“Apa ini?” tanya Mas Rendra, menyodorkan sebuah tes pack dengan hasil negatif.
“Aku hanya merasa penasaran,” jawabku tak acuh.
Terdengar embusan napas berat dari lelaki di sampingku. “Kamu mau kita ke dokter lagi?” tanyanya lembut.
“Buat apa? Toh, hasilnya selalu sama. Semua dokter yang kita datangi pasti mengatakan tidak ada masalah dalam sistem reproduksi kita. Kamu normal, aku pun normal. Hanya kita saja yang belum beruntung,” ucapku dengan tangan yang tetap bergerak membereskan pakaian bayi ke dalam container box.
“Aku hanya menawarkan.” Mas Rendra mengusap lengan kananku. “Mau kamu apakan pakaian-pakaian ini?” sambungnya.
“Aku mau membereskannya. Tidak ada gunanya aku tetap memajang semua perlengkapan bayi ini. Hanya membuatku sakit hati setiap kali melihatnya,” jawabku.
“Aku tau ini berat, tapi aku mohon kamu tetap bersabar, ya? Aku yakin suatu hari nanti Allah akan menjawab doa-doa kita,” bujuk Mas Rendra.
Aku bergeming, memilih memasang tutup container box dibandingkan harus menanggapi bujukannya.
“Kamu mau ke rumah Umi? Aku antar kal—“
“Enggak usah. Aku enggan menanggapi celotehan tetangga kamu. Aku sedang malas kalau harus dibanding-bandingkan dengan adik kamu yang sudah punya dua anak,” tolakku lagi.
“Tapi ‘kan yang penting Umi enggak. Selama ini Umi enggak pernah berkata yang macam-macam tentang pernikahan kita,” ujar Mas Rendra demi meredam kekesalanku.
“Nanti aja, kalau aku mau. Hari ini aku lagi kangen sama Ibu. Aku mau berziarah ke makamnya,” sahutku akhirnya.
“Kalau kamu sudah siap, kasih tau aku. Aku antar kamu, ya?” Sebuah kecupan terasa di pucuk kepalaku. Mas Rendra keluar dari kamar masih dengan tes pack di tangannya. Entah tes pack ke berapa puluh yang aku gunakan untuk mengetes diriku sendiri.
Sebenarnya, aku sangat bersyukur karena memiliki suami sebaik dan selembut Mas Rendra. Kendati kami menikah dari hasil perjodohan, tapi semenjak mengucapkan ijab kabul di hadapan penghulu dan seluruh keluarganya, Mas Rendra tidak pernah sekalipun menunjukkan penolakannya. Dia selalu memperlakukanku layaknya seorang istri yang sangat dia cintai.
Masih teringat di benakku, bagaimana pertemuan pertama kami dulu. Hari itu, adalah hari berduka untukku. Karena perempuan yang telah melahirkanku ke dunia, harus pergi untuk selama-lamanya. Aku menjadi yatim piatu setelah sebelumnya Ayah yang juga meninggal saat usiaku baru menginjak enam tahun. Semenjak itu Ibu tidak menikah lagi, hingga ajal menjemputnya. Beliau bilang, ingin bertemu kembali dengan Ayah di surga nanti.
Aku yang sedang tersedu di depan jasad Ibu, merasakan kesedihan yang luar biasa hebatnya. Karena merasa sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi di dunia ini.
“Kamu harus ikhlas, Nara. Allah sayang ibumu, insyaa Allah beliau pergi dalam keadaan husnul khotimah.” Sebuah pelukan aku dapatkan dari seorang sahabat Ibu, Umi Fatma namanya. Aku mengenalnya setelah beberapa kali bertemu di acara pengajian.
“Terima kasih, Umi. Insyaa Allah Nara ikhlas,” ucapku dengan nada berat.
Umi Fatma berpamitan. Aku pun menyempatkan melihat ke arah pintu untuk melepas kepergiannya. Saat itulah aku bertemu pandang dengan seorang pria yang berdiri di sana, menyambut kedatangan Umi Fatma dan melangkah bersamanya. Sebelum pergi dia memberikan seulas senyum, yang kemudian aku balas dengan sebuah anggukan kepala. Aku tidak berpikir macam-macam waktu itu. Bagiku rasa duka yang menyelimuti hati ini sudah cukup berat untuk aku tanggung sendiri.
Hingga sebulan kemudian, Umi Fatma datang kembali bersama Pak Amrin, ustadz di lingkungan tempat tinggalku.
“Ibu Fatma datang ke sini, untuk menyampaikan niat baiknya, Nak Kinara. Beliau ingin meminangmu untuk menjadi istri Narendra, putra sulungnya yang baru pulang dari kota Yogyakarta. Narendra baru saja menyelesaikan jenjang pendidikan S1-nya,” terang Pak Amrin.
Aku terdiam karena tidak tahu harus berkata apa. Ada rasa bahagia, tapi juga sedih yang kurasakan secara bersamaan.
“Nak Nara tidak usah cemas, putra Umi itu baik. Umi yakin itu, dan Umi ingin dia juga memiliki istri yang baik, yaitu kamu.” Umi Fatma menepuk punggung tanganku.
“Tapi, Nara cuma lulusan Mts, Umi. Apa putra Umi bersedia, memiliki istri yang tidak sepadan pendidikannya?”
“Umi yakin dia tidak akan menolak.” Perempuan itu tersenyum meyakinkan. Membuatku memberikan sebuah anggukan kepala pertanda setuju.
Tanpa menunggu waktu lama, pernikahan pun dilaksanakan dua minggu kemudian secara sederhana di kediamanku. Seminggu setelahnya, Mas Narendra, atau yang biasa dipanggil Rendra membawaku pindah ke sebuah rumah sederhana yang terletak tak jauh dari tempatnya bekerja.
Aku merasakan banyak kebahagiaan setelah menikah dengannya. Terlebih setelah apa yang Umi Fatma katakan benar, Mas Rendra adalah lelaki baik dan pengertian. Tidak pernah sehari pun dia tidak memperhatikanku.
Namun, kebahagiaan itu harus terusik setelah usia pernikahan kami menginjak tiga tahun. Belum adanya kehadiran buah hati dalam rumah tangga kami, mulai dipertanyakan oleh para tetangga juga kerabat. Terlebih setelah Risma, adik satu-satunya Mas Rendra melahirkan anak pertamanya di usia pernikahan yang belum genap dua tahun. Aku merasa terkalahkan dalam hal ini.
Banyak dokter yang kami kunjungi, demi mengetahui permasalahan yang terjadi di antara kami. Namun, hasilnya tidak pernah ada gejala yang menyebutkan jika aku atau Mas Rendra mengalami masalah serius. Semua hasilnya baik, kami berdua dinyatakan normal.
Sejak saat itu, aku mulai malas untuk berkunjung ke rumah Umi. Kendati mertuaku itu tidak pernah membahasnya, tapi aku yakin orang di sekitarnya sering menjadikan ini sebagai bahan perbincangan.
Apa ini yang disebut sebagai ujian dalam berumah tangga?
***
Aku terjaga ketika mendengar Mas Rendra sedang berbicara dengan seseorang lewat ponselnya.
“Apa?” ucapnya dengan raut terkejut. Dia terdiam selama beberapa detik. “Baik, nanti aku ke sana. Ya, waalaikumsalam.”
“Siapa, Mas?” tanyaku waswas karena melihat wajahnya yang masih terlihat cemas.
“Sepertinya besok pagi aku izin dari kantor. Aku harus ke Yogyakarta. Ada salah satu teman yang meninggal dunia,” tuturnya.
“Innalillahi wa innailaihi rojiun,” gumamku. “Teman semasa kuliah, Mas?” tanyaku ingin tahu.
Mas Rendra tak berkata, hanya memberikan sebuah senyum tipis diiringi anggukan kepala. Tanpa membahas lebih lanjut, Mas Rendra pun mengajak aku untuk tidur kembali.
Esoknya, Mas Rendra pergi ke Yogyakarta seorang diri. Aku sempat menawarkan untuk menemaninya, jikalau dia merasa butuh teman selama perjalanan nanti. Namun ternyata dia melarangku, alih-alih aku tidak akan sanggup melewati perjalanan yang cukup jauh. Jarak dari Bandung ke Yogyakarta tentu saja memakan waktu yang cukup lama. Terlebih dia tahu jika aku sering mengalami mabuk perjalanan. Dia bilang lebih baik aku menunggu di rumah dari pada aku harus sakit karena ikut dengannya.
***
“Assalamualaikum, Nara.”
“Waalaikumsalam, Mas.” Aku menjawab salam Mas Rendra dengan perasaan semringah. “Kapan pulang?” tanyaku segera.
“Maaf, sepertinya hari ini aku belum bisa pulang. Aku masih ada urusan yang harus segera diselesaikan,” jawabnya.
“Oh, baiklah. Hati-hati, jaga kesehatan di sana,” pesanku.
“Tentu, kamu juga jaga kesehatan. Kalau begitu aku berangkat dulu, aku harus pergi ke suatu tempat. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.” Aku melepas ponsel setelah terdengar suara pertanda sambungan terputus. Kuembuskan napas pendek, lalu menyimpan benda persegi itu di atas meja. Ini sudah hari ke tiga Mas Rendra pergi ke Yogyakarta, tetapi dia belum bisa memastikan kapan akan pulang. Entah urusan apa yang harus dia selesaikan bersama temannya itu, dia tidak memberi tahu secara jelas.
Semoga bukan masalah serius yang harus dia selesaikan.
Demi mengurangi kejenuhan, aku memilih untuk membereskan lemari berisi buku-buku milik Mas Rendra. Entah sudah berapa lama belum aku sentuh, karena beberapa waktu lalu terlalu sibuk menyiapkan kamar bayi itu.
Kukeluarkan satu persatu buku dari rak lalu menyimpannya di atas meja. Membersihkan debu-debu yang menempel di setiap bagian lemari.
“Selesai. Sekarang tinggal memasukkan bukunya lagi,” gumamku diakhiri seulas senyum. Merasa senang karena kini tempat favorit suamiku ini sudah terlihat lebih baik.
Sebuah benda jatuh ketika aku mengambil satu buku untuk menyusunnya di rak. Kurundukkan kepala, melihat ke bawah kaki. Seperti sebuah foto. Foto siapa?
Aku pun berjongkok untuk mengambilnya. “Astagfirullah,” ucapku terkejut ketika melihat benda itu secara dekat.
Di foto itu terlihat dengan jelas, jika Mas Rendra duduk berdampingan bersama seorang perempuan. Dengan satu tangan yang menjabat tangan lain dari seorang pria. Aku tahu dengan pasti, apa yang sedang terjadi dalam foto ini.
Jadi, Mas Rendra pernah menikah, sebelum menikah denganku?
*****