08. AWAL PERTEMUAN

1288 Kata
"Jangan sok bisa, selagi ada orang yang memberi pertolongan. Meskipun kau menganggap gampang, ingat, kita tidak tahu skenario Tuhan selanjutnya." Waktu berjalan dengan cepat, tetapi hati masih diam bertahan mengharap dia kembali datang. Sayang, temu takkan terjadi begitu saja. Jika, masih di tempat dengan tatapan kosong ke depan. Sekarang tepat dua minggu Acha masuk kampus. Menjadi mahasiswa di fakultas Sastra. Bangga? Tentu saja, dari ribuan pendaftar lain dirinya masuk dalam salah satu nilai tertinggi tes. Namun, sudahkah Acha mendapati Devid? Mendapati lelaki yang pasti tertawa ria, bahkan bernyanyi-nyanyi tidak menentu. Belum. Perjuangan Acha seolah sia-sia saja. Ia belajar dengan giat, mencoba fokus ke pelajaran di samping itu sambil mencari nama Devid di daftar fakultas Jurnalistik. Mengapa Acha harus mencari di sana? Mengingat cita-cita Devid sebagai seorang reporter. Orang pertama yang mengabarkan, bahwa novelis bernama Acha berhasil menerbitkan karya. Sampai, ke tingkat bestseller lalu diangkat menjadi film. Acha mengerjapkan beberapa kali kelopak matanya, meremas tangannya, mengigit bibir bawah lalu menghempas tubuhnya ke belakang. Masih di dalam kosan. Ruangan mini yang menjadi teman. Bukan lagi kemewahan, tetapi lebih menyenangkan. Dibandingkan penuh kekayaan, tanpa gelak tawa dan dianggap orang semua baik-baik saja. Sekarang, jadwal kuliah Acha siang. Bermalas-malasan adalah bonus bagi seorang mahasiswa, dia juga dikenal sedikit tertutup, bukan berarti pendiam. Hanya jarang berkumpul dengan teman-teman, cukup membeli makanan secukupnya lalu kembali ke kelas atau perpustakaan. Tidak lama, jam dinding menunjukkan kenyataan, membuat Acha bangkit lalu bersiap mandi. Selesai membenahi diri, pintu kosan terdengar diketuk dari luar. Acha pun segera membukanya, seorang perempuan terbingkai jilbab yaitu Anisa. Semenjak tahu Acha anak UI juga mereka sering berangkat bersama. Namun, itu membuat Acha malas. Semenjak ditinggalkan dan terpisahkan, sendiri adalah tujuannya, sebelum mendapatkam Devid seutuhnya. Ada beberapa lelaki sempat dekat dengannya. Namun, tidak lama. Karena ia menolak dengan cepat, jangan sampai terjadi asmara atau hanya suka-suka. "Mau berangkat bareng?" tanya Anisa. Acha menggeleng lemah. "Duluan aja, Kak, aku masih ada urusan," tolaknya. Anisa sudah tahu, Acha menghindarinya. Mengingat kata orang-orang memang Acha itu kurang bersosialisasi. Belum ditemukan juga siapa orang paling dekat dengannya. Yang biasa orang lihat, sendiri di perpustakaan, membaca n****+ lalu orang yang giat menanyakan hal membingungkan kepada dosen sampai larut malam. Sudah biasa Acha menghabiskan waktu bersama beberapa dosen, dengan alasan pura-pura tidak mengerti, padahal menunggu Devid, mungkin lelaki itu tidak sengaja masuk ke kelasnya? Tahulah, bagaimana kelakuan bobrok Devid, di balik semua tingkah lakunya ternyata memendam luka. Ah, mengapa Acha tidak mengetahuinya? Pintu kosan kembali tertutup. Semoga, orang yang berharap menjadi teman Acha segera diberi hidayah. Bahwa tidak ada celah, hanya ada untuk satu saja, Devid Prabu Androno. Di mana lelaki itu? Acha menggeleng tegas, sekarang pencariannya akan semakin ketat. Sebelum tepat satu bulan menjadi anak UI ia harus menemukan Devid, bagaimanapun caranya. Harus dilakukan, Acha bergegas dengan cepat. Seperti biasa, celana levis hitam, baju rajut putih lalu mengikat rambutnya asal. Jalanan Kota Jakarta seperti biasa, macet dan banyak debu beterbangan. Untung saja Acha tinggal jalan kaki menuju kampusnya. Tidak seperti teman yang lainnya, turun dari metromini, bus apek dan motor. Mereka terlihat kelelahan sampai di kampus. Kasihan, tetapi memang itulah bukti perjuangan. Menuju tempat belajar, jalan menggapai impian. Langkah Acha terhenti, melirik bangunan megah yang ada di depan. Di lantai dua itu, anak Jurnalistik selalu belajar di sana, sedangkan di bawahnya, sebuah tangga menjadi jalan. Tepat di depam, tempat duduk Acha menanti bubar. "He, Acha." Acha berbalik, mendapati dosen Sastra-nya Arga Williamta. "Eh, Pak, apa kabar?" tanya Acha kikuk. Ia memang sering berduaan dengan lelaki itu, tetapi pikirannya tetap melayang memikirkan Devid. Jadi, di saat pertemuan yang tidak diinginkan seperti ini, Acha selalu terlihat gugup. "Sekarang nggak ada kelas saya, ya? Tapi kamu ngerti materi kemarin?" Acha mengangguk cepat. "Iya, Pak, maaf saya ada kelas tidak lama lagi, mari," pamit Acha dengan cepat, memperpanjang percakapan dengan orang lain itu membosankan. Kecuali bersama Devid. Punggung Acha menghilang memasuki kelas yang ada di lantai bawah. Arga melihat jelas kecemasan dari raut wajah mahasiswanya. Dia belum mengenal dekat Acha, tetapi dapat ditangkap bahwa perempuan itu banyak masalah. Memiliki segudang rahasia yang dipendamnya sendirian. Beberapa mahasiswa menyapanya, memberikan senyuman tebar pesona. Ya, Arga adalah dosen paling muda di sana dan memiliki paras sempurna. IQ tingginya membuat ia disamakan dengan dosen lainnya. Semenjak kepergian sang ayah, rasa tanggung jawab sebagai anak satu-satunya membuat ia giat belajar. Hingga, membuktikan bisa mengajar di kampus idaman. Tubuh ateletisnya berjalan santai menuju ruang dosen. Di mana semua ilmu yang ia telan harus diolah menjadi pencapaian. Umurnya baru 21 satu tahun, muda bukan? Namun, di balik banyaknya mahasiswa mengagumi. Satu pun belum bisa memancing matanya untuk menatap balik wanita itu. Ada banyak keinginan di dalam dirinya. Ia tidak mau orang yang dekat hanya mencintai karena fisik indah. Ia mau, semua kegemaran mereka sama, agar terasa benar-benar pasangan serasi. Sayang, belum ditemuinya sekarang. Mungkin tahun nanti? Ibunya juga belum meminta ia nikah muda. "Pagi, Pak ...." "Pagi," balas Agra semanis mungkin. Suasana kampus kembali tentram. Mencoba memasuki dunia masing-masing di saat belajar. Tidak ada kebisingan karena belajar dengan main-main. Mereka butuh perjuangan masuk ke kampus itu. Maka, jangan disia-siakan. Begitu pula Acha, ia dengan fokus mencoba memasuki materi kenegaraan sekarang. Menjelaskam arti kemerdekaan, mencontohkan bakti anak berbangsa Indonesia, harus berbuat apa? Apakah hanya membuat karya lalu melupakan begitu saja? Tidak. Satu karya bisa dikenal banyak orang. Jika, memang kau konsisten dalam segala hal. Acha mencatat cita-citanya di buku. Menjadi penulis n****+. Membangkitkan manusia pemalas baca. Ia takkan menceritakan kisah kehidupan yang putus nyambung karena cinta. Namun, bagaimana menjalani kehidupan yang banyak rintangan. Mencoba bodoamat dengan masalah, tetapi berhasil melewati segalanya. Ingatannya kembali ke masa lalu. Begitu rumit ternyata kehidupannya. Tanpa kasih sayang, perceraian, penyesalan hingga berakhir sendirian. Kelas pun selesai. Waktu telah menunjukkan pukul empat sore. Acha adalah mahasiswa yang selalu keluar kelas dengan malas. Tatapannya berhenti menatap jendela, tidak lama hujan akan datang. Ah, lagi-lagi hujan. Langkahnya gontai menjauhi jalan keluar, bukan waktunya pulang cepat. Karena anak Jurnalistik selalu bermain dengan peralatan praktek dengan asiknya. Maka, Acha menunggu mereka bubar di bawah tangga. Tidak lama, suara sepatu menjejak tangga terdengar ribut. Ya, mereka cepat-cepat ingin pulang sebelum hujan datang. Detik itu pula, Acha menutup novelnya. Jangan biarkan matanya melesat dari wajah lelaki yang ia rindui. Satu per satu orang-orang itu melewatinya, sedangkan Acha masih sibuk melihat wajah-wajah mereka. Sampai, berakhir seorang dosen memberikan senyuman kepadanya. Ia tidak tahu nama dosen itu, tetapi memang terkenal selalu memakai batik berlengan panjang. Mungkin membuktikan ia sangat mencintai batik? Lekaki jangkung itu juga melewati Acha akhirnya. Sekejap, semua sepi. Jadi, Acha tidak mendapati wajah Devid lagi? Ia menunduk dalam, mengembuskan napas kasar. "Lo di mana, sih! Gua capek nunggu, Dev ...," bisik Acha, kedua tangannya mencengram lutut kuat-kuat. Tanpa sepengetahuan Acha, seorang lelaki berbadan tegap dan atletis mendekat. Suara sepatunya membuat Acha mendongak, ia tersenyum kecil. Sebelah tangannya membawa kamera DSLR keluaran baru, dengan canggung Acha membalas senyuman lelaki itu. Beberapa waktu lalu setiap Acha menunggu selalu juga mendapati lelaki itu ada di barisan anak Jurnalistik. Tanpa Devid. "Gua liat-liat, lo suka banget duduk di sini. Nunggu siapa?" "E—em, gua ... nunggu seseorang yang belum gua temuin sampe sekarang." "Mungkin, gua bisa bantu. Siapa namanya? Anak Jurnalis, ya?" Acha mengangguk. "Lo yakin mau bantuin gua?" "Yakin, kenapa enggak?" Acha mengulurkan tangannya, mengajak berkenalan. Ia harus membuka diri. Jika, memang berniat mencari Devid. Bukan dipendam sendiri, seolah segalanya akan tercapai. Segalanya akan tetap diam di tempat, kecuali kamu berani memberitahu orang, bukan menganggap dirimu bisa menyelesaikan segala urusan sendirian. "Gua Acha." "Bram Wijaya." Next, guys, ciaa yang nunggu Devid nongol hihi. Bentar ya, mimin lagi riset soalnya. Yang pernah ke gunung ciremai via apuy, boleh dong komen ya. Ada yang mau dibicarakan hehe.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN