Bab 3

1305 Kata
"Aku nggak tau Kak, tapi biasanya cinta itu akan hadir sendiri saat dua pasangan sudah menikah." "Aku belum siap nikah De," jawabanya Riski membuat Dellia terdiam, bukan karena merasa kecewa tapi karena pria itu sudah berani untuk mengajak perempuan untuk menjadi pacarnya tapi tidak ada niatan untuk mengajak menikah secepat mungkin. Kalau begini apa perempuan lain akan mau manjalin sebuah hubungan yang tidak jelas kapan akan sahnya. Kalau Dellia tentu tidak mau. Melihat kediaman Dellia, Riski kembali membuka pembicaraan. "kamu tunggu aku ya." "Tunggu gimana Kak? Tunggu Kakak siap buat nikahin aku?" "Iya." "Maaf Kak aku nggak bisa, bisa jadi kan aku udah nunggu Kakak selama dua tahun, tapi tiba-tiba Kakak nikah sama orang lain. Apalagi nanti misalnya ada yang baik agamannya ngelamar aku, masa aku harus nolak pria itu cuman buat nunggu ketidakpastian," Dellia harus tegas sekarang, ia tidak ingin Riski malah berharap lebih padanya. Karena semua orang juga tau jika sudah berjodoh pasti akan bersatu. Riski mengangguk pelan. "semoga kita berjodoh De, dan maaf udah bikin kamu nggak nyaman. Kakak harap kamu nggak menjauh, kita masih bisa berteman kan," Dellia mengangguk sambil tersenyum. "Kamu tau apa yang ingin aku lakukan?" Dellia mengernyit bingung, tentu saja ia tidak tau dengan apa yang akan dilakukan oleh Riski. Tanpa bisa Dellia duga Riski malah mendekatkan wajah mereka, tinggal jarak sedikit lagi bibirnya ternodai tapi Dellia langsung menghindar dan menampar Riski lebih dahulu. "Apa yang kamu lakukan?" Tentu saja Dellia terkejut ia tidak pernah membayangkan bahwa Riski dapat melakukan hal seperti ini. Sekarang posisinya juga berada di kantin tidak tau apa adegan tadi dilihat oleh orang tapi intinya semuanya melihat ke arahnya dan Riski karena Dellia yang berusan menampar Riski. "Aku pulang dulu ya." Dellia pun meninggalkan Riski yang sepertinya masih betah untuk tetap duduk di kantin. Sakit rasanya saat diperlakukan seperti itu, baru saja ke luar dari kantin sebuah air malah menyiram tubuhnya. Dellia memekik terkejut ia melihat ke arah di mana arah air itu. "Itu balasan dari lo yang udah berani nampar Riski, lo nggak usah sok alim deh. Penampilan aja yang tertutup tapi malah main kekerasan." Dellia sadar ini pasti adalah penganggum Riski, sepertinya ini akan menjadi masalah yang kepanjangan. "Tidak punya sopan santun, tidak usah mengatai orang kamu sendiri tidak tau apa yang barusan terjadi." Kedua wanita itu seperti mau menarik hijab Dellia tapi sebelum terjadi ia sudah lebih dahulu mundur. Tetap saja mereka seperti akan kembali menyerangnya, Dellia berlari kencang. Ia melihat ke belakang untung saja dua wanita itu sudah tidak kelihatan lagi. Saat sedang perjalanan ingin keluar pagar kampus, tiba-tiba ada sebuah motor besar yang melaju di hadapannya. Dan syukur pengguna motor itu berhenti dengan tepat, hingga motor itu tidak mengenai Dellia. "Kalau jalan liat-liat dong!" ucap pria yang mengendari motor. Pria itu membuka kaca helmnya. Pria ini, pria yang Dellia lihat di Bus tadi dan wajah lebam dari pria dihadapannya sekarang membuat Dellia yakin. Pantesan Dellia pernah melihat pria ini ternyata mereka satu kampus. "Maaf," hanya itu yang dapat Dellia ucapkan, walaupun ia tidak bersalah. Karena sudah jelas-jelas, Dellia berjalan di pinggir bukan di tenggah jalan. Ia hanya tidak ingin bertengkar. "Belagu banget tu cewek," suara u*****n pria itu masih bisa Dellia dengar. Ia beristigfar dalam hati, semoga ini adalah pertemuan terakhir mereka. "Sok banget padahal tadi mau aja tu dicium." "Maksud kamu apa ya?" Dellia menatap tidak suka pada pria yang sudah lancang mengatainya seperti itu. "Tidak usah cari masalah ya!" Dellia sungguh tidak suka ia rasa ini akibat kejadian saat ia menampar Riski. "Apa kamu melihat aku dengan Riski Aku tidak berciuman dengannya." Tentu saja ini harua diluruskan jangan malah terjadi kembali salah paham. "Terserah." Dellia menarik napas dalam ini sungguh hal yang berat, sungguh disukai oleh pria seperti Riski merupakan beban. *** "s**l kalau aja pria tua itu tidak menyuruhnya ke kampus, ia tidak akan bertemu dengan pria itu," gerutu pria yang bernama lengkap Muhammad Adam itu. Sumpah hari ini adalah hari yang s**l, sebenarnya Adam tidak mau naik Bus itu. Tapi karena musuhnya mengejar Adam, ia mencoba masuk ke dalam Bus agar pria itu tidak bisa mengejarnya lagi, tapi ternyata pria itu masih sempat masuk ke dalam Bus itu. Awalnya mereka hanya duduk di Bus itu hanya saling diam dengan mata yang saling menatap tajam, tapi karena pria itu duluan menyepak kakinya membuat Adam berang hingga pertengkaran itu terjadi . Ke kampus pun tadi Adam hanya ingin menjumpai pria tua itu. Ya pria tua yang mengaku sebagai Ayahnya. Sejak kecil Adam sudah hidup di jalanan, sudah banyak kejadian yang seharusnya tidak ia rasakan karena terlalu kecil. Tapi dia harus tetap melakukannya, tentu untuk melawan kerasnya dunia ini. Masih teringat jelas saat ia di tendang bahkan dipandang remeh oleh orang sekitar. Dia mengamen bahkan pernah pura-pura pinjang untuk meminta sumbangan. Di umur lima tahun bahkan ia harus bekerja menjadi pengamen sampai jam dua belas malam, tidak seperti anak lainnya yang pasti asik tidur nyenyak. Jika saja ia tidak membawa uang tentu makanan tidak ada yang masuk ke dalam pelukannya. Ini sungguh sakit, bahkan ia tiap malam memanggil Mamanya berulang kali. Padahal Adam tidak tau makna Mama itu apa, ia hanya melihat anak kecil yang memanggil Mama saat ia berada di taman. Ia ingin seperti itu, ingin merasakan apa yang anak itu rasakan. Setelah delapan tahun, Adam tidak pernah lagi menangis, seolah-olah air matanya sudah kering. Bahkan Adam juga tidak menangis saat di pukul atau pun di hina. Ia sudah terbiasa dengan semua kehidupannya. Bahkan berkelahi sudah menjadi kebiasaannya. Ia sering berkelahi dengan anak sekolahan karena Adam memaksa mereka memberikan duit untuknya. Tiba di mana Adam terkejut saat ia ditarik ke dalam sebuah mobil, Adam memberontak sekuat tenaga. Adam sudah kepikiran jika ia pasti sudah diculik dan organnya akan dijual. Pemikirannya itu semakin yakin saat orang itu membawanya ke sebuah rumah sakit. Dan di situ darahnya di ambil. Adam di tahan oleh orang gagah selama seharian di rumah sakit, hingga sebuah surat dari rumah sakit diberikan pada pria bertubuh besar itu. Adam hanya mendengar jika orang itu mengatakan "Dia anak kandung anda Bos." Sejam kemudian, seorang pria dan wanita datang. Perempuan itu menangis sambil memeluknya. Di situ perempuan itu menyebutkan jika ia adalah anaknya, sungguh ironis. "Mama?" tanya Adam kecil. Dan perempaun itu mengangguk cepat. "Maaf Buk, saya nggak ada Mama," wanita itu menangis saat ia mengucapkan itu. "Mama, ini Mama." "Mama? Boleh jadi Mama aku, tapi kamu ada duit nggak?" tanya Adam yang emang tidak pernah belajar sopan santun. "Ada," jawab wanita yang mengaku Mamanya. Dapat Adam liat wajah wanita yang masih tampak muda itu mengernyit bingung. "50 ribu ada?" tanya Adam lagi. " Ada." "Oke, sekarang kamu Mama aku," dapat Adam liat wanita itu mengangguk kaku. Sedangkan pria itu hanya diam dengan wajah yang kentara dengan kesedihan. Adam tidak butuh dengan Mama lagi, karena dia sudah terbiasa hidup sendirian. Sekarang yang ia perlu hanya duit, sudah itu saja. "Maafkan Papa, ini Papa," ucap pria yang sejak tadi hanya menatap interaksinya dengan wanita dihadapan Adam. "Papa? Oh Papa ya," Adam mencoba berpikir, Papa ini pasti seperti pria yang biasanya pernah Adam liat sedang menyemput anak mereka. "Oke, kamu Papa aku. Tapi kamu ada duit nggak 100 ribu?" tanya Adam lagi. Sedangkan para pria berbadan besar yang membawanya ke sini hanya melongo mendengar setiap kalimat yang dilontarkan olehnya. "Ada? Buat apa?" tanya pria itu lagi. "Ya buat makan lah," jawab Adam kecil dengan nada ketus. "Mana duitnya," tagih Adam mengulurkan tangannya. "Kalau soal makan biar Papa yang kasih nanti," jawab pria itu lagi yang membuat Adam mendengus kecil. "Udah lah, buang-buang waktu saya saja. Sana kalian," Adam menghempaskan tangan wanita itu dari bahunya. s**l sekali, Adam harus kehilangan waktunya untuk mengamen dan memalak orang. Padahal Adam kira, orang tadi akan memberinya uang. "Adam!" panggil wanita itu lagi, "Ini," wanita itu mengejarnya dan memegang bahu Adam agar berhenti, lalu menyerahkan beberapa jumlah uang ke tangan Adam. Adam tersenyum bahagia.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN