Anjarani dan Indra pun segera menuju lantai bawah. Indra dengan pengertiannya menyuruh Anjarani untuk menunggu di depan pintu, di samping stand penjual roti B yang aromanya menghantui sampai perut kenyang langsung keroncongan.
Tak lama sampai Anjarani sudah berniat untuk membeli roti yang penuh godaan itu, Indra sudah mengklakson mobilnya sambil membuka kaca jendela.
“Mau kemana?” Tanyanya langsung turun dari mobil.
Kebiasaan yang sering Anjarani lakukan adalah suka menghilang entah kemana dan kemudian kembali dengan sendirinya, persis hantu. Jika Indra tidak memperhatikan wanita itu, sudah dipastikan Indra akan menunggu lebih lama di bandara.
Anjarani terdiam sejenak memandangi Indra dengan tatapan heran.
“Kamu beli mobil baru?” Tanya Anjarani yang langsung memandangi mobil Toyota Rush keluaran terbaru.
“Gak tau deh Ran, Papahku selalu nyuruh aku buat ganti mobil. Katanya kalo aku bawa mobil merah butut itu ke kampus, kamu bakalan malu jalan sama aku.” Ujar Indra sambil menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.
Indra tahu Papahnya sudah berniat menjodohkannya dengan Anjarani. Tapi karena hubungan Indra dengan Anjarani yang sama sekali tidak ada perkembangan membuat Papahnya gemas dan mendanai putra semata wayangnya agar cepat mendapatkan Anjarani dan menjadikannya istri.
Sayangnya Indra hanya bisa tersenyum pahit karena Anjarani wanita tomboy yang kurang peka sekali. Miris sekali hidupnya, Padahal dulu ia sudah menyatakan cinta, tapi hubungannya malah berakhir gantung dan tidak jelas seperti ini.
Anjarani langsung mengelilingi mobil putih itu, berusaha mencari titik cacat di bagian body mobil. Setelah memastikan beberapa hal, Anjarani langsung kembali untuk mengambil kopernya.
“Om Danajaya bukan takut malu aku jalan sama kamu, tapi Papah kamu mau jadiin kamu supir. Ini mobil keluarga Ndra. Kenapa gak beli mobil sport aja? Kan lebih sesuai sama anak kuliahan kaya kamu. Lebih gampang narik perhatian cewek.”
Indra yang sudah membuka bagasi dan segera membantu Anjarani memasukkan kopernya ke dalam. Anjarani tidak menyadari perubahan raut wajah Indra yang sedikit tidak suka dengan perkataannya tadi.
“Aku bukan laki-laki sembarangan Ran…” Anjarani hanya menggidikkan pundaknya sekali dan masuk ke dalam mobil dengan santai.
Setelah itu, mereka pun pergi meninggalkan bandara. Pagi hari ini sudah cukup terik padahal baru pukul sembilan pagi. Anjarani hanya duduk dan sesekali memainkan ponselnya yang kemudian memperhatikan jalan.
“Kamu gak ada niatan masuk kuliah Ran?” Tanya Indra jujur saja penasaran lantaran Anjarani tidak pernah sedikit pun membahas apakah ia akan lanjut kuliah atau tidak.
Kelulusan SMA mereka baru saja sekitar tiga minggu yang lalu. Dan baru saja Indra mendaftarkan diri untuk kuliah mengambil jurusan IT. Besok ia pun harus mengikuti tes setelah itu ia melakukan p********n uang semester.
“Aku pengen langsung kerja aja. Temenku sudah ada yang kerja sekarang, aku pengen pegang duit sendiri dan mandiri.” Anjarani menoleh sambil memberikan ponselnya pada Indra.
Lampu masih merah ketika Indra memperhatikan lowongan pekerjaan dari ponsel Anjarani. Keluarga Anjarani bukan keluarga yang kesusahan, keluarga mereka termasuk berada lantaran Anjarani sendiri sudah membawa kendaraan sendiri ketika mereka masih SMA walaupun selalu ditilang berkali-kali.
“Kuliah aja kali Ran. Kerja kan bisa setelah kamu lulus kuliah.” Kata Indra berusaha meyakinkan Anjarani. Ia mendadak tidak semangat kuliah karena Anjarani ternyata tidak berniat kuliah sepertinya.
Indra kemudian kembali mengendarai mobilnya menuju daerah pasar baru, rumah keluarga Anjarani. Ia jadi sedikit menyesal mendaftar kuliah, karena Anjarani nyatanya tidak ingin kuliah. Padahal biasanya mereka selalu bersama.
“Kuliah mah gampang. Setahun aku nabung juga pasti dapat buat biaya kuliah.” Indra tiba-tiba langsung berwajah cerah.
“Terus kamu bakal ngambil kuliah?” Anjarani menganggukkan kepalanya. “Baguslah kalo gitu.” Ujar Indra langsung mengatupkan mulut dan berusaha untuk tidak tersenyum berlebihan. Bisa gawat jika ditanya oleh Anjarani kenapa dia tiba-tiba senang.
Setelah perjalanan yang cukup jauh, mereka pun sampai di kediaman Anjarani. Rumah besar berlantai dua yang berdiri kokoh di depan pemakaman umum. Indra sering kali takut pulang malam harinya dari rumah Anjarani karena kuburan itu.
Kak Feri dan teh Elsa yang menghuni rumah itu tidak pernah merasakan hal-hal mistis menghantui rumah mereka. Karena walaupun kuburan, masih banyak saja orang-orang berlalu lalang di jam satu malam.
“Kak Feri mau langsung ke rumah sakit?” Tanya Indra yang melihat mobil hitam sudah terparkir di luar pagar. Anjarani mengangguk tanpa menoleh ke arah Indra.
“Kamu mau langsung pulang atau mampir dulu?”
“Yaa mampirlah! Masa iya aku gak dikasih oleh-oleh.” Anjarani langsung berwajah sewot.
“Yaudah, masukin mobilmu ke dalam aja. Kak Feri bakalan di rumah sakit terus nungguin Teh Elsa.”
Indra mengikuti perkataan Anjarani dan memasukkan mobilnya ke dalam. Dan setelah Anjarani turun, dengan segera Samudra kecil yang baru saja lancar berjalan menghampiri Anjarani dengan wajah gembiranya.
“Lho? Katanya naik taxi. Oh… Pantesan.”
Kak Feri langsung cekikikan kecil melihat Indra yang sudah menurunkan koper dari bagasi. Anjarani langsung menggendong Samudra ke dalam, wajahnya masih saja masam.
“Kenapa tuh Nyi Roro Kidul?” Tanya kak Feri.
“Gak tau tuh. PMS kali.”
Kak Feri langsung saja tertawa. Indra memang suka sekali bercanda dengan Kak Feri setiap kali ia berkunjung ke rumah. Walaupun dominan Kak Feri memang selalu menggoda Anjarani dengannya.
“Mau langsung ke rumah sakit Kak?” Tanya Indra saat melihat Kak Feri yang sudah memakai sepatu putihnya. Kak Feri tersenyum kecil.
“Iya. Teh Elsa minta dibawain baju ganti sama termos air panas.”
“Maaf Kak. Aku tadi lama jemput Rani soalnya habis daftar kuliah.”
“Kalem. Yaudah aku tinggal dulu ya.”
Dua koper besar sudah diturunkan, sedikit mengelap keringat di dahinya, Indra menatap koper-koper Anjarani. Entah apa isinya sampai kopernya seberat ini. Indra berpikir Anjarani mungkin saja jelmaan Hulk karena tiga koper ini.
“Assalamu’alaikum.” Ucap Indra memasuki rumah keluarga Anjarani.
“Wa’alaikumussalam. Ndra, sorry ya, kalo mau minum ambil sendiri di dapur. Aku mau gantiin bajunya Samudra dulu.” Ucap Anjarani sambil menggendong Samudra yang bergelayut manja mencakar-cakar wajah Anjarani.
“Yoi. Aku udah biasa menjamu diri sendiri kok.” Kata Indra polos sambil meringis dalam hati.
Kebiasaan Indra ketika di rumah Anjarani adalah membuka kulkas dan mencari cemilan. Kalau tidak ada sirup, biasanya Indra memilih untuk menyeduh kopi. Tapi kali ini ia tidak melakukannya.
Indra berbelok keluar dari pintu dapur menuju kolam renang di belakang rumah. Kolamnya tidak terlalu besar, toh yang rajin berenang hanya Kak Feri saja. Indra menghela nafasnya menikmati pemandangan taman belakang.
“Kapan terakhir kali aku kesini ya? Asem banget dah! Sudah ada kolam ikannya coy!”
Indra langsung melihat-lihat sekeliling. Setelah ia kerja nanti, Indra akan membuat taman belakang juga seperti ini.
“Ndra? Aku mau pesen gofood. Kamu mau makan apa?” Suara Anjarani tiba-tiba terdengar dari dapur.
“Samain aja.” Sahut Indra langsung.
Indra memasuki dapur lagi dan menatap Anjarani yang masih menggendong Samudra. Entah kenapa, walaupun perawakan wanita ini tidak ada feminimnya sama sekali, aura keibuannya sudah terlihat. Apalagi ketika Anjarani sedikit mengelap mulut Samudra karena liur.
“Ran. Kamu makin lama makin cocok jadi ibu.” Indra sedikit membeku lantaran mulutnya seperti berkata otomatis mengikuti apa yang otaknya pikirkan.
Indra langsung memasukkan tangannya ke dalam saku celana jeansnya dan kemudian
Ada semburat merah muda di pipi putih Anjarani. Ia langsung berbalik dan membuka kulkas, berusaha menutupi raut wajahnya. Ucapan Indra sederhana, tapi efeknya terlalu besar bagi Anjarani.
“Ya iyalah. Aku akan cewek, ujung-ujungnya bakalan jadi ibu dong!” Ucap Anjarani dengan nada sedikit tinggi. Indra tertawa sambil menggelengkan kepalanya.
“Kita nikah aja yuk Ran.”