Part 1 - Derita Suami Beristri Jelek

1100 Kata
Part 1 POV Aldo Derita Suami Beristri Jelek Istriku buruk rupa … memang itu kenyataannya. Aku tak bisa memungkirinya. Karena itulah jarang sekali aku mengajaknya ke pesta pernikahan atau bertemu rekan kerja saat pertemuan. Aku sering kali mencari alasan agar aku tidak perlu membawa istriku dan memperkenalkannya pada rekan kerjaku. Entah mengapa, semakin hari aku semakin jijik melihat kelakuannya. Ia jarang sekali membersihkan diri. Bahkan selesai mandi, aku masih bisa melihat noda hitam yang berkerak di sekitaran leher, ketiak, lipatan area sensitifnya. Meski sering memakai minyak wangi, arima istriku pun selalu berbau aneh. Entah mengapa? Tak jarang aku selalu menolak bersetubuh dengannya. Banyak sekali alasan yang aku utarakan. Mulai dari capek, pusing, hingga malas. Pokoknya berbagai alasan aku cari supaya aku tidak perlu memenuhi kewajibanku kepadanya. Semenjak hamil dia semakin berubah. Semakin tidak menarik perhatianku. Jika terpaksa, aku harus menonton film porno untuk membangkitkan gairahku dan berimajinasi sedang bercinta dengan salah satu artis video panas tersebut. Meski begitu, istriku Sara tidak pernah menuntutku untuk memuaskannya. Dia seakan mengerti rasa lelahku bekerja. Semenjak menikah denganku aku menyuruhnya berhenti bekerja sesaat setelah aku mendapatkan pekerjaan yang layak. Sara tidak mengeluh. Dia wanita yang penurut dan tak banyak menuntut. Alhasil dia hanya berada di rumah sepanjang hari. Melebarkan tubuhnya yang semakin gempal hari demi hari, seiring bertambahnya usia kehamilannya. Dulu tubuhnya tidak sebesar itu. Tapi sekarang, aku melihatnya seperti ikan buntal. Wajahnya semakin bulat, kulitnya coklat gelap semakin kusam dan bersisik. Orang-orang menyebutnya hormon kehamilan yang kerap kali terjadi pada ibu hamil. Tapi aku selalu menyalahkan dirinya karena tidak bisa merawat diri sehingga membuatku muak tiap kali melihatnya di rumah. Meski begitu kuakui dia baik hati dan setia. Kala aku terpuruk karena Widya memutuskan hubungan kasih kami yang terjalin bertahun-tahun, dia tetap setia mendampingiku. Dia yang mengangkatku dari jurang keterpurukan, menyemangati hidupku yang telah hancur lebur sepeninggal Widya, perempuan yang kucintai setengah mati semenjak aku duduk di bangku SMA. Istriku, Sara adalah teman baik Widya. Mereka bersahabat sejak kecil. Menurut Widya, dia berteman dengan Sara karena kasihan, semua orang membeli dirinya yang jelek. Apalagi sudah sejak kecil Sara yatim piatu. Entah bagaimana ceritanya dulu istriku bisa yatim piatu. Setahuku dia hanya diurus oleh keluarga ibunya yang jahat. Entah benar atau tidak, tapi aku tidak pernah melihat mereka menjahati Sara. Entahlah … mungki ia hanya cerita karangannya untuk merebut simpatiku saat itu. Sejujurnya aku tidak peduli, selama aku bisa mendapatkan hati Widya saat itu, aku terpaksa mau berteman dengannya. Aku lupa bagaimana aku bisa menikah dengannya. Selepas putusnya hubunganku dengan Widya yang membuatku depresi, Sara selalu menempel padaku seperti parasit. Itulah kata yang tepat bagiku menggambarkan betapa Sara tidak pernah sekali pun lepas dariku. Dari mulai mengurusi makanku, membantuku terapi ke puskesmas supaya aku bisa melewati masa depresiku yang gelap. Dia bekerja pagi siang sore dan malam hari untuk membayar kamar kos kami berdua. Meski dia tinggal tepat di sebelah kamarku, dia yang mengurus semua kebutuhanku. Sedikit yang aku ingat adalah saat dia berkata akan menolongku agar hidupku semakin baik. “Al, maukah kau menjadi imamku agar aku bisa menjalani hidupku dengan baik sekaligus mengurusimu. Lupakam Widya, dia sudah menjadi masa lalumu. Lihat aku di sini yang selalu setia menemanimu dan mencintaimu apa adanya.” Saat itu aku tak mampu berpikir apa-apa lagi. Akhirnya kuputuskan untuk menikah dengannya. Berharap kehidupanku semakin membaik setelahnya. Dan benar saja, perlahan tapi pasti kehidupanku mulai tertata. Aku mulai bekerja lagi. Di salah satu perusahaan multinasional yang bergerak dibidang jasa periklanan. Hari demi hari kulewati dengan semakin baik dan lebih baik lagi. Pekerjaanku pun menunjukkan hasil yang positif karena aku dipercaya menjadi kepala bidang periklanan di media online maupun elektronik. Karierku melesat tajam. Begitu pula dengan kehidupan rumah tanggaku yang semakin baik setiap harinya. Apalagi, hanya berselang beberapa bulan saja aku akan memiliki buah hati dengan istriku, Sara. Hingga suatu waktu, di tengah padatnya kesibukanku bekerja mengatur set untuk syuting iklan perusahaan, aku tidak sengaja bertemu dengan Widya mantan kekasih terindahku. Aku merasakan getar terlarang itu. Hanya baru melihatnya jantungku langsung berdesir. Betapa aku merindukan dia selama ini. “Wid.” Meski ragu aku menghampirinya. Kulihat wajahnya terkejut saat melihatku. Oh sungguh memilukan melihat wajah cantiknya yang penuh luka lebam. Sebenarnya ada apa dengannya? Kenapa? Aku bertanya-tanya, tapi urung. Aku takut menyinggung perasaannya. “Aldo.” Matanya berbinar terang saat melihatku. Entah hanya halusinasiku saja atau sekadar khayalanku, ia tersenyum lembut. Senyum yang masih sama dengan dulu waktu kami masih menjalin kasih. Dan lagi-lagi, aku merasakan debaran itu. “Syukurlah aku bisa bertemu denganmu di sini,” ucapan Widya tersirat rasa syukur mendalam, entah hanya pikiranku saja atau benar adanya. Aku tak dapat memastikan. “Bagaimana kabarmu, Wid?” tanyaku basa-basi. Widya menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, “Seperti yang kau lihat. Kondisiku benar-benar memilukan.” Sedikit tersentak aku mendengarnya, karena Widya terlihat jauh lebih kurus daripada dulu. Meski begitu, dia masih terlihat cantik di mataku dibandingkan istriku, Sara. Eh, kenapa tiba-tiba aku harus membandingkan mereka? Sudah jelas Sara jauh lebih buruk rupa dibandingkan Widya yang notabene model kampus jaman kami kuliah dulu. Dia terkadang wara-wiri muncul di iklan televisi. Tentu saja sebagai pacarnya aku sangat bangga dulu. Walau terkadang sifat manjanya suka buat aku sakit kepala, tapi di mataku dia terlihat seperti putri cantik. Berlian yang bersinar cemerlang. Kilauannya bahkan membutakan mata hati dan pikiranku. “Kau sendiri gimana, Al? Kulihat kau semakin tampan dan ... “ Widya melirik ke arah pakaian yang kukenakan. Kebetulan saat itu aku sedang memakai pakaian terbaikku, karena siang nanti ada pertemuan dengan bos besarku. Jadi aku harus menampilkan penampilan terbaik sebisaku agar bosku semakin menaruh harapan padaku. “Ah, kau bisa saja!” Sial, kenapa wajahku bersemu merah mendengarnya memujiku. Padahal kita sudah tidak ada hubungan lagi, seharusnya aku menjaga hati darinya. Aku tak mau berurusan dengan suaminya nanti. Karena berita terakhir yang kudengar adalah Widya menikah dengan pacar selingkuhannya secara tiba-tiba. “Tapi, aku jujur Al. Kau terlihat tampan sekali hari ini. Membuatku kembali jatuh cinta padaku yang kedua kali,” ucap Widya yang kuanggap sedang menggodaku. Wajah Widya terlihat serius. Wajah yang jarang kutemukan darinya. Biasanya hanya Sara yang selalu berwajah serius dan kaku, seolah sedikit sekali ekspresi wajah yang istriku miliki. Terkadang bahkan aku mulai bosan melihatnya setiap hari karena sejujurnya wajah istriku memang membosankan. “Al, apa kau sudah menikah?” Widya tiba-tiba melontarkan tanya yang membuatku gugup. “A-apa maksudmu menanyakan hal itu?” Aku balas bertanya. “Ng ... siapa tahu kita berjodoh lagi,” ucap Widya lagi. “Ka-kau pasti bercanda!” sergahku. Widya menggeleng, “Maukah kau menikah denganku, Al?” pintanya tanpa pikir panjang. “A-apa?” Aku tersentak kaget mendengarnya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN