PART. 4 DUA PULUH LIMA TAHUN BERSAMAMU

1915 Kata
Usai mengantar teman-teman Sekar pulang, Sakti mengajak Sekar mampir ke toko sepeda. "Pilih yang kamu suka, Sekar, untuk kamu ke sekolah." Sakti menyuruh Sekar memilih sepeda. "Untukku ... Ayah?" tanyanya ragu. Wajah polosnya mendongak menatap Sakti. Sakti mengangguk, Sekar menunjuk satu sepeda berwarna biru dengan keranjang di depan. "Yang ini saja" katanya. Setelah Sakti membayar harga sepeda. "Kau bisa mengayuhnya sampai ke rumah tak terlalu jauh dari rumahkan, aku akan mengikutimu dengan mobilku" kata Sakti sambil menuntun sepeda Sekar ke luar dari toko dan menyerahkannya pada Sekar. Sekar mengangguk "Terimakasih, Ayah." Matanya berbinar bahagia. Sakti tersenyum, tangannya menyubit pipi chubby sekar. "Kembali kasih, Sekar,sekolah yang rajin ya, biar Bapakmu bahagia di surga" "Aamiin ...." jawab Sekar dengan mata berkaca-kaca. -------- Rumah Steven diramaikan dengan anak, menantu, juga cucunya, yang berkumpul mengelilingi meja makan. Dan masih sama seperti saat mereka kecil, tetap saja ribut d imeja makan. "Uncle kenapa siih Mas Randi yang ditugaskan ke luar kota? Mana lama lagi!" gerutu Emilia. "Duuh ada yang rindu merana nih ternyata," goda Adyt. "Terus aku harus nyuruh siapa lagi?Mang Iyan, OB kantor?" Sakti menghentikan suapannya, matanya menatap Emilia di seberang meja. "Bukan begitu juga, siapa kek gitu, di kantor Opa banyak tuh pegawainya." Emilia mulai sewot, mendengar jawaban Sakti. "Ya habis sudah tahu cuma pacar kesayangan lo itu yang bisa gue andalkan sekarang, lo masih saja protes!" gerutu Sakti. "Apa sih, ditanya begitu saja marah!" Emilia makin sewot. "Coba lo dari sekarang, belajar juga bantu-bantu di kantor, biar lo tahu arti nyari uang, jangan asal minta doang. Apa lagi lo kan tahu, Randi bukan anak orang kaya, jadi lo harus belajar dari sekarang, jangan suka menghamburkan uang." Sakti memulai ceramahnya untuk Emilia. "Papa aku kan kaya, kalau Randi nggak bisa beliin, aku bisa minta Papa!" jawab Emilia sengit. "Kalo lo nggak mau merubah kebiasaan jelek lo, gue yakin nggak sampai setahun, hubungan lo sama Randi pasti bakal end. Nggak ada lagi tuh annive-annivean berapa bulanan!" Emilia meletakan sendok, dan garpu ke atas piring, dengan mata berkaca-kaca. "Uncle kenapa sih jahat sekali, mendoakan aku putus sama Mas Randi! Oma, marahin tuh unclenya!" Emilia tahu benar, Sakti paling takut dengan Tiara. Belum sempat Tiara bicara, Sakti sudah bicara lagi sambil berdiri dari duduknya. "Gue cuma kasihan sama Randi, dia itu bukan orang kaya, Emi, tanggungannya banyak, ada ayahnya yang sudah pensiun, ada ibunya ada dua adiknya, kalau dia menuruti kemauan lo terus, bagaimana dengan keluarganya. Apa lagi dia nggak mau menerima bantuan gue, buat menyekolahkan adik-adiknya. Makanya, dia gue sering suruh ke luar kota, biar dia bisa dapat uang lebih, lo harus mengerti itu, kalau lo mau panjang ya hubungan lo sama dia!" Kata-kata Sakti membuat semua yang mengelilingi meja makan terdiam. Tiara menyusut air mata yang jatuh di pipinya, ia merasa terharu, sekaligus bangga dengan sikap putra kesayangannya. Steven menggenggam jemari Tiara. "Kenapa, Sayang?" tanya Steven. Tiara berdiri, ia menghampiri Sakti, lalu memeluk Sakti dengan erat. "Mamah bangga sama kamu, ternyata dibalik sikapmu yang suka menyebelkan Mamah, kamu punya pemikiran yang luar biasa." Sakti balas memeluk Tiara. "Ya ampun, Mam biasa saja, yang aku katakan tadi adalah kebenaran, yang memang harus Emi ketahui, biar dia bisa lebih menghargai jerih payah orang." "Kamu harus banyak belajar dari Unclemu, Emi, umur kalian cuma beda dua tahun, tapi Unclemu sudah bisa mandiri, punya usaha sendiri. Kamu harus contoh dia, dan kamu lihat adikmu, Adyt, meski masih SMA dia sudah mulai belajar, dan bantu-bantu di perusahaan Papa." Dika berkata dengan lembut, berusaha melunakan hati putrinya, yang memang keras kepala. "Kenapa Papah ngomong begitu?Papah nggak mau lagi mengeluarkan uang buat aku?" tanya Emilia sengit sambil berdiri. "Emi duduk, dan bersikap sopan pada Papahmu," tegur Steven. Emilia lansung duduk dengan wajah menunduk, berusaha menahan air matanya, Emilia memang paling takut dengan opanya. "Ayah kira Sakti, kalau Emi disuruh bantu di kantor kamu, yang ada dia malah bikin kacau pekerjaan Randi nanti. Sebaiknya Emi disuruh bantu-bantu di tempatmu saja, Dika," saran Steven. "Nggak mau, aku maunya di kantor Uncle saja!" Emilia menggelengkan kepala, tanda protes. "Nggak bisa, Ayah benar, kalau lo bantuin di kantor gue, pasti lo akan mengikuti Randi kemana-mana, dan itu akan menbuat pekerjaan Randi kacau. Jadi sebaiknya, lo bantu di kantor Papa lo saja!" kata Sakti, dengan suara tegas, matanya langsung menatap ke mata Emilia. "Jangan terlalu keras sama Emi," tegur Tiara pada Sakti. Emira dari tadi hanya diam, mendengar perdebatan mereka, di dalam hatinya ada rasa bersalah, karena selama ini sangat memanjakan Emilia. "Jadi bagaimana, Emi, maukan Sayang bantu di kantor Papamu?" tanya Steven lembut. "Terserah saja," jawab Emilia tanpa berani menatap opanya. "Jadi sudah clear ya urusan ini, sekarang lanjutkan makan kalian dengan tenang," kata Steven lembut, membuat semuanya diam, dan menuruti kata-kata Steven. ******* Sakti, dan Bianca duduk berseberangan dengan meja kerja Sakti sebagai pemisah. "Jadi ini keputusanmu, Bi?" tanya Sakti, di tangannya ada sebuah undangan resepsi perkawinan berwarna gold. "Aku lelah menunggumu, Sakti, dua tahun sudah cukuplah buatku, aku perlu seseorang yang bisa menyenangkan aku sepenuhnya," jawab Bianca. "Aku senang, kamu akhirnya memutuskan untuk menikah, karena menungguku, mungkin pekerjaan yang sia-sia." "Mungkin sudah saatnya aku melupakanmu, Sakti, benarkan?" tanya Bianca, matanya menatap langsung ke mata Sakti, ingin melihat apa ada kekecewaan di sana, tapi sayangnya, mata itu tak mengatakan isi hati pemiliknya. "Boleh aku menciummu untuk terakhir kalinya, Sakti, sebelum aku menyandang nama seseorang di belakang namaku!" pinta Bianca. Sakti mengangguk, ia memutar kursinya, lalu menepuk pahanya, sebagai jawaban pertanyaan Bianca. Bianca berdiri dari duduknya, ia mendekati Sakti, lalu duduk di atas pangkuan Sakti. Dua tangannya menangkup wajah Sakti. Bibir mereka bertemu saling mengecup, tangan Bianca masuk ke balik kemeja Sakti, Bianca meraba d**a Sakti lembut. Tiba-tiba pintu terbuka. "Boss! Ooh ... eeh, maaf ... maaf." Randi menutup kembali pintu dengan wajah memerah, ia menyumpahi dirinya sendiri, yang tidak mengetuk pintu dulu. Sakti melepaskan ciumannya "Cukup, Bi, berdirilah!" katanya pelan. Bianca menghela napas kecewa. "Sebaiknya kamu pulang sekarang, aku berharap kamu bisa jadi istri, dan ibu yang baik nantinya." Bianca tersenyum dipaksakan. "Makasih, Beb, hhh ... panggilan itu hanya untukmu, juga hatiku, meski tubuhku dimiliki orang lain," gumamnya pilu. Sakti menggenggam lembut jari Bianca. "Berbahagialah, Bi, sebagaimana seharusnya mempelai wanita yang tengah bahagia." Bianca memeluk Sakti, ia meneteskan airmata di bahu Sakti. "Terima kasih, meski kamu kadang menyebalkan, tapi kamu pria terbaik dalam hidupku. Terima kasih sekali lagi, aku pulang." Bianca melepaskan pelukan, ia menyeka airmata, lalu meraih tasnya di atas meja kerja Sakti. "Aku pulang," katanya pelan. Sakti membuka pintu. "Hati-hati, Bi." Bianca mengangguk. Baru saja Sakti menutup pintu, dan duduk di kursi di balik meja kerjanya, Randi masuk sambil cengar cengir. "Kenapa lo, senyum lu persis cengiran kuda!" Randi terkekeh "Habis melihat adegan layak sensor, Boss!" "Makanya dibiasakan, ketok pintu dulu, jangan main slonong boy!" kata Sakti "Sorry, Boss ... eeh undangan siapa?" tanya Rand,i seraya membuka undangan di tangannya. "Ooh ... jadi Bianca mau kawin, jadi tadi ciuman perpisahan. Waah ada yang patah hati nih," goda Randi, yang melihat Sakti seperti tengah melamun. "Patah hati? Hahahaha, nggak ada kamusnya, yang namanya sakit hati karena cewek buat gue, lo tahu'kan mati satu tumbuh seribu." Sakti tergelak mendengar dirinya disebut tengah patah hati oleh Randi. "Hhhh ... hati-hati kena karma, Boss. Disaat nanti Boss benar-benar jatuh cinta, ceweknya malah nggak mau lagi sama Boss." Randi berusaha mengingatkan bossnya. "Aahh, ngomong apaan lo, Ran. Reh lo tadi ke sini ada perlu apa?" tanya Sakti. Randi meletakkan kertas putih berlipat ke meja Sakti. "Undangan dari sekolah Sekar, mungkin lo mau datang, Boss." "Undangan apa?" "Pengambilan raport kenaikan kelas." "Raport naik kelas, berarti sudah setahun dia pindah ke sini. Astaga harusnya kita mengadakan pengajian satu tahun meninggalnya Pak Rustamkan, kenapa aku bisa lupa." Sakti benar-benar lupa, kalau kejadian itu sudah setahun berlalu. "Pengajiannya sudah bulan lalu, lo sendiri yang ngasih uang buat acara pengajian itu, lupa Boss?" tanya Randi heran, kenapa Sakti bisa lupa. "Begitu ya, mungkin karena gue terlalu sibuk, sampai lupa hal penting seperti itu, harusnya gue datang kepengajian itu," sesal Sakti. "Sudahlah, Boss, ini jadi yang mengambil raport Sekar, Boss atau aku?" "Kapan?" Sakti balik bertanya. "Besok pagi jam sembilan," jawab Randi, sembari membaca kertas undangan dari sekolah Sekar di tangannya. "Biar aku yang ambil, tapi besok pagi lo ingetkan gue ya, gue takut lupa!" Sakti akhirnya memutuskan untuk datang sendiri ke sekolah Sekar. Sakti merasa bersalah, karena dua bulan ini terlalu sibuk, tidak sempat menengok Sekar, bahkan sampai tidak datang kepengajian setahun meninggalnya Pak Rustam. ------- Sakti menatap raport Sekar di tangannya. Sangat memuaskan nilainya, peringkat satu pula di kelasnya. "Ayah bangga sama kamu." Sakti membelai kepala Sekar lembut. "Terima kasih, Ayah" Sekar menyunggingkan senyum manis di bibir, merasa bahagia sudah membuat Sakti senang. "Kamu ingin hadiah apa?" tanya Sakti. Kepala Sekar menggeleng "Ayah sudah membelikan aku semua yang aku perlukan," jawabnya. "Itu bukan hadiah, Sekar itu tanggung jawabku, sekarang aku ingin memberimu hadiah untuk nilai bagusmu ini, katakan apa yang kamu inginkan," pinta Sakti. Kepala Sekar kembali menggeleng "Terima kasih, Ayah, tapi aku tidak menginginkan apa-apa sekarang," jawab Sekar, kepalanya mendongak menatap wajah Sakti, mata mereka bertemu, Sekar langsung menundukan wajahnya. "Baiklah, Sekar, tapi tawaran hadiah ini masih berlaku untukmu, kapanpun kamu ingin memintanya, katakan saja," kata Sakti mengalah akhirnya. Sekar menganggukan kepalanya. ------- Tiara, dan Steven yang tengah tidur berpelukan, terjengkit kaget saat terdengar ketukan di pintu. Bukan ketukan, lebih tepatnya gedoran. Bergegas Steven, dan Tiara turun dari ranjang. Tiara sembari menggulung rambut asal ke atas kepalanya, mata Tiara sempat melirik jam di atas meja kecil di samping ranjang, jam dua belas tepat. "Siapa?" tanya Steven, sebelum membuka pintu. Tiara berdiri di sebelahnya. "Aku Ayah!" suara Emira menjawab di balik pintu. Steven membuka pintu "Surpriseeee!" Steven kaget, melihat anak, menantu, dan cucu-cucunya berdiri di hadapannya, dengan topi kertas warna warni di kepala, dan terompet kecil di mulut mereka. Emira membawa kue tart dengan angka dua lima di atasnya. "Selamat hari pernikahan yang ke dua lima, Ayah, Mam, make a wish dulu, baru tiup lilinnya berdua," kata Emira, tangannya yang membawa kue diangkat sedikit, agar mudah lilinnya ditiup. Steven, dan Tiara saling pandang, mata mereka berkaca-kaca. Tangan mereka saling menggenggam, mengucapkan doa di hati mereka. Tiara, dan Steven meniup lilinnya, lagu selamat ulang tahun dinyanyikan bersama. Mereka saling berpelukan dalam bahagia . Duduk berkumpul di kamar Steven, dan Tiara, menikmati kue tart sambil tertawa-tawa, Tiara, dan Emira saling berpelukan. "Kisah cinta Oma, dan Opa luar biasa ya, kalau ada pria yang melamar aku, umurnya setua Papa, akan diterima nggak, Mah?" tanya Emilia, yang duduk lesehan di lantai, bahunya disandarkan di kaki Steven. "Hah! Memang kamu mau punya suami setua Papamu?" tanya Emira kaget. "Kalo dia seganteng, dan sekaya Opa waktu menikahi Oma, aku mau tuh," jawab Emilia. "Ya Tuhan, Emi, kapan sih lo bisa berhenti matre, si Randi mau lo kemanakan?" Sakti menggeleng-gelengkan kepalanya. "Iya nih kak Emi matre banget, ya Allah semoga nanti aku nggak punya pacar kayak kak Emi aamiin," doa Adyt, yang duduk di lantai juga di hadapan Emilia. "Apaan sih lo, aku kan tadi bilang seandainya!" Emilia menjitak kepala Adyt. "Belum tentu juga kan ada pria lain yang seperti Opa, pada jamannya dulu sekarang, yang ada jaman sekarang om-om itu perutnya gendut, jidatnya licin, noh liat Papa, sudah keliatan tanda-tandanya, padahal Opa aja bodynya masih sexy, rambutnya masih oke, lewat Papa kalau sama Opa," cerocos Emilia yang membuat mereka tertawa, hanya Dika yang terlihat sedikit malu karena sudah disentil putrinya, benar juga kata Emilia dibanding mertuanya, Dika memang kalah telak, cuma menang diumur saja. *****Bersambung***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN