05. TAKLUKAN UI

1316 Kata
"Semua akan terasa gampang. Jika, kita berani berusaha dan ada tujuan tertentu yang seolah menyemangati dari jauh. Padahal, tak tahu entah di mana, wujud aslinya." Acha Acha membeli nasi goreng untuk makan malamnya. Memilih dibungkus saja karena tak mau lagi ada acara kambing congek seperti tadi, hanya seharga lima belas ribu semua bisa terjaungkau. Selesai membayar mereka pun berjalan pergi, perut Ardila tentunya sudah kenyang. Bagaimana tidak? Makan dibumbui rasa cinta bagaikan double makan. Berbunga-bunga penuh ceria. Ah, Acha tak memiliki itu semua. "Sorry, ya gua jadi gak enak." Ardila menatap Acha yang sudah tertawa sumbang. "Kok, ketawa, sih!" "Kirain lo gak merasa bersalah!" balas Acha. "Ya ... gimana lagi cowok gua emang gitu, haha." "Kalian pacaran udah lama?" Ardila mengangguk. "Iya, waktu seharusnya masih di bangku kelas dua SMA ini malah kerja." "Oh, sorry gua gak maksud ngungkit masa lalu." Acha menatap raut wajah Ardila yang berubah, mungkin dia sedikit kecewa. "Gak masalah. Oh, ya tadi cowok di depan lo ngapain diem mulu?" Sudah dipastikan, pertanyaan Ardila tertuju kepada lelaki yang Acha tabrak tadi. Oh, ya bagaimana ia menjelaskan? Sebelum Acha angkat bicara, Ardila sudah berbicara lagi. "Ganteng, tuh! Pinter amat ya dapet yang kek gitu," puji Ardila tak menyangka, belum juga sehari di Jakarta udah dapat gandengan, pikirnya. "Dih, apaan gua gak kenal!" ketus Acha sewot. Di depan gerbang kosan terlihat menjulang tinggi, dengan cat hitam. "Halah ... pertahanin aja, Cha ganteng juga!" goda Ardila seraya menyenggol bahu Acha. Namun, Acha tak mempermasalahkan mereka telah tiba di tikungan jalan, di mana Acha naik tangga dan Ardila belok kiri masih di lantai bawah. "Gua kagak kenal, dih ...." Sambil memutar bola matanya kesal, sedangkan Ardila terus tertawa sampai mereka terpisahkan. Ruangan mungil yang masih belum diberikan pewangi itu sekarang adalah kamar Acha. Miliknya sendiri dan bebas beraksi. Namun, semua kebahagiaannya telah direnggut oleh Devid. Acha menepis bayangan itu lagi, di mana tatapan terakhir diberikan. Kebingungan. Tentu saja karena lelaki itu baru bangkit dari kubur mungkin sedikit lingkung? Ah, entahlah Acha sudah lapar ia pun segera menuangkan nasi goreng masih mengepulkan asap harum. Suara kendaraan di malam hari menjadi teman. Bising knalpot dan sirine polisi juga pengantar tidur. Selesai membereskan alat makan, Acha membuka ponselnya ada beberapa pesan dari Sinta menanyakan persetujuan bahwa ia akan membeli sebuah TV untuk Acha. Secepat mungkin, Acha membalas tidak, untuk apa? Jika, ingin menonton film bukannya ada internet sekarang? Tinggal cari saja di laptop atau ponsel. Dasar memang, orangtua aneh, pikirnya. Sebelum meringkuk bergelung bersama selimut. Acha memastikan semua keperluaran pendaftaran kuliah sudah dipastikan aman. Jangan lupakan pula, besok adalah hari pertama pengintaian ia berharap semua akan terlaksanakan sesuai jadwal. Setelah dirasa aman, kembali membaringkan tubuhnya di sebuah kasur hanya untuk satu orang saja. Andai, ada ranjang besar seperti di kamar terdahulu. Namun, Acha harus tahu sekarang kehidupan yang beda bukan menentukan enaknya di mana. Rasa lelah membuat tubuhnya langsung teristirahatkan. Lupa dengan segala masalah, tertidur pulas. Walaupun di luar bising kendaraaan takkan pernah berhenti barang sejenak. Lantunan ayat suci di seberang kamar pula tak lagi terdengar, semua penghuni kos-kosan sudah menjumpai alam mimpi, bersiap hari esok yang dinanti. Dari luar, tepat masjid berada tak lagi tertinggal orang di sana. Semua sudah keluar menapaki jalan aspal, memutup pintunya lalu mengucap salam. Alarm yang sudah ditugaskan berdering dari ponsel Acha terdengar membangunkan, sedangkan si empu masih terpejam semakin mengeratkan selimut tebal. Memang, di sana tak terlalu dingin seperti di Bandung, hanya karena terlalu lelah dengan perjalanan menuju Jakarta membuat Acha sedikit kelelahan. Ia terpaksa meregangkan kedua tangan, di balik gorden matahari belum terlihat keluar. Namun, selawat nabi sudah tetdengar di masjid depan. Tentulah sebagai umat muslim, menunaikan Salat Subuh adalah kewajiban, termasuk bagi perempuan dengan rambut tak beraturan itu. Langkahnya gontai menuju kamar mandi, lalu diakhiri berwudu. Setelahnya menunaikan kewajiban tak lupa berdoa semoga hari ini lancar jaya, tak ada kendala. Pendengarannya tak menangkap suara ayam kokok, tentu saja di sini kota mana ada. Mungkin, jauh di dekat hutan? Acha pun membuka gorden mulai merapikan kasur tak memiliki ranjang itu. Menyapu lantai dan mengepel sampai bersih. Setelah dirasa rapi, ia membawa selembar uang karena kata Bu Siti setiap pagi di depan akan ada beberapa pedagang kaki lima yang menjajakan lauk murah. Benar saja, di luar beberapa anak kosan sudah memenuhi ambang gerbang untuk memilih teman nasi pagi ini. Kebanyakan juga mahasiswa. Jadi, Acha merasa bersyukur pasti ada banyak kenalan nanti. Setelah mengantre membeli lauk, ia kembali menaiki anak tangga, saat siap memutar knop pintu tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara lembut menyapa. Perempuan yang lebih tua dua tahun darinya tersenyum ramah, mengulurkan tangan. "Saya Anisa, teman sebelah kamar kamu," ucapnya ramah. Acha membalas senyuman manis itu. "Acha, senang bertetangga denganmu." "Oh, ya kamu calon mahasiswa?" "Iya, insya allah masuk UI," balas Acha sedikit ragu karena ia pastikan, perempuan dengan jilbab putih itu akan merasa aneh. Memang ia dipastikan keterima? Padahal untuk daftar dan sleksi lebih baik online. "Wow! Semoga keterima, ya!" "Aamiin. Oh, ya kuliah di sana juga?" Anisa mengangguk. "Iya, saya jurusan kedokteran, gimana kalo berangkatnya bareng aja?" ajaknya membuat Acha tak bisa menolak. Toh, siapa pula yang akan mengantar bersama Acha selama ia tak tahu apa-apa. Selesai berbasa-basi. Acha kembali ke kamarnya, langsung membersihkan diri lalu sarapan yang baru terasa nikmatnya. Di mana ia harus mengantre beberapa guyonan pula tertangkap pendengarannya, ah awal sangat berarti. Ia pun segera mengenakan kemeja putih dipadukan rok selutut. Tak lupa rambut sebahunya itu ditata rapi, tanpa terikat ke belakang. Wajah alami terpoles sedikit make up tak menampakan ketebalan, mungkin tak enak dilihat. Hanya perona pipi dan lipstik merah muda. Selasai dengan penampilannya, Acha menyambar tas tangan berisi berkas yang dibutuhkan. Di luar Anisa pula baru mengenakan sepatunya, mereka pun berjalan beriringan katanya butuh dua puluh menit untuk berjalan menuju kampus. Di mana, sudah tak diragukan lagi pendaftaran sangat banyak dengan sleksi ketat. Namun, Acha ingin merasakan bagaimana mengisi pertanyaan di salah satu kelas. Jika, memang ia tak diterima. Maka, ada rasa syukur bisa pernah duduk manis di sana. Ingatannya kembali kepada tujuan utama. Devid. Berarti ia harus keterima di sana. Beberapa pejalan kaki memberikan sapaan hangat. Anisa ternyata irit ngomong, ia banyak terdiam tetapi baru disadari tangannya seolah menghitung. Atau ... berzikir tepatnya? Sungguh, wanita idaman. Acha sedikit iri ia barusan merubah kebiasaan harus salat, tetapi kini didapati pula yang lebih darinya. Oh, ya mungkin itu pecutan agar benar-benar melaksanakan ibadah bukan hanya hidup mengharap segala hal, tapi lupa siapa yang harus mengabulkan itu semua. Aksara yang sudah tak diragukan berada di mana sekarang, tepat di seberang sana. Acha tak menyangka, apakah ia akan diterima pula? Anisa menyadarkan, untuk segera menyeberang. "Jangan gugup, Cha ... kamu udah pelajari semua yang akan diulangankan pastinya?" Acha menjawab cepat, "Udah, dong!" Anisa tersenyum lagi. "Bagus, kalo udah siap intinya jangan ragu. Aku yakin, kamu keterima deh." Lagi-lagi Acha hanya tersenyum kaku. "Bismillah, Aamiin." Karena tujuan Anisa yang berbeda, terpaksa mereka pun harus berpisah, sedangkan Acha tak lagi ragu harus ke mana di depan sana sebuah papan memerintah bagi calon mahasiswa untuk sleksi pendaftaran masuk ke sebuah ruangan. Penuh percaya diri, Acha mengikuti lorong di depan ternyata ada banyak pintu di sana dan sesuai dengan kejuruan masing-masing. Saat Acha bersiap memasuki ruang yang berlabel 'Sastra Indonesia' dari dalam ruangan tersebut seseorang berpakaian rapi siap keluar. Namun, di saat Acha pula masuk, maka berkas di tangan berhamburan karena tubuh mungil calon mahasiswanya tertabrak keras. "Ya ampun, maaf!" Lelaki berkacamata itu refleks menolong gadis itu bangkit, sedangkan berkas pendaftaran sudah berceceran di lantai. Beberapa mahasiswa langsung terdiam menatap keadaan, Acha pun tersenyum kecil bahwa ia tak terlalu sakit karena tabrakan barusan. "Tidak masalah, saya juga minta maaf." Acha segera membawa beberapa kertas di lantai itu lalu memberikan kepada lelaki di depannya. Yang, masih muda dan ternyata dosen di sana. Lelaki bernama Arga Williamta berkacamata sebagai ciri khasnya, terdiam menatap wajah mungil calon mahasiswa itu. Ia langsung berpaling cepat, membawa berkas pentingnya itu lalu berjalan menuju kantor.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN