27. TIDAK DIHARAPKAN

1220 Kata
"Sedang menghitung, banyaknya masalah yang datang, pula akan ada banyaknya kejutan di akhir likuan." Alunan musik terdengar dari ponsel Acha yang berada di atas lemari bajunya, sedangkan dirinya sendiri sedang merapikan baju yang siap dipakai nanti. Namun, pagi penuh kedamainnya menjadi berisik. Kala suara pintu yang diketuk beruntun menjadi pengganggu, Acha pun melepas colokan setrika, lalu pergi berjalan mendekati pintu. Didapatinya Sinta yang sudah rapi, wajah menornya terlihat menegaskan, bahwa ia akan ada acara hari ini. Senyuman dari sang ibunda tidak mampu memancing Acha untuk tersenyum juga. Ia tahu, pasti ada maunya Sinta datang kepadanya. "Apa kabar, Nak? Kamu lagi ngapain?" "Mau siap berangkat kuliah, Mama ngapain ke sini?" Sinta mendekap kedua tangannya. "Gak mempersilakan mama masuk apa?" Terpaksa, Acha pun melebarkan daun pintu. Memberikan jalan bagi Sinta yang ingin masuk ke dalam kosan mungilnya. Tidak ada kursi untuk menerima tamu. Jadi, Acha mengajak ibunya hanya duduk di atas ranjang kecilnya. Setelahnya, Acha menunggu apa keinginan ibunya itu. "Kamu izin ke dosen, sekarang nggak masuk kelas," titah Sinta, membuat Acha terbelalak. "Mama ngomong apa, sih? Emangnya mau ngapain? Kalo cuma bicara, sekarang juga Acha bisa dengar," protes Acha dengan cepat, ia tidak ingin tugas kuliahnya semakt8n menumpuk. Sinta membalas, "Mama mau ngenalin kamu ke sahabat mama, dia juga yang akan ngasih tempat tinggal buat kamu. Jadi, kamu gak akan ada di kamar kosan ini, lagi!" Acha tertawa kering. "Berapa kali aku nolak, Ma? Aku di sini aman dan nyaman kok! Aku mohon, jangan ganggu, emangnya selama ini aku nyusahin, ya, hidup di kosan?" Jawabannya tidak. Namun, ada rasa khawatir sebagai ibu kepada anak satu-satunya. Mengingat di Jakarta, mereka tidak memiliki kerabat yang dikenali. Acha beranjak pergi, bersiap membersihkan tubuhnya karena waktu kelas tidak lama lagi. Sinta juga tidak peduli, ia akan menunggu anaknya itu sampai mau ikut dengannya. Selama Acha berada di kamar mandi, Sinta memberikan kabar kepada sahabatnya bahwa mereka datang akan sedikit telat. Tidak lama, pintu kamar mandi terbuka Acha sudah memakai kemeja putih berpola garis-garis hitam. Rambutnya yang sebahu kembali digerai dengan rapi, Acha yang melihat Sinta masih duduk terpaksa dinyamankan itu mengembuskan napas kasar. Jadi, pagi ini ia memang harus menuruti keinginan ibunya. Namun, dengan lantang ia akan menolak untuk hidup di rumah sang sahabat yang dikatakan, nanti. Dibukanya ponsel, memberitahu kepada dosennya karena tidak bisa masuk hari ini. Acha menggeram tertahan, padahal kehidupannya akan segera menuju normal, mengingat tinggal Devid saja yang harus diluruskan. Sayang, Sinta menjadi orang yang tidak diinginkan mengganggu juga. Ia pun dengan asal memberikan polesan bedak dan lipstik warna bibir dengan cepat, setelah dirasa rapi, disambarnya tas tangan kecil. Senyuman lebar menghiasi bibir terpoles lipstik merah Sinta, ia tahu Acha menuruti keinginannya. Dirasa cukup dengan penampilan yang sederhana, Acha pun keluar dari kamarnya, lalu Sinta mengikuti. Sebelum pergi, tidak lupa mengunci pintu kosannya. Di bawah, bu Siti memberikan senyuman hangat, dengan senang Sinta bersalaman sambil basa-basi sebentar. Mobil hitam keluaran baru milik Sinta melenggang cepat, melewati pejalan kaki dan pedagang asongan, di sampingnya Acha mencoba menahan wajah malasnya, ia enggan mengikuti ajakan ibunya, tetapi bagaimana lagi? Sinta akan tetap dengan pendiriannya. Sampai, mobil pun menepi di sebuah rumah yang megah dan bergaya kekinian. Terlihat dari dekorasi, penempatan pot bunga yang menghiasi. Sinta segera menyalakan ponselnya dan sebelum melakukan panggilan, seorang wanita dengan kebaya putih dan rok batik sepan datang menyambut. Sinta tidak bisa memercayai, bahwa Sani Ayunda teman kuliahnya sangat berbeda, merubah penampilan yang dulunya seperti anak ABG menjadi perempuan Indonesia banget. Setelah berbasa-basi soal penampilan, Acha yang terlupakan, oleh Sinta diperkenalkan. "Ini anakku, namanya Acha." Sani tersenyum lembut menatap Acha yang cantik di matanya. "Cantik, ya ... udah punya pacar belum?" Sinta menahan tawa. "Mana ada, Jeng ... dia orangnya pendiem, gak asik jadi masih sendirian!" Acha masih diam, ada benarnya juga yang dikatan ibunya itu. Sebelum pertanyaan yang lain meluncur, Sani segera mengajak kedua tamunya ke dalam rumah. Aroma dari pengharum ruangan menyambut kedatangan mereka, aksesoris bersepuh emas menghiasi penjuru rumah yang dipoles cat putih bersih. Bisa dibilang seperti keraton, beberapa foto juga terbingkai dengan gagahnya. Namun, dari segala kemewahan di sana tidak Acha nikmati atau bodoamat. Toh, ia takkan pernah pindah dari kosannya. Sampai, tatapannya terhenti, menatap sosok lelaki yang duduk manis di sebuah meja berlapis warna emas. Dia tidak sedang bermimpi, lelaki yang kemarin memberikan puisi gila di kelas ada di sana, sedang fokus menatap layar laptop, tidak menyadari kedatangan tamu Sani sudah sampai. Tanpa menunggu lama, Acha segera berpaling, menggerutu di dalam hatinya. Siapa gerangan? Mengapa dosen itu ada di rumah megah milik sahabat mamanya? Pertanyaan Acha terjawab, kala Sani meminta Arga bersalaman kepada Sinta. Di sana pula, Acha bingung harus berbalik menghadap dosennya atau pura-pura fokus mengagumi hiasan rumah. Colekan di pinggang spontan membuat Acha berbalik, bersirobok langsung dengan Arga yang menatapnya tidak percaya. "Acha, ya?" tanya Arga. Sinta dan Sani saling berpandangan. "Kalian udah kenal?" tanya Sani, tidak percaya. Arga menggeleng tegas, tidak memercayai bahwa anak sahabat ibunya itu justru mahasiswanya sendiri. Tadi malam, Sani berkata bahwa Acha akan pindah ke rumahnya? Apakah Tuhan memang memberikan jalan kepada Arga sangat gampang? Untuk mendapati gadis yang dikabarkan dekat dengan Bram. Namun, ia tidak peduli sama sekali. Semua hubungan dapat ditikung dengan gampang, sebelum ijab qabul terdengar. Setelah acara perkenalan yang tidak terbayang. Sani meminta Arga menemani Acha mengelilingi rumah mereka, mengenalkan isinya karena Acha tidak lama akan menjadi bagian penghuninya juga. Detik itu pula, Acha ingin menolak, langsung pergi menuju kampus. Namun, bagaimana jika penghambatnya adalah dosennya sendiri? Ah! Acha mulai benar-benar muak kepada Arga, sedangkan Arga sendiri menikmati apa yang ibunya inginkan, apalagi mengingat Sinta juga sangat menyukainya. "Gak sangka loh, ternyata Arga dosennya? Kayak di film-film, nih ... bisa besanan dong," kelakar Sinta, tidak mempedulikan raut wajah Acha yang kentara muak dengan keadaan tidak memihak kepadanya. Terdengar Sani menimpal, "Nanti juga gampang, Jeng, kalo mau ke kampus tinggal berdua aja, mau ngerjain tugas minta aja ke Arga. Makin lengket aja, deh, mereka!" Gelak tawa pun pecah dan langkah Acha semakin menjauhi obrolan basi itu. Mereka berhenti di halaman belakang, Arga memasukkan kedua tangannya ke saku celana. Menghalau dinginnya udara yang berasal dari sepoi angin hutan di depan mereka. Ia menikmati pagi itu, paras alami yang dimiliki Acha membuatnya terkagum-kagum. Acha itu terbiasa dengan penampilan yang biasa. Jadi, sangat langka di antara mahasiswanya yang berlomba-lomba menghias diri sampai berani, tidak makan demi membeli skincare. Dihirupnya udara dalam, lalu Arga berucap, "Kamu kayak gak suka sama keinginan ibu kamu." Jangan tanyakan, bukankah sudah terlihat hanya dari raut wajah Acha saja? Jadi, Acha tidak menjawab ucapan Arga yang tidak penting baginya. Bodoamat dengan sikap tidak sopannya, ia memang menolak keinginan Sinta yang meminta tinggal di rumah sang sahabat dan dosennya sendiri. Arga mendekap kedua tangannya di d**a, ia mencoba membuat Acha berbicara dengannya. "Saya juga dulu pernah naik gunung, tapi sayangnya enggak sampai puncak. Karena, ya ... ada banyak rintangan membu—" "Saya nggak tanya, Pak." Arga mendongak, sedingin itukah Acha kepadanya? Padahal waktu awal mengenal, Acha adalah mahasiswa paling dekat di antara mahasiswa lainnya. Mengingat setelah waktu pulang, Acha dengan nyaman masih berada di kelas lalu bertanya soal materi yang tadi disampaikannya lagi. Tanpa Arga tahu, Acha bersikap demikian hanya mengulur waktu, menunggu fakultas Jurnalistik keluar, bukan berharap berduaan. Ya amponn, masalah datang lagi nih, kapan selesainya, ya. Guys, aku up satu bab, soalnya tadi keluar rumah. Akhirnya males nulis _-
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN