sambil mengaduk nasi yang sudah kuberi sayur di dalamnya. Tatapan Ayahku benar-benar mujarab untuk menghilangkan nafsu makan. Ah, mungkin tatapan itu cocok untuk orang-orang yang sedang dalam program diet   “Bagaimana caranya kamu tahu apa yang kamu mau kalau tidak kuliah?” tanya Ayahku.   Kalau sudah seperti ini aku sudah tidak bisa menjawabnya. Aku tentu tidak tahu apa yang harus dan akan aku lanjutkan selanjutnya. Namun, aku benar-benar tidak mau kuliah. Berdebat dengan Ayahku memang benar-benar menyebalkan. Beliau selalu bisa mengatakan sesuatu yang membuat mulutku bungkam.   Aku pun langsung mencoba memutar otak agar aku bisa menjawab pertanyaan Ayahku ini. Dan satu jawaban tiba-tiba terlintas di dalam benakku.   “Aku bisa bekerja, Pah. Iya, aku akan bekerja,” kataku kepada Ayahku dengan semangat.   Aku yakin dengan bekerja aku akan mengetahui apa yang aku suka dan ingin aku lakukan di masa depan.   “Kerja apa? Di mana?” tanya Ayah.   Telak. Aku tidak bisa lagi menjawab pertanyaan dari Ayahku ini.   “Sudah-sudah, makan dulu, Pah, Wa …,” kata Mama menengahi.   Kamipun mulai melanjutkan kegiatan makan kami. Ayam kecap dan sayur capcai yang selalu menjadi menu favoritku kini rasanya menjadi hambar. Benar-benar hambar. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN