Bab 38

1013 Kata
"Maaf," lirih Adam, lalu tidur ia di kursi rumah sakit, ini sudah pagi dan Adam belum memejamkan matanya sama sekali. "gue emang nggak pernah berguna, gue bodoh dan t***l," umpat Adam. Ia kembali bangun dan duduk saat tidak ada rasa kantuk sama sekali. *** Matahari sudah terbit. Cahaya berkah yang di berikan oleh Allah menyebar memberikan kehangatan bagi manusia yang merasakan cahaya itu. Dellia mematut dirinya di kamera ponselnya, kini pagi kembali menyapa. Setelah kejadian mengerikan tadi malam membuat Dellia jadi sangat malas berbicara. Lagi pula ia belum juga mengabari kedua orang tuanya. Lebih baik Dellia tidak perlu memanggil mereka ke sini, akan sangat sulit jika mereka menanyakan apa yang terjadi hingga ia bisa begini. Sedangkan Adam? Pria itu sudah keluar dari semalam dan tidak kembali, bagus ni itu. Bagaimana bisa ada seseorang yang yang berpikiran ingin menjual istrinya. Apa tujuan Adam melakukan ini semua? Jika masalah uang itu tidak mungkin. Tes. Air matanya kembali berjatuhan, sesak di dadanya sangat berhempit hingga Dellia sulit untuk bernafas. "Ya Allah beri hamba keikhlasan untuk semua yang sudah terjadi," batin Dellia. Ia mengusap air matanya yang tidak berhenti berjatuhan. Tetap saja sekuat apapun Dellia mencoba melupakan kejadian itu, semua bayangan itu terus bergantayangan. Dellia tidak bisa membayangkan jika hal menjijikan itu terjadi, ia tidak akan tau masih bisa membayangakan apa ia bisa melajutkan kehidupannya setelah itu. Tubuh Dellia begetar saat isakan demi isakan ia lepaskan. Ia menangis dengan berteriak, akhirnya setelah menangis dalam diam Dellia bisa melampiasakannya. Dellia memukul pelan dadanya berulang kali, mencoba menghilangkan sesak ini hingga ia bisa menghentikan tangisan ini. Seharusnya Dellia masih bisa bersyukur karena ia tidak jadi di perkosa oleh pria tua itu, tapi tetap saja sesak di d**a masih memenuhinya. "Ya Allah, hiks. Ya Allah," Dellia terus menyebut nama Tuhannya berharap dengan menyebut nama Tuhannya rasa sesak ini bisa berkurang. Kalau sudah begini, Dellia sudah yakin jika Adam emang tidak cinta dengan Dellia. Sudah seharusnya Dellia tidak mengharapkan Adam lagi, ia harus berhenti mencintai pria itu. Tidak ada yang bisa ia harapkan dari pria b******n itu. Dellia mengambil ponselnya saat dering itu berbunyi. Ia langsung mengambil ponsel itu, dan rupanya Mamanya yang menelepon. "Assalamualaikum," salam "Waalaikumsalam, De kok nggak ada kabar sih. Gimana kabarmu? Jangan lupa telepon Ibu lah, datang juga menginap ke sini, Ibu kangen." "Baik buk. Kalau Ibu gimana? Nanti ya Bu kalau aku ada waktu aku bakalan ke sana." "Ibu baik juga." "Ibu Dellia mau bilang kalau Dellia hamil." "Ya Allah, alhamdulillah. Ibu senang banget, nanti Ibu ke sana ya nak." "Jangan Bu, biar Dellia aja yang ke sana. Masa Ibu yang ke rumah, biar Dellia saja." "Ya sudah kalau begitu, jangan lupa makan yang banyak ya." "Iya Bu, Dellia tutup ya teleponnya. Wassalamualaikum." "Waalaikumsalam." Tut Tut Tut. Sambungan telepon mereka terputus. Adam kembail masuk ke dalam ruangan rawat Dellia. Apa dia tidak bekerja? Ia melihat kelender dan ternyata hari ini adalah hari kerja. Apa mau pria ini sih, kan Dellia sudah mengatakan ingin cerai. Seharusnya Adam segera menjauh. Dellia menghela napasnya lelah, bisa tidak Adam tidak usah menganggunya? Dellia butuh waktu sendiri untuk menenangkan diri. "Mau makan? Aku suapin?" tawar Adam saat makanan Dellia masih utuh di atas meja nakas," Dellia hanya diam, ia mendengar tawaran dari Adam, tapi Dellia terlalu malas untuk merespon Adam. Dellia tidak menjawab ia malah mengambil makanan di atas nakas itu dan memakannya sendiri. Dellia heran kok Adam bisa kayak baik gini sih, sebenarnya dalam otak pria itu seperti apa. "Mending kamu keluar," usir Dellia, dan Adam pria keras kepala itu malah tetap diam tidak menyaut atau pun keluar dari ruangan. Baru dua suapan Dellia sudah merasa mual. "Kenapa?" tanya Adam. "Apaansih, nggak usah sok perhatiaan Mas," Dellia menaruh kembali makanan itu ke atas meja. "Jangan gitu, nanti kamu malah sakit lagi." "Aku sekarang emang udah sakit." "Maksud aku tu nanti tambah sakit." Dellia menahan mulutnya untuk tidak mengumpat, ia muak bahkan tidak suka melihat wajah yang dulu ia senangi. Jujur Dellia sangat penasaran tentang kenapa Adam kembali menolongnya saat itu padahal di Adam sendiri yang membawanya ke tempat dosa itu, bahkan berniat menjual Dellia. "Kenapa kamu nolong aku lagi? Padahal kan kamu dalang jahatnya," tanya Dellia tanpa menatap wajah Adam, jujur ia yakin jika menatap Adam ia akan langsung menangis. Rasa cinta yang terlalu kuat ia berikan kepada Adam langsung sangat menjadi mencekam saat kenyataan jika Dellia tidak berarti sedikit pun untuk suaminya. "Maaf, aku salah," Adam menunduk dalam-dalam, ia berharap setelah minta maaf perasaannya bisa lebih tenang. "saat itu aku malah nggak tenang dan kembali ke kamar." Tanpa sadar Dellia kembali menumpahkan air matanya. "jangan menangis, aku minta maaf," ucap Adam sambil maju hendak menghapus air mata Dellia, tapi sebelum tangan itu kena ke pipinya Dellia lebih dulu mendorong tangan Adam. Hingga tangan itu tidak jadi berteger di pipinya. "Apa kamu tidak mau memaafkan ku?" tanya Adam. "Apa tujuan Mas buat ngelakuin itu? Mas banyak uang, aku tau itu. Nggak mungkin kan Mas ngejual aku biar dapat uang." Adam diam, karena alasannya pasti akan lebih menyakiti Dellia. Apalagi ia berencana akan menyebar foto Dellia jika sudah melakukan hubungan itu dengan pria tua itu. "Mas, cepat urusi surat perceraian kita, aku udah nggak sanggup buat nanggung semua beban ini. Aku ingin bebas bersama anak aku," jelas Dellia, kini sudah saatnya mereka menghakiri semuanya. Menurut Dellia semua permasalahan ini sudah sangat berat, ia merasa Adam sudah memandang Dellia sangat murah. Bahkan Dellia tau jika Adam tidak menganggap Dellia sebagai istrinya. Adam mengangguk kaku, sudah seharusnya mereka bercerai. Ini yang diharapkan Adam tapi entah kenapa perasaannya langsung tidak karuan. "Apa kamu mau aku telepon orangtua kamu?" "Tidak perlu." Adam mengangguk, ia duduk di samping tempat brangkar. Ia tidak berminat untuk kerja, biarlah Sekretarisnya yang menganti pekerjaan Adam untuk sementara. Sekarang perasaan Adam hambar sejak Dellia yang mengiginkan perceraian dan orangtuanya yang pergi. Tidak ada tujuan untuk Adam hidup setelah ini, Dellia sudah tidak ingin bersamanya. Bersamanya? Apa Adam berharap bisa tinggal dengan Dellia terus. Tidak mungkin! Ini emang tujuan Adam untuk membuat Dellia membencinya dan sekarang seharusnya Adam bahagia. Sudah seharusnya Adam tidak bersikap tidak jelas seperti ini. Ini lah tujuan awalnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN