PAHLAWAN KEBETULAN

1898 Kata
H-4 PERNIKAHAN Kemarin hari yang sungguh melelahkan bagi batin dan raga Amelia, semua terungkap dan kenyataan itu luruh dalam kurun waktu bersamaan. Perih lebih tepatnya disematkan atas perasaannya ini. Bertanya dalam hati siapa yang seharusnya menguatkan dan siapa yang harus diberi kekuatan, dirinya kah? Atau keluarga Baskara kah? Jawabannya mungkin adalah keluarga Baskara, Baskara adalah pilar utama keluarga, bagaimana kehidupan keluarga mereka kelak kehilangan sosok tulang punggung keluarga, maka dari itu Amelialah yang wajib menjadi penguat bagi mereka. Setelah memastikan Ibu Baskara tenang, barulah Amelia meninggalkan kediaman Baskara kemarin. Wajah murung dan tertunduk lesu tampak jelas di wajah adik-adik Baskara. Tidak ada kata ataupun pertanyaan bagaimana kehidupan kami, tapi sorot mata itu tampak jelas mereka kehilangan arah dan tempat untuk bersandar. Amelia sejak saat itu mulai memikirkan untuk menggantikan posisi Baskara hingga kebenaran soal kecelakaan pesawat itu jelas dan tidak simpang siur. Apakah sebaiknya dia mulai mempercepat masa cutinya, toh pernikahannya tidak terjadi, tunggu, bukan tidak terjadi tetapi tertunda untuk sementara waktu hingga mempelai pria datang ke hadapannya untuk mempersunting dirinya. Semua orang mungkin akan berkata bahwa Amelia tidak waras, tapi semua tahu cinta itu memang gila dan hanya orang yang jatuh cinta yang bisa memaklumi istilah tersebut, omong kosong atas penilaian orang di luar sana. Amelia sudah menghubungi Kepala Unit tempatnya bekerja agar menarik surat cutinya agar dirinya bisa kembali bekerja seperti biasa esok hari. Helaan napas panjang atasan Amelia mendengar kabar itu. Ada rasa empati atas kejadian Baskara tetapi permintaan Amelia dianggapnya juga sebagai kabar yang baik. Dia memang membutuhkan Amelia di kantor, atau mungkin saja ini sebagai salah satu cara agar Amelia melupakan kejadiaan naas yang menimpanya. Bukankah lebih baik mengalihkan kesedihan berkutat dengan pekerjaan dibandingkan larut dalam kesedihan dengan mengurung diri di dalam kamar dan itu mungkin saja akan terjadi pada Amelia. Hari ini Amelia turun dari mobilnya setelah memarkirkan mobilnya di rumah Baskara. Wajahnya tampak kaget dengan kening berkerut. Sebuah mobil sedan hitam lebih dahulu terparkir. Tidak ingin menebak tapi dia mungkin tahu siapa pemilik mobil tersebut. Tepat dugaannya, seorang pria yang tidak tahu apa artinya senyuman, angkuh terkesan arogan, merasa tidak bersalah tetapi ingin bertanggung jawab terhadap kesalahan yang bukan atas keinginannya. Membingungkan bukan, Ameliapun merasakan itu. Langkah Amelia terhenti dan hanya mengamati sebuah pemandangan unik di depan matanya. Pria itu tersenyum dengan senyum merekah mengelus punggung tangan ibu Baskara. Sementara keempat adik Baskara duduk mengelilingi pria itu seolah takjub akan kehadiran pria tersebut. “Amelia,” seru Ibu Baskara melihat Amelia berdiri dari kejauhan. Senyum Amelia mengembang dan berjalan mendekat. “Assalamu alaikum bu, sepertinya ibu ada tamu,” lirik Amelia ke arah Ganindra yang duduk di sebuah kursi kayu di samping ibu Baskara. “Oh, ini nak Ganindra. Dia katanya atasan sekaligus sahabat Baskara. Dia datang memberikan dukungan moril kepada ibu,” jelas ibu Baskara. Atasan Sahabat Cih, kata kedua itu terkesan nyinyir di telinga Amelia. Sejak kapan Ganindra dan Baskara bersahabat. Satu lagi fakta dari pria itu, dia pandai berbohong dan bersandiwara. Pintar dan licik sekali bukan. “Siapa ini bu?” tanya Ganindra basa-basi. Mata Amelia sontak membelalak tak percaya. Siapa dirinya, oh astaga ingin Amelia lemparkan kantongan sembako di tangannya dan melemparkan ke wajah pria licik itu. “Oh dia nak Amelia, tunangan Baskara,” sekali lagi penjelasan dari Ibu Baskara terkesan percuma dan sia-sia di telinga Amelia. Pria itu bohong bu, dia tahu Amelia dan hubungannya dengan Baskara. Ingin Amelia berteriak seperti itu, tapi diurungkannya. Ganindra bangkit dan berkata “Hai salam kenal, saya Ganindra Perkasa Adiwiguna, atasan sekaligus sahabat Baskara Adiwisastra,” Ganindra menyodorkan tangan ingin berjabat, namun beberapa detik hingga ke menit tangan itu menggantung tanpa balasan dari seseorang yang diharapkannya akan membalas jabatan tangan tersebut. “Maaf tangan saya…membawa barang ini,” tolak Amelia dengan halus, memberi isyarat ke arah kedua tangannya yang membawa kantong belanja. “Oh tidak masalah,” Ganindra menarik kembali tangannya dan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. “Dek, tolong bawa masuk ini,” suruh Amelia ke adik Baskara, siapa saja yang sigap ingin membantunya. Ternyata semuanya kompak berdiri dan membantu mengambil kantongan di tangan Amelia. Amelia duduk di sebelah sisi berlawanan ibu Baskara. “Ibu…ibu masih perlu istirahat. Apakah sebaiknya ibu beristirahat lebih lama dibandingkan harus melayani tamu?” ucap Amelia lebih tepatnya menyindir orang yang dianggap mengganggu olehnya. “Oh, iya Bu. Maaf saya mengganggu. Saya memang harus kembali ke kantor sekarang. Jangan sungkan untuk meminta tolong kepada saya apabila ibu membutuhkan bantuan, apapun itu. Saya siap,” tegas Ganindra, senyum sinis terbit di wajah Amelia. Istilah pahlawan kesiangan tidak tepat bagi Ganindra tetapi Pahlawan Kebetulan, kebetulan dia masuk dalam kehidupan Baskara dan menebus rasa bersalah karena mengambil kesempatan hidup Baskara. Ganindra menunduk dan mencium tangan ibu Baskara untuk berpamitan. Amelia hanya melihat tingkah pria di depannya ini, sungguh dia benar-benar pandai berakting. “Tunggu,” cegat Amelia saat Ganidra akan masuk ke dalam mobilnya. Ibu Baskara masuk ke dalam rumah untuk beristirahat atas usulan Amelia. Amelia meyakinkan akan mengantar tamu itu hingga ke pagar, agar Ibu Baskara merasa tenang dan tidak sungkan. “Iya,” Ganindra berbalik dan menatap heran. “Terima kasih atas kedatangan anda. Tapi sebaiknya anda tidak usah terlalu dekat dengan keluarga Mas Baskara. Apakah ibu bisa menerima bahwa andalah yang menukar kehidupan anda dengan anaknya?” sekali lagi Amelia mengingatkan posisi Ganindra. “Anda terlalu picik Nona Amelia,” senyum sinis Ganindra. Amelia menghela napas sejenak sekedar mengurungkan amarahnya yang memuncah “Maaf Tuan Ganindra yang terhormat, anda menuduh saya picik. Astaga jadi bagaimana dengan anda. Apakah anda seorang bintang sinetron yang pandai berakting dan sekarang berperan amnesia dengan tidak mengenal saya?” cecar Amelia dengan sorot mata tajam tak gentar dengan lawan bicaranya. Pengalaman sebagai customer service menjadikannya mampu berinteraksi dengan siapapun dan menghadapi karakter setiap customer yang berbeda-beda, tentu saja karakter seperti Ganindra baru kali ini ditemuinya. “Oh jadi harga diri anda merasa dilecehkan saat saya tidak mengenali anda. Oh maaf…ternyata anda sudah menganggap kita berada di dalam hubungan emosional,” tebak Ganindra. “Posisi anda di dalam keluarga ini sebagai apa sebenarnya? Kalian bahkan tidak punya hubungan kekerabatan. Lantas…apakah saya harus mendengarkan peringatan dari anda. Anda tidak berhak menjadi pembicara atau perwakilan dari keluarga ini bukan,” lanjut Ganindra lagi. Hening Salah tingkah Perkataan Ganindra membuat Amelia tidak mampu berkutik lagi, tapi bukankan seorang perempuan dengan keegosiannya akan membuat argumen sendiri yang mungkin saja bisa membantah atau bahkan lebih menjerumuskannya. “Secara kekerabatan belum, tentu saja…tetapi sebagai hubungan personal dengan Mas Baskara dan keluarganya kami sudah sangat dekat dibandingkan anda yang MENGAKU sebagai SAHABAT bukan? Seolah-olah ingin menjadi penyelamat untuk membantu keluarga ini, lucu sekali” “Oh…jadi poinnya disini, anda meminta saya menjauhi keluarga ini dan anda yang akan bertanggung jawab terhadap keluarga ini, apakah anda sanggup? Bagaimana dengan pendidikan mereka? Bagaimana dengan kelangsungan kehidupan mereka. Saya disini lebih dari mampu untuk memberikannya” ucap Ganindra percaya diri. “Ataukah saya boleh mengusulkan anda sekali lagi tawaran?” “Apa?” tanya Amelia penasaran dengan penawaran kali ini. *** Saat mobil hitam Ganindra berlalu, Amelia kembali melangkah masuk ke kediaman Baskara. “Ngapain kamu dek? Belajar dong jangan main hape terus” tegur Amelia ke adik bungsu Baskara yang masih menginjak kelas enam SD. “Ih mba Amelia, bukan main hape doang ini. Aku mau nyari kerja sambilan buat bantu-bantu ibu, bayarin uang sekolah,” bantah anak itu polos. Seketika wajah Amelia berubah sendu sekaligus takjub, di usianya ini Galih masih berubah menjadi sosok laki-laki yang ingin mengayomi keluarganya. Saat semua anak hanya ingin bermain, dia sudah sadar bahwa di luar sana kehidupan tidak berjalan normal lagi. Dia sudah harus menyiapkan layar agar mampu mengarungi kehidupan yang tidak segan mengorbankan masa depannya. Setelah berbicara dengan Galih, Amelia kembali dikejutkan dengan pernyataan ketiga adik Baskara lainnya, mereka semua memutuskan untuk berhenti dan membantu ibunya. Mengesampingkan pendidikan karena tertampar kenyataan bahwa sejatinya mereka lebih membutuhkan uang untuk mengisi perut dibandingkan otak mereka. Denok yang sudah semester akhir, dan ingin menjadi guru Bahasa Inggris mungkin lebih memilih membantu ibunya menerima orderan jahit, Endang yang di tahun ini akan lulus di SMU juga bisa membantu menjual kue dengan orderan online dibantu dengan Ajeng yang juga lulus SMP. Kenapa kemalangan ini harus datang di saat keluarga ini butuh pijakan yang kokoh untuk memupuk masa depan yang lebih baik. Sekali lagi tidak ada yang salah, bahkan Amelia ingin melampiaskan kemarahannya tetapi dia tidak tahu harus melampiaskannya ke siapa. Menjelang malam Amelia baru kembali ke rumah. Berlama-lama di kediaman Baskara menjadi hal yang lumrah baginya. Semuanya terasa menyenangkan disana dan adik-adik Baskara layaknya adik pengganti bagi dirinya yang seorang anak tunggal. Rumah Amelia yang lumayan besar tapi tidak juga megah, berlantai dua dengan taman yang indah. Rumah sejak kecil dengan banyak kenangan tentunya. “Assalamu alaikum,” salam Amelia tapi tidak ada balasan. Langkah kakinya mengarah ke ruang tengah tetapi disana tidak ada orang satupun juga. Berpikir sejenak, oh mungkin saja kedua orangtuanya berada di taman belakang. Menikmati malam yang gelap ditaburi gemerlapan bintang ditemani secangkir teh dan gorengan, sungguh sederhana tapi nikmat. “Assal…” ucapa Amelia terhenti mendengar pembicaraan kedua orangtuanya yang sepertinya membahas dirinya. Bersembunyi dibalik tembok, bermaksud menguping karena mungkin saja pembicaraan ini rahasia dan ada rasa sungkan untuk memperdengarkan pembicaraan ini kepada Amelia. “Ibu, mukanya sejak pulang dari pengajian kenapa?” tanya Ayah Amelia yang duduk menyilangkan kakinya, sesekali menggulung sarungnya, memastikan gulungan sarung di perutnya erat dan bertahan. “Ah ibu sebel Yah, ibu-ibu pengajian, bukannya ngaji atau denger ceramah eh malah sibuk ngegibahin anak Ibu,” curhat Ibu Amelia. “Amelia?” tanya Ayah lagi. “Apa ayah punya anak lain selain Amelia, iya Amelia Ayah siapa lagi” “Emang cerita tentang apa?” tanya Ayah sembari menyeruput tehnya, melirik sekilas ke istrinya kemudian kembali menatap pemandangan langit di atas sana. “Cerita tentang Amelia yang batal nikah saat seminggu menjelang pernikahan karena ditinggal tunangan yang kecelakaan pesawat. Andaikan ibu tahu begitu nasibnya anak kita, Ibu pasti setuju dengan Ayah yang sejak dulu menolak hubungan Amelia dan Baskara, kalau tahu begini jadinya,” sesal Ibu. “Hussttt, ibu. Rezeki, jodoh dan maut itu adalah rahasia Allah SWT, tidak ada satupun manusia yang bisa menebak takdir Tuhan. Ini semua sudah garis tangan Amelia, kita hanya mampu bersabar dan bertawakkal. Insya Allah akan ada menunjukkan jalan yang terbaik bagi Amelia ke depannya,” ucap Ayah bijak. “Apakah ibu tidak berpikir bahwa ini rencana Allah SWT menunjukkan bahwa Amelia dan Baskara hanya berjodoh hingga tunangan saja, bagaiamana hancurnya Amelia saat dia sudah menikah dan hamil harus ditinggalkan suaminya, berat sekali kan Bu,” tambah Ayah. “Astaghfirullah, ya Allah amit-amit Ayah, jangan sampai anak kita begitu,” Ibu mengelus dadanya berkali-kali sembari menggelengkan kepalanya. “Oleh karena itu kita berdua harus memberikan dukungan moril ke Amelia agar dia bisa bertahan. Jika orang lain bisa menggoyahkan keluarga kita hanya dengan satu kata nyinyiran, terus siapa yang harus menguatkan Amelia yang sendirian, jika kita saja sebagai orangtuanya tidak berada di pihaknya,” tegas Ayah sekali lagi. Sekali lagi kata itu muncul di situasi yang berbeda, menguatkan. Kali ini Amelia kembali diingatkan untuk bersyukur mempunyai keluarga yang tidak pernah menuntutnya untuk menjadi seperti apa dan bagaimana, kedua orangtuanya yang sangat percaya pilihan anaknya, apakah itu tidak lebih dari cukup. Haruskah Amelia menyerah dan mulai memikirkan perkataan pria itu, semoga esok hari dia bisa menemukan jawabannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN