KESAN PERTAMA

2790 Kata
H-2 PERNIKAHAN Flashback on “Terima kasih atas jamuannya malam ini,” ucap Ganindra sopan yang terlebih dulu pamit kepada kedua orangtua Amelia, tetapi hanya Amelia yang mengantarkannya hingga ke pintu rumah. “Iya sama-sama, tapi aku heran aja. Terhitung dua kali kita makan bersama, kamu selalu makan salad sayuran dan air putih. Tetapi kali ini kamu bisa memakan hidangan yang disajikan Ibuku tadi, yah walaupun aku lihat kamu memang lebih banyak memakan lalapan,” jelas Amelia, Ganindra hanya menatap intens Amelia membuat Amelia salah tingkah. “Kenapa?” tanya Amelia risih. “Hmm…aku khawatir denganmu nanti, jangan sampai kamu jatuh cinta selama pernikahan kita. Salah satu buktinya perhatianmu ini. Kamu tahu betul makanan apa yang aku sukai,” Ganindra tersenyum mengejek. Astaga, percaya diri pria benar-benar tidak ada yang mengalahkan, batin Amelia dan mendengus kesal. “Kenapa?” tanya balik Ganindra polos. “Iya okey…anggaplah ini perhatian, tetapi bisakah kamu tidak menghubungkan dengan perasaanku, jatuh cinta misalnya. Hey kamu tahu kita ini hanya dua orang asing yang bertemu tidak lebih dari seminggu. Jadi SANGAT TIDAK MUNGKIN, perasaan itu tumbuh begitu cepat” bantah Amelia dan seolah memberikan tanda kutip diakhir kalimatnya. “Hahaha…maaf…maaf aku bercanda. Astaga kamu ternyata emosian juga yah,” ujar Ganindra tanpa rasa bersalah. Asli ini orang berkepribadian ganda, batin Amelia. “Oh iya mengenai baju pernikahan, tolong kamu kirim gambar baju yang akan kamu kenakan nanti. Biar aku mencocokkannya. Tentu saja aku tidak akan menggunakan baju milik Baskara bukan. Aku pastikan ukuran kami yang jauh berbeda,” Bagi Ganindra pakaian itu telah “berlabel” Baskara, dan dia tidak mau mengenakannya di hari pernikahannya nanti. Dimana harga dirinya harus mengenakan pakaian milik mantan calon istrinya. Selain itu, bahan yang digunakan mungkin saja dari bukan dari bahan yang berkualitas. “Terus satu lagi, aku akan mengganti segala biaya pernikahan yang kalian keluarkan. Ini diluar perjanjian tenang saja,” jelas Ganindra. “Tidak usah, biarkan saja begitu,” tolak Amelia. “Hey, tidak. Aku menolaknya. Aku akan menggantinya. Kamu bisa menggunakan uang dariku untuk membantu kehidupan ibu Baskara dan adik-adiknya sementara. Terlebih lagi Baskara yang mungkin membayar itu semua bukan?” tebak Ganindra. Benar sekali. Kali ini pria yang licik dan pandai bersandiwara itu kadang bisa mengeluarkan ide cemerlang yang tidak terpikirkan oleh Amelia. “Baiklah, aku terima. Aku akan mengunjungi ibu Baskara besok kalau begitu. Nanti dari sana, aku akan menemuimu di perusahaan,” “Tidak, aku akan menjemputmu besok pagi,” “Iya, terserah. Mungkin selama kita bersama nanti kata ini yang akan sering kuucapkan. Tuan Ganindra yang pemaksa,” “Iya sama-sama Nona Amelia yang keras kepala,” Flashback off Saat harapan telah pupus, pantaskah membuat harapan baru, jawabannya tentu saja iya. Rasa duka dan bahagia bagaikan dua lembar kertas yang saling menyatu dalam sebuah pertengahan buku. Kamu membaliknya ke kiri, kedukaan yang akan muncul. Kamu membaliknya ke kanan, kebahagiaan yang akan tercipta. Siapakah yang berhak membolak-balikkan buku itu, tentu saja Sang Pencipta. Sedangkan dimana tempat manusia? Dia berbentuk goresan pena yang menghasilkan sebuah huruf. Huruf-huruf bersatu menghasilkan sebuah kata, kata demi kata membentuk sebuah kalimat. Saat semuanya terbentuk menjadi kalimat, kalimat itu bisa saja bermakna indah atau bisa saja menyesakkan. Setelah makan malam kemarin, tidak ada lagi rentetan pertanyaan dari kedua orangtua Amelia. Semua penjelasan Ganindra membuat mereka percaya bahwa inilah jalan hidup Amelia. Mengapa ada orangtua yang harus mempertanyakan keputusan anaknya jika keputusan tersebut berada di jalan yang benar. Pernikahan adalah hal yang sakral, tidak akan mungkin seorang Ganindra bisa mengambil langkah yang gegabah saat memutuskan untuk mempersunting putrinya begitupun dengan Amelia yang pasti memikirkan dengan matang rencana ini. Pagi hari nan cerah, Amelia akan berangkat menuju kediaman Baskara ditemani oleh Ganindra. Amelia menolak tetapi Ganindra bersikeras dan beralasan demi menghemat waktu. Yah, setelah menemui ibu Baskara, keduanya akan melaksanakan konferensi pers di sebuah aula hotel dengan mengundang media massa. Babak baru kehidupan Amelia mungkin akan dimulai setelahnya. Ganindra telah tiba sebelum Amelia membuka pintu dan berpamitan kepada kedua orangtuanya. Ganindra ikut turun dan menyalami keduanya setelah itu masuk ke mobil bersama Amelia. Tepukan bahu dari Ayah Amelia memberikan semangat buat Ganindra, pria itu tersenyum sumringah dan mengangguk mantap seolah memastikan bahwa Ayah Amelia membuat keputusan yang tepat. Saat berada di dalam mobil, keduanya tidak berbicara satu sama lain, bukan kecanggungan tetapi lebih tepatnya kenyataan bahwa mereka berdua adalah dua orang asing yang terjebak dalam perjanjian nasib yang mereka buat sendiri. Adimas yang duduk mendampingi sopir sesekali melirik ke belakang memastikan keadaan keduanya. “Adimas, bisakah kamu menghela napas tetapi tidak kedengaran?” tanya Ganindra yang mulai terusik. “Oh maafkan saya Tuan,” Adimas sekilas menunduk dan memperbaiki posisi duduknya. Amelia ikut tersenyum singkat dan tertangkap ujung mata Ganindra, anehnya bibir Ganindra otomatis mengikuti senyuman Amelia itu. Amelia melirik, Ganindra sontak salah tingkah dan berpura-pura sibuk melihat laporan perkembangan perusahaan di sebuah tablet pintar miliknya. Tingkah Ganindra itu membuat Amelia menggeleng tak percaya bahwa pria ini tidak pernah ada waktu untuk bersantai bahkan di dalam mobil sekalipun. Di dalam benaknya, pernikahannya nanti akan menjadi pernikahan yang monoton dan hambar. Tiba di kediaman Baskara, rumah tampak lengang. Tidak ada aktivitas apapun di pagi itu. “Assalamu alaikum,” Amelia setengah berteriak saat hanya bisa berdiri di depan pagar. Ganindra hanya berdiri tanpa ada niatan membantu Amelia. “Assalamu alaikum,” Amelia mencoba sekali lagi sesekali melihat-lihat di sekeliling rumah. Akhirnya pintu terbuka. Ibu Baskara tersenyum dan berlari menuju pagar. “Wa alaikum salam nak Amelia, maaf ibu lagi nyuci di dalem. Anak-anak pada ke sekolah semua,” Ibu Baskara dengan tergesa-gesa membuka kunci pagar. “Oh iya gak papa kok Bu,” ucap Amelia tersenyum. “Kok bisa datengnya bersamaan?” tanya ibu Baskara heran melihat keberadaan Ganindra di samping Amelia. “Oh kami kebetulan ketemu di pagar, gak tahu dia ada kepentingan apa kesininya,” bohong Amelia dan Ganindra menautkan kedua alisnya tak percaya atas ucapan Amelia. Emang enak, batin Amelia. Ketiganya berjalan menuju ruang tamu sedangkan Adimas dan sopir Ganindra hanya menunggu di mobil. “Ibu bikinin teh ya,” pamit Ibu Baskara “Eh gak usah Bu, saya hanya sebentar aja. Kebetulan ada urusan setelah ini,” tolak Amelia. “Saya boleh deh bu,” pinta Ganindra tanpa rasa bersalah walaupun mendapat tatapan tajam dari Amelia. “Oh iy-iya. Ibu tinggal sebentar yah,” ibu beranjak ke dalam menyisakan keduanya. “Jauh banget kamu minum teh, belum sempat sarapan?” cibir Amelia. “Iya,” “Dasar menyusahkan!” sindir Amelia. “Kamu benar-benar terlalu sensitive terhadap keadaan dan lingkungan, bahkan hanya sekedar minum teh kamu sudah bisa menebak isi hati tuan rumah,” sindir balik Ganidra. Amelia hanya mampu menggeram dalam hati, semua perkataan tajamnya bisa dimentahkan oleh pria yang menyusahkan ini, yah bertambah lagi satu julukan Amelia untuk Ganindra. Pria dingin, licik, mampu bersandiwara dan menyusahkan, ah betapa paket komplit pria ini. Benar-benar tidak ada yang bisa menyaingi kepribadiannya. Tiga cangkir teh telah tersaji, ada sedikit asap yang mengepul dari teh yang panas itu. “Jadi kenapa nak Amel?” tanya Ibu Baskara yang penasaran dengan kedatangan Amelia di pagi hari, apalagi kedatangannya berada di jam kerja. “Oh gini bu, saya datang kesini untuk membicarakan mengenai hari pernikahan saya dengan Mas Bas…” ada jeda di dalam ucapan Amelia. Dia dan ibu Baskara telihat menghela napas, rasa kecewa yang sama besar. Kedua perempuan itu berada di posisi yang sama, kehilangan pria yang sangat dicintai oleh mereka. “Terus atas bantuan Tuan Ganindra ini, dia akan mengurus pengembalian biaya pernikahan kami. Jadi uang itu bisa ibu gunakan untuk membantu biaya kehidupan ibu sehari-hari,” lanjut Amelia lagi. “Selain itu…perusahaan saya juga mempunyai yayasan sosial untuk membantu pendidikan anak-anak kurang mampu. Keempat anak ibu akan perusahaan danai hingga menyelesaikan pendidikannya, setinggi yang mereka mampu capai. Semuanya akan kami tanggung,” tambah Ganindra. “Alhamdulillah…” seru Ibu Baskara. Amelia menatap heran atas ucapan pria itu, dia benar-benar mampu membuat skenario dengan cepat, tidak ada rencana hanya spontanitas belaka. Ganindra menangkap raut wajah takjub Amelia, terbitlah senyum angkuh di wajahnya. Okey, kali ini aku aku kamu hebat, batin Amelia. Setelah menghabiskan tehnya, keduanya meninggalkan kediaman Baskara, menuju tempat berikutnya. “Apa perlu kita membuat konferensi pers mengenai pernikahan kita. Apalagi untuk pernikahan kontrak seperti kita, apakah sebaiknya hanya kalangan keluarga saja yang harus tahu itu,” gagas Amelia. Amelia mulai ragu untuk mengumumkan pernikahannya. Bagaimana nanti mereka akan kembali menghadapi pertanyaan khalayak ramai jika mereka berpisah, setahun bukanlah waktu yang lama. Belum reda dengan kabar pernikahan ini, mungkin masyarakat akan dijekutkan dengan berita mengenai perpisahan mereka. Entahlah, kekkhawatiran ini muncul seketika di benak Amelia. “Berita ini penting bagi Adiwiguna Corporation. Setidaknya seorang pewaris Adiwiguna yang berusia 34 tahun akhirnya bisa melepaskan masa lajangnya dibalik banyak isu aneh yang beredar,” saran Ganindra. “Tunggu apa kamu bilang? 34 tahun? Usia kamu 34 tahun?” Amelia berbalik dan menatap Ganindra, begitu terkejut dengan perkataan Ganindra barusan. “Iya…” “Artinya kita terpaut usia 10 tahun, wah kamu lebih cocok jadi om aku,” ucap Amelia takjub sekaligus kaget. “Hey aku tidak setua itu Amelia,” debat Ganindra. “Iya kamu tua Om,” “Oh astaga hentikan, aku sudah bilang aku belum tua” ucap GAnindra tidak terima. “Maaf om Ganindra, gak lagi,” goda Amelia lagi. Ganindra hanya mampu memijit pelipisnya untuk meredakan emosinya. “Terserah kamu,” ucapnya pasrah. Amelia menyembunyikan tawanya dan menghadap jendela. “Kita sudah tiba,” ucap Ganindra membuyarkan lamunan Amelia. Amelia mendadak cemas, berkali-kali menghembuskan napas dan mengepalkan tangannya. “Adimas, laksanakan tugasmu dengan baik,” peringati Ganindra. “Iya Tuan, kami sudah siapkan penjagaan ketat,” Ganindra turun terlebih dahulu, berdiri di depan pintu mobil menunggu Amelia untuk turun. Ganindra mengulurkan tangan membantu Amelia, diterima dengan senyum canggung Amelia. Wartawan tanpa aba-aba berlomba membidikkan kamera ke arah pasangan ini. “Tenang saja, serahkan semua ini padaku,” bisik Ganindra, sekali lagi tidak ada bantahan Amelia hanya mengangguk dan tersenyum kaku. Ganindra memberikan lengannya untuk dirangkul oleh Amelia. Keduanya berjalan melewati penjagaan ketat menuju aula hotel yang telah disiapkan untuk melaksanakan konferensi pers. Amelia dan Ganindra mengambil tempat di sebuah meja di atas podium, posisi yang pas untuk melihat segala sisi ruangan. “Selamat pagi menjelang siang,” suara berat Ganindra menyapa semuanya. “Selamat siaaaaaanggg….” Sorak wartawan yang hadir. “Entah harus memulai ini darimana, karena saya begitu terlalu percaya diri bahwa kalian akan membutuhkan berita ini dari saya, saya bukanlah artis terkenal atau pejabat pemerintah,” semuanya terkekeh atas lelucon Ganindra. Ganindra menunggu hingga tawa itu mereda kemudian melanjutkan perkataannya. “Tetapi seorang keluarga Adiwiguna memang tidak akan terlepas dari sorotan bukan. Apalagi yang saya takutkan kalian semua mencari berita dari informan yang tidak kompeten, sehingga beritanya menjadi tidak kredibel. Maka, saya putuskan lebih baik kalian mendapat informasi ini melalui saya,” lanjut Ganindra. Amelia hanya terdiam mendengarkan setiap perkataan Ganindra. “Hari ini, saya akan mengumumkan pernikahan saya besok dengan wanita di samping saya yang bernama Amelia Anindita,” Begitu ucapan Ganindra berakhir, sorot kamera dan blitz memotret tanpa henti kepada Amelia. Amelia mendadak panik dan tegang, Ganindra menepuk perlahan punggung tangan Amelia di balik meja mencoba menenangkan Amelia. Anggukan dari Ganindra seolah isyarat bahwa dia harus bersikap tenang dan semuanya baik-baik saja. “Baiklah saya tahu kalian membutuhkan informasi lebih dari yang saya sampaikan. Saya beri 3 kesempatan untuk bertanya,” “Mas Ganindra, apakah ini pernikahan mendadak terlebih lagi sebelumnya anda tidak pernah menjalin hubungan,” “Hmm. Tentu saja tidak. Darimana kalian bisa menyimpulkan itu. Kalian tahu pasti, saya tidak pernah terdengar kabar menjalin hubungan tentu saja karena saya begitu pintar menyembunyikannya,” “Hahaha….” Semuanya tertawa dan mengangguk setuju bahwa memang Ganindra terlalu pintar menyembunyikan hubungan diantara mereka. “Baiklah pertanyaan kedua?” tanya Ganindra lagi. “Kenapa anda bisa memilih seorang gadis biasa sedangkan kita tahu bahwa hal lumrah di kalangan pengusaha untuk menikah dengan kolega bisinis, ada kabarnya Rachel Hartawan dekat dengan anda,” “Darimana kalian tahu dia gadis biasa?” tanya balik Ganindra, Amelia menatap heran ke arah Ganindra. “Dia adalah gadis luar biasa yang saya temui di hidup saya,” Amelia entah harus bersikap bagaimana dengan pujian Ganindra ini. “Mengenai pernikahan bisnis, maaf Adiwiguna tidak membutuhkan itu. Kami akan tetap kokoh tanpa perlu saya mengorbankan menikah dengan salah satu kolega bisnis saya,” yakinkan Ganindra lagi. “Baiklah pertanyaan ketiga?” Ganindra mengajukan pertanyaan terakhir. “Saya mas, bagaimana awal anda mengenal Nona Amelia? Sejak kapan kalian saling berhubungan?” “Hmm…kalian terlalu penggosip rupanya,” canda Ganindra. “Hahahahah…” semua orang di ruangan ikut tertawa. “Hmm, saya ketemu dengannya di tempat dia bekerja. Mungkin kalian belum tahu, dia adalah salah satu pegawai bank tempat saya sebagai nasabahnya. Yah, layaknya cerita pada umumnya, saya jatuh cinta pada pandangan pertama. Dia begitu tegas, percaya diri dan tidak gentar walaupun bertemu dengan saya. Saya menyukai itu,” Ganindra melirik sekilas ke Amelia. “Mengenai sejak kapan kami menjalin hubungan…” Ganindra menjeda perkataannya. “Saya lupa karena terlalu terhanyut dengan pesonanya. Tetapi bisakah saya menghitung mulai besok, saat saya bisa mengikrarkan perasaan kami dalam satu ikatan suci pernikahan,” Ganindra tersenyum ke Amelia dan dia mendadak salah tingkah. “Hahahah…tentu saja Mas,” “Baiklah, cukup untuk hari ini. Terima kasih atas waktu luang anda semua. Sebagai perayaan pernikahan kami besok. Kami menyediakan makan siang untuk anda semua di hotel ini yang rela meluangkan waktunya untuk menghadiri konferensi pers kami. Setidaknya bahwa satu hal yang harus teman-teman wartawan harus tahu, besok pernikahan kami hanya dihadiri oleh keluarga dan kerabat terdekat dan tidak dilaksanakan meriah. Jadi mohon maaf sebesar-besarnya kami tidak akan menerima liputan dari wartawan besok, tetapi kami akan memberikan foto-foto ekslusif pernikahan kami jika kalian meminta,” “Terima kasih mas Ganindra dan Mba Amelia. Semoga pernikahannya berjalan lancar besok” ucap beberapa wartawan serempak. “Mas! Mas! Tolong pose dong cium kening,” teriakan ini lumayan terdengar di telinga Ganindra dan Amelia yang hendak bangkit dari tempat duduknya. Keduanya hanya saling menatap. Ganindra menggeleng mengisyaratkan bahwa itu tidak perlu Amelia lakukan. “Mas, tolong dong mas. Satu foto aja,” permintaan ini mulai mengusik suasana dan semakin banyak wartawan meminta hal yang sama. Amelia mengangguk sedangkan Ganindra terbelalak tak percaya. “Udah lakuin aja,” bisik Amelia. Mereka berdiri saling berhadapan. Ganindra dengan canggung memegang kedua bahu Amelia. Ciuman itu mendarat juga di kening Amelia. Amelia menutup mata, hatinya bergejolak. Ganindrapun merasa yang sama, ada gelenyar aneh di dalam dadanya, Jantungnya berdegup cepat selaras dengan keringat dingin yang mengucur di pelipisnya. Kinerja jantungnya benar-benar bekerja ekstra keras menghadapi perasaan yang aneh ini. “Tahan mas!” pinta wartawan lagi. “Oke terima kasih mas,” Keduanya menghela napas panjang. Entah berapa lama bibir Ganindra menyentuh kening Amelia itu hingga tubuh mereka harus berdiri kaku. Pernyataan penutup Ganindra tadi tidak menyurutkan wartawan untuk bertanya, mereka masih mendekat ke arah Ganindra dan Amelia hingga pengawal otomatis membuat blokade. “Terima kasih,” ucap Ganindra saat keduanya di dalam. “Untuk apa?” Amelia berbalik dan menatap heran. “Untuk hari ini. Terima kasih telah bersedia bersandiwara tadi,” Sandiwara, mengapa kata itu malah terdengar menyesakkan bagi Amelia. “Iya pasti, setidaknya pemeran utama pria membutuhkan pemeran utama wanita agar sandiwaranya menjadi sempurna,” Amelia kembali menampilkan senyumnya yang ditangkap Ganindra sebagai senyuman yang mengecewakannya karena respon Amelia yang biasa. Kamu bahkan menganggap kejadian tadi hal yang biasa saja, batin Ganindra. Keduanya memutuskan untuk mengunjungi perusahaan Ganindra dikarenakan Ganindra harus menemui seorang klien yang penting hari ini. Amelia awalnya menolak tetapi Ganindra memaksa bahwa mereka harus makan siang bersama, tentu saja julukan Tuan Pemaksa sudah disematkan oleh Amelia dan dia tahu bahwa perkataan siapa yang harus dituruti. Amelia hanya duduk di sebuah sofa menunggu dengan sabar Ganindra yang menemui klien di ruang meeting di sebelah ruangan Ganindra. Membaca sebuah majalah bisnis di meja yang hanya berisikan sosok Ganindra, bisa ditebak dengan jelas bahwa Ganindra adalah orang yang sangat memuja dirinya sendiri. “Hey, maaf aku kelamaan yah,” Ganindra tergesa-gesa menghampiri Amelia yang menopang kepalanya di tangan dan bersandar. “Gak kok,” “Ya udah, kita keluar makan siang aja kalau begitu,” ajak Ganindra. Brak Seorang wanita seusia Amelia menerobos masuk ke dalam ruangan Ganindra. Amelia tentu saja terkejut sedangkan Ganindra menatap dengan amarah. “Mas! Apa maksud berita ini? Apa aku sudah gak dianggap? Mas tidak boleh menikah. Pokoknya aku menolak pernikahan ini, TITIK!!!” cecar wanita itu bahkan Adimas yang menyusul di belakangnya hanya mampu menutup mulutnya dengan kedua tangan. Sudah kuduga dia punya perempuan lain, batin Amelia.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN