BAB 18 - Dua Pukulan di Hari Pertama

1761 Kata
Perlahan, tak hanya wajahku saja yang terasa memanas, tapi kedua bola mataku pun terasa bagai tersembur api kompor melihat kemarahan yang membara pada diri Novi, gadis yang mungkin hanya beberapa bulan lebih tua dariku. Perasaanku campur aduk antara marah sekaligus merasa ngeri oleh gadis mungil di depanku yang statusnya adalah adik iparku. Seketika kepanikan menyerang, saat menyadari bahwa gadis berperawakan kecil itu adalah adik dari suamiku. Gawat sekali kalau baru pertama kali bertemu saja sudah mengobarkan ketidak sukaannya padaku, dalam tatapan matanya terlihat bagaimana ia bertekad kuat untuk terus menyerangku. Daffa yang secara refleks memelukku sambil menatap lekat dan dingin pada adik bungsunya, ia pun menjawab pertanyaan Novi yang sebenarnya ditujukan kepadaku. "Apa ada larangan menikahi mantan pacar dari keponakan sendiri? Jawab!" seru mas Daffa dengan volume suara yang tinggi. Novi semakin mengembangkan sikap menantang pada mas Daffa, mungkin karena ia merasa malu dibentak kakaknya di depanku, sang calon musuh besar baginya. "Ya, tidak boleh! Karena Itu sangat memalukan, Mas! Azriel pasti gak tahu kan kalau Mas nikahin mantannya?! Lagi pula bukankah dia terlalu muda untuk Mas Daffa?! Bagaimana dia bisa menjalani peran sebagai ibu rumah tangga?!" pekik Novi sambil mengacungkan satu telunjuknya yang terarah padaku dengan sikap kurang ajar. Aku melirik mas Daffa saat itu, dan raut wajahnya yang sangat gelap serta ada ketersinggungan pada sorot matanya, mas Daffa kembali bersuara kencang, kali ini lebih bertenaga dilingkupi berbagai emosi. "Cukup! Berani ngomong seperti itu pada kakak iparmu?!" Novi tampak terkejut atas pekikan mas Daffa kepadanya, kemarahan lelaki itu, nyaris tidak sanggup ia bendung, bagaimana caranya, ia harus melepaskan rasa sesak di d**a atas kelakuan adiknya sendiri yang sangat tidak sopan itu. "Siapa yang ajarin kamu punya sikap kurang ajar, hah?! Minta maaf sekarang juga!" teriak mas Daffa yang kali ini benar-benar membuatku sangat terkejut. "M-mas, sudahlah …," pintaku pada mas Daffa karena aku merasa sangat tidak enak hati. Aku sendiri merasa keberatan jika masalah ini diperpanjang, karena ini adalah awal pertemuanku dengan salah satu keluarga dekat mas Daffa, sedangkan ke depannya, aku yang akan tinggal bersama mereka. Bukankah bahaya bagiku kalau terjadi bentrokkan antara aku dengan mereka? Namun, mas Daffa tidak mempedulikan ucapanku, ia tetap memelototi Novi. Gadis itu akhirnya melirik dengan penuh kebencian padaku, lalu ia berbalik dan segera berlari meninggalkan kami, menuju ke dalam rumah. Mood-ku langsung hancur berkeping-keping. Firasatku terbukti, letusan-letusan kecil mulai menderaku di rumah besar yang mewah ini di saat kakiku baru saja terpijak di tanah ini. Mas Daffa terlihat ingin meneriaki adiknya yang berlari masuk ke dalam rumah, tapi tanganku yang melingkari lengannya, segera menarik dan menghentikan gerakan mas Daffa. "Ayo kita ke kamar," ajakku sambil menatap suamiku dengan perasaan campur aduk. Mas Daffa mengangguk. "Maaf ya," ucapnya lalu segera menggamitku memasuki rumah. Aku tidak tertarik lagi untuk melihat-lihat keadaan di dalam rumah, aku hanya ingin segera berada di dalam kamar yang hanya ada aku bersama mas Daffa saja, lagi pula, aku butuh menangis saat itu. Kami menaiki tangga yang melingkar, menuju lantai dua dan melangkah menyusuri lorong panjang dengan hamparan karpet tebal hingga sampai di ujung selasar dan menemukan pintu besar yang bisa terbuka dua sisi sekaligus. Mas Daffa mengibaskan telapak tangannya di depan sebuah panel kotak berwarna hitam hingga kotak itu menyala dan menampakkan deretan angka. Kemudian, ia menekan beberapa angka dan terdengar suara statis yang lembut lalu pintu pun terbuka satu sisi. Ia mempersilakan aku masuk lebih dulu ke dalam kamar. Pemandangan yang kulihat pertama kali adalah satu set sofa mewah yang nyaman, menyambutku dan menggodaku untuk menempatkan diriku di sana. Maju sedikit ke arah depan, aku melihat sebuah pintu yang terbuka menuju ke ruang kamar yang sebenarnya, ranjang besar hampir dua kali lipat ukuran queen, terletak di tengah-tengah ruangan dengan interior abu hitam yang cukup dingin dan kaku bagiku. Ternyata yang disebut sebagai kamar oleh mas Daffa adalah satu rumah cukup besar bagiku. Yang disebut kamar itu, terdiri dari beberapa ruangan dengan fungsi sebuah rumah, ibarat ada rumah di dalam rumah seperti itulah gambaran yang timbul di dalam pikiranku. Ruang tamu yang merangkap ruang keluarga lengkap dengan interior home theater, dengan layar nyaris selebar dinding, adalah benar-benar ruang santai yang sangat nyaman. Ada ruangan lain selain ruang yang menampung tempat tidur, adalah ruangan lemari pakaian, ruang kamar mandi yang luas, ruang dapur mini, ruang mini bar serta ruang makan. Kamar atau rumah? Namun, aku memutuskan dalam hatiku, bahwa aku tidak butuh ke luar kamar karena seluruh kegiatan yang menunjang kewajibanku sebagai seorang istri telah lengkap ada di kamar mas Daffa, bahkan aku bisa menyetel musik kencang-kencang tanpa khawatir bisa mengganggu siapapun di rumah besar tersebut. "Kamu suka?" tanya mas Daffa menyaksikan bagaimana aku berlari ke sana sini, mengeksplorasi ruang demi ruang. Aku mengangguk dan menjawabnya, "Sangat suka. Aku mau tinggal di dalam terus saja, tapi, Mas, kulkasnya kosong." "Catat apa yang kamu butuhkan, sekalian saja bikin stok untuk bahan-bahan yang bisa disimpan lama," kata mas Daffa seraya memasuki ruang tempat tidur. Aku segera mencatat sambil duduk di kursi bar, mengingat kulkas yang begitu besar, aku memikirkan jumlah dan kuantiti barang yang harus banyak. "Wuah, panjang sekali daftarnya, Sayang," tegur mas Daffa yang rupanya sudah selesai mengganti baju lalu duduk di sampingku. Aku menoleh padanya dan tersenyum. "Iya, Mas. Biar gak bolak balik dan biar lengkap saja, kebutuhanku kan banyak juga apalagi kalau ngebayangin bakal berkegiatan di sini. Gak apa-apa kan?" tanyaku ragu-ragu. Sejurus kemudian mas Daffa seolah sadar kalau pertanyaannya bisa menimbulkan persepsi lain di benakku. Ia pun segera meralat ucapannya. "Maksudku masalah pemesanan atau pembelian, sebanyak apapun suka-suka kamu, Sayang, tapi apa gak pegel yah nulisnya? Perlu kubantu?" Aku menggelengkan kepalaku. "Sudah kok, Mas. Aku gak bisa mikir lagi." Saat itu aku terdiam dan teringat kalau kami belum ketemu dengan kedua orang tuanya atau ibu dan bapak mertuaku. Aku menoleh kepada mas Daffa. "Mas, mama dan papa kamu di mana?" "Oh, mereka akan ada di rumah nanti malam, kayanya mama ikut papa deh," sahut mas Daffa tak acuh. "Oh, tapi mas gak akan kemana mana kan hari ini? Mas masih nemenin aku kan sampai Mas kerja besok?" tanyaku agak mendesak. "Tentu saja, aku di sini, sayang, nemenin kamu. Kenapa?" Dia pun balik bertanya. "Tidak apa-apa, aku masih butuh adaptasi saja," jawabku tidak jujur. Sebenarnya aku kepikiran amukan Novi yang mungkin saja akan dilakukannya kepadaku dan aku pun tidak tahu, sikap apa yang akan mama serta papanya lakukan padaku ketika mereka tahu kalau menantunya adalah mantan pacar Azriel? Daftar belanjaan yang kutulis panjang-panjang itu, kuserahkan pada mas Daffa. "Ini, Mas." "Hem …," desis mas Daffa sambil mengulurkan tangannya ke arah telepon yang menggantung di dinding mini bar. Rupanya, ia memanggil salah seorang pelayan dan tidak lama kemudian, bel pintu berdentang. Mas Daffa segera berdiri lalu melangkah melewati ruangan lain hingga sampai di depan pintu dan membukanya dari dalam, lalu menyerahkan catatan tersebut kepada seseorang dari balik pintu. Aku tidak bisa melihat siapa orang itu. Aku juga tidak melihat mas Daffa mengeluarkan uang untuk belanja. Aku segera menghampirinya tapi mas Daffa sudah terlanjur menutup pintu lalu berbalik. "Ada apa, Sayang? Ada yang ketinggalan?" tanya mas Daffa padaku. "Oh, enggak, Mas, tapi apa Mas memberikan sejumlah uang pada orang tadi buat belanja?" tanyaku penasaran. "Tidak perlu, karena mereka sudah dibekali untuk keperluan belanja," sahut mas Daffa seraya menggandengku, membawaku kembali ke arah dalam. "Oh, begitu ya …," jawabku pelan sambil berpikir, mungkin kehidupan orang kaya memang seperti itu, menyimpan di anak buahnya untuk kepentingan mendadak hingga tidak butuh sang pemilik uang setiap kali harus mengeluarkan sendiri. "Ayo, istirahat yuk. Untuk malam ini, kita akan makan malam di bawah, kamu gak perlu masak apapun kan," kata mas Daffa sambil masuk ke ruang tidur. Aku hanya mengangguk, tidak mengucapkan apa-apa selain manut ketika mas Daffa merebahkanku di atas kasur dan dia mulai melumat bibirku, menggerakkan tangannya untuk melucuti baju yang melekat di tubuhku, kami pun tenggelam dalam nafsu yang melenakan. Mungkin sekitar dua puluh menit kemudian, waktu yang terasa cukup lama, kami pun telah rebah bersisian tanpa sehelai benang pun di antara kami, tanpa balutan selimut karena kami berpeluh, kami hanya butuh istirahat sejenak sambil menata deru napas kami. Mas Daffa ternyata ketiduran saat aku menoleh kepadanya, kemudian, aku turun dari atas kasur untuk membersihkan diri dan mandi besar. Setelah berganti pakaian dan merapikan baju-baju kotor kami, aku menyelimuti mas Daffa sebelum ke luar dari ruang tempat tidur, menuju ruang serbaguna dan duduk di atas sofa sambil merenung. Aku dikagetkan oleh suara bel pintu dan sesaat, aku pun terpaku. Apakah aku harus membukakan pintu sementara aku belum tahu apapun di sana, tapi karena ingat kalau aku punya pesanan, aku berpikir mungkin saja orang yang tadi disuruh belanja lah yang memencet bel pintu. Aku pun segera berlalu ke arah pintu dan membukanya. Seorang lelaki memakai seragam berdiri di ambang pintu, mengejutkanku. "Ada apa, ya?" tanyaku padanya. Lelaki itu membungkuk sedikit lalu berkata, "Nyonya muda, mari ikut saya karena ibu memanggil Nyonya." Aku menatapnya dengan penuh keraguan, sejurus kemudian, aku pun menjawab, "Tapi, suami saya masih tidur, sebentar saya pamit dulu." "Tidak perlu membangunkan Tuan, Nyonya, mari … ibu tidak suka kalau harus menunggu lama," cegah lelaki itu yang membuat aku berbalik lagi dan terpaksa mengikuti langkahnya. Aku dibawa menuruni tangga lalu mengarah ke arah dalam dan berbelok menuju taman samping lalu langkahku dihentikan oleh lelaki tadi. "Mohon tunggu di sini, Nyonya," katanya sambil berlalu dari hadapanku, menghilang di balik pintu. Tidak lama, lelaki itu kembali dan memberi isyarat dengan kepalanya agar aku kembali melanjutkan langkah, memasuki pintu itu. Aku ditunggu oleh mama mertuaku rupanya. Beliau duduk dengan anggun di kursi kerja dengan tumpukkan berkas di depannya. "Mama …," sapaku seraya menghambur hendak menyalaminya. Namun, gerakanku dihentikan oleh lambaian tangannya. "Duduk!" titahnya dengan nada suara yang dingin menusuk. Aku cukup terkejut menerima sikap sekaku dan sedingin itu, dengan perasaan tidak enak aku pun segera duduk di kursi yang ditunjuk olehnya. "Kamu ini masih anak kecil, tahu apa tentang kehidupan? Putra saya adalah anak lelaki yang memiliki kehidupan sempurna, seharusnya ia memilih seorang istri yang mampu mengimbangi kesempurnaannya," kata mama tanpa menatap ke arahku. Aku pun tertunduk dalam-dalam, tapi sebuah keberanian muncul entah dari mana, tanpa sadar aku menjawab, "Saya harus belajar di mana untuk mendekati kesempurnaan agar bisa mengimbangi mas Daffa?" Wanita yang adalah ibu mertuaku, tampak terkejut mendengar pertanyaanku itu, seolah-olah ia sedang tersengat serangga. "Ternyata, selain otakmu kosong, rupanya kamu berani bersikap sok tahu, hah?!" hardik mama sambil melotot ke arahku. Tentu saja aku terkesiap dan ternganga mendengar sebutannya yang luar biasa kepadaku. Otak kosong? Sok tahu? Ah, bahasa apa itu yang ditujukannya padaku? Aku bersiap mengajukan pertanyaan saat tangan wanita itu mengibas, melarangku berbicara. "Kamu! Jangan pernah berani ngomong sebelum disuruh ngomong! Mengerti?!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN