Bab 50

1018 Kata
Adam tidak biasa menyapa orang jika tidak kenal dekat. "Hai gitu," Adam mengangguk mengerti. "Hai," sapa Adam. "Senyum Mas." "Hai," ulang Adam sambil tersenyum. "Udah, aku pergi dulu." Adam langsung berjalan cepat menuju kantin rumah sakit. "Kalian kenapa?" tanya Dellia ke arah sahabanya yang tiba-tiba menjadi diam seperti ini. "Senyuman suami kamu. Ya ampun ganteng banget," ceplos Intan tanpa sadar. "Iya, kalau senyum makin ganteng." Dellia hanya terkekeh saja, emang suaminya itu ketampanannya akan bertambah jika senyum. Hanya saja Adam terlalu pelit untuk menyebarkan senyumannya. *** "Sayang nya Mama bentar lagi kita pulang loh," Dellia mengelus sayang pipi kemerahan bayinya. "Sankara pasti senang, tau nggak kenapa? Karena kamar Sankara udah keren banget. Di sana juga banyak mainan," lanjut Dellia lagi yang sejak tadi tidak berhenti mengajak anaknya berbicara. Adam ikut senang melihat Dellia dan anaknya yang tampak sangat bahagia sekarang. "Udah siap semua De?" Siti menatap semua perlengkapan pakaian punya Dellia di atas kasur. "Udah Bu," Ibunya-Siti emang akan menemani Dellia di rumah selama tiga bulan. Tepatnya ingin membantu Dellia dalam merawat Sankara, karena Dellia terlalu awan dan ia takut jika salah dalam merawat Sankara. Sarah sekarang juga berada di ruang rawat inap, nenek bercucu satu itu juga berencana akan sering datang ke rumah Dellia. "Kak boleh nggak aku gendong." "Boleh, sini duduk," Dellia menepuk tempat duduk di sampingnya, dan Aya yang tadinya meminta gendong penokannya langsung menurut. Dan Dellia langsung memberikan anaknya ke Aya. "Ayi habis Aya mau gendong Sankara?" tawar Dellia pada Ayi yang sejak tadi hanya diam saja. "Nanti aja Kak," jawab Ayi. "Rio, bantu Kakak ambil itu tolong," Rio. mengangguk dan memberikan kain yang di minta sang Kakak. Adam menatap Ayi dengan heran, biasanya Ayi akan sangat banyak bicara dibandingkan Aya, tapi gadis itu sekarang tampak sangat banyak diam dan melamun. Gadis itu bahkan sejak tadi hanya terus menatap tangannya sendiri. Adam ikut melirik tangan Ayi dan bertapa terkejutnya ia saat melihat tangan Ayi yang terdapat goresan benda tajam. Adam dapar melihat dari celah baju berlengan panjang itu. "De, bentar ya aku mau keluar." "Iya Mas." Adam menarik lengan Ayi paksa untuk keluar ruangan, ia membawa gadis itu ke taman rumah sakit. "Kenapa?" "Apanya?" Ayi heran sudah di tarik secara tiba-tiba sekarang Kakaknya malah bertanya. "Tangan kamu kenapa?" Ayi reflek langsung menutup lengannya menggunakan bajunya, padahal ia sudah memakai baju lengan panjang tapi masih saja kelihatan. "Oh itu, tadi kena pisau dapur buat masak." "Nggak usah bohong." "Apanya sih Kak? Kalau aku bilang Kakak nggak perduli juga kan," Ayi hendak pergi, tapi lengannya langsung di tarik lagi oleh Adam. "Kenapa? Apa ada hubungannya dengan Haikal?" "Bukan urusan Kakak." Ayi menghempaskan tangan Adam dari lengannya, dan hendak pergi lagi hanya saja Adam sekarang memaksa Ayi untuk duduk di kursi taman. "Maafin Kakak, jadi sekarang cerita ya." "Udah berbulan bulan baru mau tanya aku kenapa? Udah, ini bukan urusan yang penting buat di bicarain," Ayi masih mengingat jelas tentang Adam yang menolak membantunya. "Iya maaf, sekarang cerita," timpa Adam lagi. "Kak Haikal neror Ayi terus, dia makin marah pas Papa ke rumah dia buat kasih peringatan biar nggak ganggu Ayi. Ayi takut hiks, makanya kadang kalau panik Ayi goresin lengan Ayi pakai pentul. Dia ngancam bakalan bunuh Ayi kalau nggak nerima dia, Ayi nggak mau sama orang jahat." Adam menghela nafas gusar, seharusnya sudah sejak awal ia membantu Ayi. Haikal? Sangat mudah mengatur pria itu. Adam hanya akan menyuruhnya berhenti menganggu Ayi, jika pria itu masih saja bertindak semena-mena Adam akan melakukan k*******n untuk menghentikan pria itu. "Nggak usah nangis," Adam mengusap air mata yang berada di kedua pipi Ayi. "setelah ini dia bakalan menghilang, dia nggak bakalan ganggu kamu lagi." Adam membuka teleponnya dan menghindar sebentar dari Ayi, ia menelepon seseorang. Ayi menatap punggung Kakaknya sambil mengusap air matanya berulang kali. "Udah Kakak urus Haikal, setelah ini dia nggak bakalan ganggu kamu lagi. Kalau dia chat kamu lagi, kamu harus langsung kabarin Kakak." Ayi tersenyum bahagia, ia langsung memeluk Adam dengan erat. "Hiks makasih Kak." Adam ikut membalas pelukkan Ayi, "jangan lukai diri kamu sendiri, kalau ada masalah langsung lapor sama Kakak, bilang juga sama Aya kalau ada apa-apa bilang aja sama Kakak." Ayi mengangguk cepat, ia senang bahkan sangat senang. Ia tidak menyangka jika Adam bisa berubah seperti ini. *** Adam terbangun dari tidur karena mendengar suara teriakkan bayi. Ia bangun dari tidur sambil mengusap rambut yang mulai memanjang ke arah belakang. Adam melirik Sankara yang terus menangis, hal itu membuat Adam tersenyum. Entah kenapa Adam suka melihat anaknya menangis, wajah bayinya akan sangat lucu saat menangis. Adam mengangkat Sankara dan langsung mendekat ke arah brangkar sang istri, ia mengoyangkan pelan bahu Dellia dan setelah itu istrinya langsung terbangun cepat. Dellia tampak sangat lelah, makanya ia hanya langsung terbangun saat mendengae tangisan Sankara yang begitu dekat dengan telinganya. "Haus ni, mau asi," ucap Adam. Adam memberikan Sankara di dalam dekapan sang istri. "Sini biar aku buka," Adam membuka kancing piyama Dellia, ia hanya membantu karena Dellia tampak masih mencoba mengumpulkan nyawanya. "Makasih," Dellia langsung mengarahkan mulut kecil Sankara ke putingnya. "Aduh sakit sayang pelan-pelan," Dellia mengusap pelan pipi Bayinya, Sankara terlalu kuat menyusu, hal itu membuat ia merasa nyeri di tempat isapan Sankara itu. "Iya minumnya pelan-pelan, nggak bakalan Ayah curi," Dellia menatap Adam heran, apa maksdunya, ada-ada saja. Dellia menatap wajah Adam sambil tersenyum. Ia senang karena sekarang Adam sudah lebih membuka diri. Suaminya itu sudah menunjukkan rasa tidak suka dan sukanya. Masih teringat jelas saat dulu Adam yang terlalu baik bahkan terkesan seperti robot yang menurut atas semua keinginan Dellia. Dellia senang dengan perubahan Adam. Ia sadar bahwa pilihan untuk kembali dengan Adam tidak salah. Adam juga sekarang akan selalu menasehatinya jika salah, dan selalu memberikan semangat pada Dellia yang emang akhir-akhir ini sangat capek karena Sankara yang rewel. Manjadi seorang Ibu itu keinginan Dellia sejak dulu, ia emang sudah sangat menyukai anak kecil sejak dulu. Mengurus Sankara juga hal yang sangat menyenangkan. Dellia senang selama merawat anaknya ada Adam, Ibu, Mama, Papa dan Ayah yang ikut membantu. Kakek Sankara tidak banyak membantu emang, mungkin karena mereka juga laki-laki, Kakek Sankara hanya mengendong cucu mereka. "Lucu banget sih," Adam menatap Sankara takjub.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN