13. PERSIAPAN MENDAKI

1222 Kata
"Sendiri yang mencari jawaban dari segala pertanyaan, tetapi setelah tahu jawabannya, rasanya ingin kembali ke masa tidak tahu menahu. Karena yang didapat, lagi-lagi kekecewaan." Satu minggu telah berlalu, semua peralatan pribadi telah dipersiapkan dari jauh hari. Acha masih bersama dengan Bram, untuk pertama kalinya mendaki gunung yang ketinggiannya tidak bisa dibilang gampang, dipastikan apa yang harus ada dicek kembali oleh Bram. Apalagi Acha, pikirannya entah ke mana, selama berbelanja kadang pula ia melamun terdiam, lalu Bram menyadarkan untuk bersiap pagi nanti. Setelah pertemuan akhir kemarin, mereka diberi jadwal untuk berkumpul pukul lima pagi, tepatnya di Sekretariat MAPALA, sedangkan kendaraan masing-masing diparkirkan di sana. Karena, transportasi menuju desa terakhir kaki gunung Ciremai, akan dilalui dengan bus kecil. Hanya tujuh belas orang yang ikut, padahal anggota MAPALA sangat banyak, tetapi bagaimana lagi, tidak bisa dipaksakan agar semuanya ikut. Pak Santo bilang, mereka akan aman tanpa wakilnya, pak Wawan, dia sudah ditunjuk sebagai leader, tetapi sayang, ia tidak jadi naik, ibunya sedang sakit. Untunglah dia sendiri pernah ke Ciremai juga memiliki kenalan yang berhasil menaklukan Ciremai dari tiga jalur sekaligus, yaitu Palutungan, Linggarjati dan Apuy yang akan mereka lalui nanti. Untung juga, dari kenalan pak Santo, membawa dua perempuan. Jadi, Acha dan Devita akan memiliki teman. Tepat pukul empat pagi, Acha sudah siap-siap dengan barang yang harus dibawanya. Tadi malam, Bram juga sempat memberi pesan jangan banyak pikiran dan persiapkan dengan cepat semua kelengkapan. Seperti pendaki lainnya, ada jaket, alat solat, alat makan, sandal gunung, baju ganti, topi, headlamp tidak lupa traking pole yang dapat membantu di track pendakian. Semua sudah dirapikan oleh Bram kemarin, sebuah catatan kecil menempel di botol air mineral, membuat Acha penasaran. Diraihnya kertas itu, sebuah pesan tentunya dari Bram. Berbunyi, 'Semangat, besok berangkat!' Seketika bibir mungil Acha yang selalu kaku untuk tersenyum kini melengkung, terasa sekali ada kehidupan dan seseorang yang peduli kepadanya. Acha melipat kertas itu lalu menyelipkannya ke bawah ranjang, entah untuk alasan apa. Setelah barang yang diperlukan sudah ada di dalam carrier, ia berdiri menatap pantulannya di depan cermin. "Semangat, Devid ada sama lo sekarang, Cha. Gunakan kesempatan yang mungkin, gak akan terulang!" seru Acha, mencoba menyemangati dirinya sendiri. Kumandang Azan Subuh menjadi akhir kegiatan Acha di kamar kosannya, ia solat terlebih dahulu dan tak lama ponselnya berdering, menandakan Bram sudah sampai dan berada di bawah. Acha bersiap dengan jaket tebal, seraya merapikan rambutnya yang sengaja digerai. Karena, pagi ini sangat terasa dingin sekali. Mungkin juga karena efek pertama kali akan pergi mendaki? Ah, entahlah, dirasa semuanya aman, tak lupa mengunci pintu, ia pun bergegas ke bawah. Di depan, Bram bersandar ke pintu pagar lalu memberikan senyuman. Setelan bajunya seperti biasa, celana jins hitam dipadukan kaus oblong putih, tanpa jaket hangat seperti Acha. "Dingin, ya?" Acha tersenyum kecil. "Iya, telat gak, sih?" tanya Acha, seraya melirik jam tangannya. "Enggak, ya udah masuk." Bram membukakan pintu mobilnya untuk Acha, sambil mengulurkan tangan meminta carrier-nya disimpan di jok belakang. Mobil pun berjalan dengan santai, jalanan pagi itu sedikit lenggang. Mengingat hari masih pagi dan tidak mungkin para pekerja kantoran sudah berkeluyuran. Suara musik dari radio tidak membuat pikiran Acha mengikuti lirik, ia masih memikirkam bagaimana respon ataupun ekspresi Devid ketika ia bertanya. Hanya basa-basi, untuk mengetes mengapa Devid seolah tidak mengenalinya. Sebuah bus mini sudah terparkir di depan, Bram pun memarkirkan mobilnya juga. Di gedung Sekretariat MAPALA, untung saja ada satpam. Jadi, aman menyimpan beberapa mobil dan motor, apalagi memang mememiliki gerbang. Setelah mematikan mesin mobil, Bram membawa ransel miliknya dan milik Acha, mereka terdiam menatap keriuhan di ambang pintu bus. Angin pagi berembus kencang, membuat Acha merapatkan jaketnya cepat. Bram melirik temannya itu, kerah jaket Acha terlipat ke dalam. Jadi, dipastikan masih terasa masuk angin ke dalam tubuh mungil itu. Tanpa canggung, Bram membetulkan letaknya, awalnya Acha terkejut, Bram memberikan senyuman hangatnya. "Udah, gak bakal dingin lagi nantinya." Respon Acha terlihat kaku, ia hanya mengangguk saja, lalu beberapa orang memanggil mereka untuk bersiap naik ke dalam bus. Semua carrier disimpan di bagasi. Di dalam bus, Devid dan Devita sudah duduk berdua dengan mesranya. Bagaimana tidak? Mereka sedang nonton bareng, dengan satu earphone di salah satu kuping mereka berdua. Bukan film ataupun drama Korea, tetapi pertunjukkan seni musik yang ditunggu-tunggu. Tepat di seberang, menjadi tempat duduk Acha dan Bram. Jadi, mereka akan leluasa menangkap tingkah dua manusia itu. Bram mengetahui dari raut wajah Acha, mulai tidak enak dilihat atau bisa dibilang sedang cemburu. Wajar saja, di mana mereka bersahabat sejak kecil lalu dipisahkan dan melihat adegan yang tidak diinginkan, seolah orang paling disayang direbut paksa oleh orang baru. Terpaksa, Acha memalingkan wajahnya, menatap keadaan luar. Pak Santo sudah masuk ke dalam bus, duduk di depan lalu memberikan nasehat kecil sebelum bus berjalan. "Bismillah, semoga niat baik kita berjalan dengan lancar, sampai puncak dan pulang dengan selamat. Aamiin." "Aamiin!" seru anggota MAPALA. "Nanti, kalian akan saya bagi dua kelompok," lanjutnya. Bus pun berjalan dengan cepat, membawa orang-orang yang menanti perjalanan cepat menepi di tempat tujuan. Televisi mulai dinyalakan, ada pula yang dengan santai menyalakan lagu dangdut mencoba menghibur dirinya sendiri. Begitu pula Bram, ia berbaur dengan teman-temannya, melupakan Acha yang hanya diam, tetapi telinganya masih terjaga menangkap suara lelaki di seberang sana. Devid masih sama, lelucon bobrok membuat temannya tertawa. Seperti biasa, anak lelaki selalu membicarakan hal yang jorok dan Devita yang berada di lingkaran itu malah tertawa juga, tidak mempedulikan kegilaan rekannya. Tatapan Devid terhenti, mendapati si anggota baru yang rumornya akan menjadi pacar Bram. Namun, yang membuatnya terdiam ada sesuatu seolah berbisik kepadanya. "Oi! Liatan mulu, naksir, ya?" "Hem? Siapa namanya?" Devita melirik Acha yang masih menatap ke luar jendela bus. "Acha." "Pendiem keknya, ya?" Devid mengeluarkan cemilannya dari keresek, tadi ia sempat berbelanja untuk makanan di jalan bersama Devita. Sebuah pilus berisi kacang menjadi jalan ninja awal perkenalan. Devid melempar pilus itu tepat mendarat ke kening Acha dengan keras. Acha meringis, lalu mencari-cari siapa pelakunya. Hingga, didapatinya Devid yang menahan tawa, lalu mengedipkan sebelah matanya. Devita mengisyaratkan kepada Acha, bahwa temannya itu gila, lewat telunjuk yang dimiringkan ke kening. Seketika tubuh Acha menegang. Jadi, Devid yang membanting pilus itu? Ia terdiam lama, sampai terasa bus berhenti sampai di tujuan. Acara perkenalan pun batal. Karena semua orang di dalam bus ingin cepat-cepat keluar, menghirup udara segar di kaki pegunungan. Acha tersadar, benar saja, sudah terlihat jelas Devid memang tidak mengenalinya. Langkah Acha terasa tidak semangat, tetapi ia harus kuat melakukan pendakian hari ini. Carrier semua calon pendaki sudah berada di belakang punggung masing-masing. Mereka diarahkan oleh pak Santo untuk beristirahat sejenak di base camp jalur Apuy. Beberapa pendaki terlihat sedang mengabadikan momen tepat di gerbang pendakian, kebanyakan pria di antara mereka. Bram masih di samping Acha, ia memberitahu untuk membuka jaketnya saja karena nanti akan terasa gerah. Setelah menyimpan jaketnya ke dalam ransel, mereka pun antre untuk pengecekan barang bawaan. Sebelumnya pak Santo sudah menyelesaikan administrasi dahulu. Tidak lama datang orang yang ditunggu-tunggu. Akan menjadi guide pendakian menuju puncak Ciremai. Lelaki dengan tubuh atletis dan memiliki senyum manis itu memperkenalkan diri, namanya Bubun Baharudin, dia seorang mahasiswa dari Universitas Galuh, tepatnya di Ciamis Jawa Barat. Di mana, dahulu Acha dan Devid pernah menjejakkan kaki di gunung Sawal. Ingatannya kembali kepada om Yogi dan istrinya, pasti Decha sudah besar, pikir Acha. Ada yang ingat sama Decha? Pasti udah bisa ngomong, duh, lucunya. Perpaduan nama Devid ama Acha.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN