Di sebuah restoran mewah, seorang pria dengan cemas menunggu seseorang. Berkali-kali dia meneguk air putih di depannya. Sesekali matanya melihat ke arah pintu masuk restoran melihat seseorang yang sedari tadi ditunggunya.
“Hai Yang,” sapa perempuan itu berjalan mendekat ke pria yang gugup dan cemas sedari tadi.
“Sayang disini!” pria itu menyambut dengan sumringah gadis didepannya dan mengarahkan ke tempat duduk yang tadi dipersiapkannya.
Ternyata perempuan itu adalah Amelia Anindita, perempuan 24 tahun, seorang perempuan dengan postur yang tinggi dan tampilan wajah yang menarik. Dia bekerja sebagai customer service di sebuah perusahaan perbankan nasional.
“Kamu telat babe,” ucap Baskara tersenyum setelah menarik kursi dan membiarkan duduk Amelia kemudian kembali duduk di hadapannya gadis pujaannya.
“Iya, sory sayang biasa akhir bulan. Closing akhir bulan dan kami harus memastikan tidak masalah sebelum meninggalkan kantor,” Amelia mengambil air putih di depannya dan meneguknya perlahan untuk menghilangkan dahaganya sejenak akibat berjalan cepat menuju restoran.
Setelah itu memesan makanan tidak ada pembicaraan diantara keduanya. Hanya sibuk menghabiskan makanan.
“Babe…,” ternyata tanpa diduga Amelia, Baskara pacarnya berdiri kemudian mendekat di sisinya, lalu duduk bersimpuh dan membuka sebuah kotak berisi cincin bertahta permata di dalamnya.
“Would u marry me?” tanya Baskara dengan tatapan memohon.
“What…!?” Raut wajah Amelia berubah kaget dan menatap tak percaya ke arah pacarnya Baskara.
“Please, I need your answer babe,” tatapan memohon Baskara.
“Yes I do.” Amelia mengangguk yakin dengan mata berkaca-kaca. Baskara yang telah mendapat persetujuan kemudian bangkit dan memasangkan cincin di jari manis Amelia dan mencium pelipisnya singkat.
Tanpa diduga sekeliling mereka turut bertepuk tangan dan ikut berbahagia menyaksikan keduanya.
Mereka kemudian berpelukan erat dengan raut wajah bahagia keduanya. Senyum di wajah mereka seolah tak pernah lepas di sudut bibir mereka.
“Babe, udah kan. Aku udah wujudin mimpi kamu,” ucap Baskara saat keduanya sudah duduk di dalam mobil dan bersiap kembali ke rumah.
“Iya sayang, thanks.”
“Kamu tahu, tadi lututku sakit loh kamu sih lama banget ngomong iya. Akting kamu bagus, matamu sampai bisa berkaca-kaca gitu,” sindir Baskara.
“Hei itu tadi beneran aku terharu. Padahal aku yang rencanain ini semua,” Amelia merajuk dan memajukan bibirnya tidak terima.
Yah inilah keinginan Amelia kepada Baskara, semuanya proses lamaran adalah keinginannya. Amelia yang menyenangi menonton film romantis berharap saat dia dilamar oleh seorang pria dia bisa merasakan seperti pemeran perempuan di film itu. Makan malam romantis dan pria itu duduk bersimpuh melamarnya, semuanya terwujud di malam ini.
Tentu saja keinginan Amelia ini adalah juga keinginan Baskara, dia bisa melakukan apa saja untuk membuat Amelia bahagia bahkan walalupun itu terkesan norak bagi sebagian orang tidak masalah baginya
Keduanya sebenarnya memiliki sifat yang konyol dan suka bercanda. Mereka terbiasa santai, easy going dan nyeleneh. Mungkin ini yang dikatakan keduanya seserver. Kekonyolan Baskara dan Amelia membuat keduanya agak aneh berada di restoran romantis, alih-alih mereka lebih memilih makan di warung makan sederhana, atau jajanan kaki lima.
“Yang, tadi kita pesen apa sih. Kok aku laper lagi?” tanya Amelia dan mengelus perutnya.
“Iya aku juga babe, porsinya dikit banget mana mahal lagi. Gimana kalau kita makan mie ayam depan kampus kita dulu,” usul Baskara.
“Mau…”
“Let’s go….”
Keduanya sudah menjalin hubungan sejak enam tahun lalu saat keduanya bertemu sebagai senior dan yunior di sebuah kampus negeri di Jakarta. Amelia mengambil jurusan manajemen bisnis sedangkan Baskara mengambil jurusan teknik pertambangan.
Baru dua tahun yang lalu Baskara mendapatkan pekerjaan yang sangat layak di sebuah perusahaan asing bergerak pada industri pertambangan di Kalimantan. Oleh karena gajinya yang tinggi dan fasilitas yang didapatkan jauh dari kata layak tapi memuaskan, membuat tabungannya menjadi lebih cepat terisi sehingga bisa sesegera mungkin melamar gadis pujaannya Amelia.
Hubungan LDR keduanya selama dua tahun, santai dan tidak ada halangan. Apalagi keduanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Bahkan Amelia sudah menyiapkan diri untuk keluar dari kantornya dan menyusul menemani Baskara, suaminya kelak dan menetap di Kalimantan.
Keduanya asyik bercengkerama dan menghabiskan mie ayamnya, sesekali saling melempar candaan. Tidak ada lagi rasa jaim dibandingkan saat keduanya di restoran tadi.
“Assalamu alaikum!” ucap Amelia yang sudah berdiri depan pintu rumahnya dengan Baskara menggenggam tangannya.
“Wa alaikum salam!” ibu Amelia membuka pintu rumah sambil tersenyum menyambut keduanya. Keduanya bergantian mencium tangan ibu Amelia dan duduk di sebuah sofa di ruang tamu.
“Jadi gimana tadi?” tanya ibu Amelia.
“Aku dilamar bu.”
“Ehm ya tahu. Nak Baskara juga udah ngomong, kamu juga udah kasih tahu sejak beberapa hari ini, sampai capek ibu dengernya.”
“Ih ibu, pura-pura kaget bisa kan. Biar dramanya lebih real gitu,” rajuk Amelia.
“Ibu gak bisa main sinetron!” ejek Ibu Amelia.
“Ibu bikin minum yah nak Bas.”
“Gak usah bu, terima kasih,” tolak Baskara sopan.
“Ayah mana bu?” tanya Amelia, waktu menunjukkan jam setengah sepuluh malam agak terlalu cepat bagi ayahnya untuk tidur.
“Udah tidur.”
“Oh…padahal Mas Bas, pengen pamit.”
“Loh pamit? Udah mau balik lagi ke Kalimantan dia?”
“Iya bu. Saya hanya bisa cuti dua hari aja bu,” kali ini Baskara yang menjawab.
“Oalah…ya udah kalau gitu, semoga selamat berangkat dan kembali yah nak.”
“Iya bu Insya Allah.”
Satu yang mengganjal dari hubungan keduanya adalah restu ayah Amelia. Walaupun tidak menunjukkan rasa kurang setuju secara terang-terangan tapi dia juga tidak bisa menunjukkan rasa bahagia mendengar lamaran anaknya. Namun sosoknya bisa dimasukkan dalam kategori orangtua modern, bahwa kebahagiaan anaknya adalah kebahagiaan orangtuanya. Dukungan penuh untuk putrinya untuk menikah dengan pemuda pilihannya membuatnya mau tidak mau menyetujui rencana pernikahan ini.
Alasan yang dibuat ayahnya hanyalah alasan mengada-ada. Baskara adalah anak tertua dari lima bersaudara. Adiknya masih kecil dan ayahnya sudah meninggal saat dia menyelesaikan kuliahnya sehingga semua tanggung jawab untuk menghidupi adik dan ibunya berada di tangan Baskara. Apalagi dia adalah anak laki-laki tertua di keluarganya, adik kedua hingga ke empat adalah perempuan, adik bungsunya barulah laki-laki. Kemungkinan untuk menanggung dan bertanggung jawab kepada saudara perempuannya masih terlalu lama, karena dia sekarang masih di kelas enam SD.
Ayah Amelia merasa bahwa akan sangat berat bagi keduanya saat memutuskan menikah, pernikahan dan menafkahi kepada keluarga adalah sebuah tanggung jawab dan keharusan yang saling terkait. Orangtua Amelia masih dalam golongan keluarga menengah. Ayahnya adalah seorang pegawai negeri dengan jabatan lurah, sedangkan ibunya hanyalah ibu rumah tangga biasa.
“Babe, aku pamit yah.”
“Iya sayang. Nanti aku kunjungin ibu dan adik-adik kamu saat weekend yah,” janji Amelia tanpa melepaskan genggaman tangannya pada Baskara.
“Iya Ibu pasti senang dengernya. Kabarin dia sebelum ke rumah, biar ibu bisa masakin masakan kesukaan kamu.”
“Iya sayang. Maaf aku gak bisa anterin kamu ke bandara besok.”
“Gak usah. Kamu kerja kan,” Baskara yang pengertian seperti ini membuat Amelia merasa tenang dan nyaman bersama kekasihnya.
“Iya.”
“Oke sampai jumpa saat akad nikah sayang,” Baskara mengacak-acak rambut Amelia.
“Iya kamu hati-hati yah.”
“Iya.”
Baskara mencium kening Amelia dalam dan penuh perasaan seolah keduanya enggan berpisah. Harapannya saat mereka kembali, dia akan mencium kembali kening Amelia setelah mengucapkan kata janji setia sehidup semati, Ijab Kabul di hadapan orang tua Amelia dan penghulu secepatnya.