25. BERSAING SECARA SEHAT

1180 Kata
"Tetesan air langit kembali menjadi saksi pertemuan yang nyata. Walaupun masih teringat tentang luka yang sama, dirasakan saat hujan pula." Pengeras suara berdengung, menandakan penampilan mereka akan segera menghibur para tamu yang terjebak di daam kafe karena hujan yang semakin lebat di luar sana. Begitu pula Acha, ia menahan makian menjadi geraman yang hanya dia sendiri yang mendengar. Jadi, mereka sering manggung di kafe? Ya, itu kata Bram dan sekarang Acha sendiri menjadi penontonnya. Pantas saja akan banyak perempuan yang semakin mengenal. Sayang, rumor mengatakan Devita selalu cepat meruntuhkan hubungan. Dari arah belakang, masih dapat Acha pantau, Devid sedang mengetes pengeras suara keduanya, sampai tangannya memetikkaan gitar elektronik. Tidak lama, suara yang tidak bisa dibohongi memang ada benarnya, milik Devita merdu berdengung mengisi sampai ujung kafe, memberikan salam menyapa ala anak Jakarta. Beberapa tamu juga melambaikan tangan, ternyata mereka sudah memiliki penggemar tetap yang berkelompok. Jadi, setiap Devid dan Devita manggung, dipastikan ada mereka dan dinamakan, Double D. Acha mengelus dadanya menenangkan. Oh, sudah punya penggemar tetap, ya? Tidak lama, Devid berucap, "Selamat sore para pecinta kopi, mengisi hari duduk di ruang ini, ditemani gemericik hujan penghalang pulang. Jangan gundah, ada kita yang akan memberikan senandung resah, sampai waktu yang memisahkan kita." Sorakan penghuni kafe menyadarkan Acha, pintar berkata-kata juga ternyata Devid. Ia pun menegakkan tubuhnya, masih tanda tanya apakah dari depan tubuh mungil Acha terlihat? Harus, ia akan merencanakan sesuatu agar temannya menyadari kehadirannya. Sampai, petikan gitar terdengar mengalun indah, memberikan kenyamanan yang nyata, kala hujan dan suhu dingin menerpa bersamaan. Bahu Devita meliuk-meliuk mengikuti irama, hingga suara emasnya yang keluar menambah nyaman bersandar di bahu pacar. "Pergi saja, engkau pergi dariku ... biar kubunuh perasaan untukmu .... Meski berat melangkah, hatiku hanya tak siap terluka ...." "Beri kisah kita sedikit waktu ... semesta mengirim dirimu untukku ... kita adalah rasa yang tepat, di waktu yang salah, di waktu yang salah ...." Suara Devid menjadi akhir lagu yang dibawakan pertama oleh mereka. Riuh tepuk tangan dan sorakan tidak mampu menghalangi pandangannya dari sosok Acha yang ada di ujung. Ya, Devid menyadari kehadirannya, lalu untuk lagu kedua Devita memberikan kesempatan kepada pengunjung, pemilik telunjuk paling ujung yang cepat mengacung. Di sana pula, Devita terdiam lama, mendapati Acha yang sangat tidak diinginkannya. "Judulnya apa, Mba?" tanya Devita, dengan sopan menjaga tutur kata di depan teman yang tidak tahu malu ingin merebut Devid darinya. Acha beranjak dari duduknya, beberapa pengunjung juga menatapnya menunggu jawaban. "Cinta dan Rahasia." Devita tahu, dari inti lagunya mengisahkan bahwa sahabat sendiri berani menikung. Semua karena cinta, jangan salahkan kenyataan yang ada. "Ok, request-nya kami catat, ada lagi?" Namun, tidak ada yang mengacungkan tangan. Mungkin, sore ini kesempatan hanya untuk Acha sendiri, menikmati lagu yang dibawakan. Tanpa membuang waktu, Devid langsung memetik gitarnya. Tidak disadari, bahwa lagu yang Acha minta sebagai pecutan untuk Devita. Ia tidak salah menyukai Devid, tetapi ingat cinta tidak bisa disalahkan. "Kucinta padamu .... Namun kau milik sahabatku, dilema hatiku ... andai kubisa, berkata sejujurnya ...." Susah payah, Devita menjaga agar raut wajahnya enak dipandang, sialan memang Acha beraninya datang ke kafe yang diharapkan damai di tengah hujan. Nyatanya sangat menyebalkan, lirik berikutnya dibawakan oleh Devid dengan tenang, sedangkan dirinya masih menahan emosi ingin sekali membanting pengeras suara ke kepala Acha, detik utu juga. Namun, jangan sampai, semua bisa berantakan akan nama baiknya. Tunggu di waktu yang tepat. "Bukan ... kuingin merebutmu, dari sahabatku .... Namun kau tahu. Cinta tak bisa, tak bisa kau salahkan ...." Sebagai akhir, Devid dan Devita menyanyikannya bersama. "Tak bisa kau salahkan ...." Gatal tangan Devita hanya memegang pengeras suara, ia pun mendaratkan jemarinya di bahu Devid sebagai akhir lagu kedua. Tepuk tangan kembali meriah, sedangkan Acha tersenyum kecut sambil menyesap kopi hitamnya yang mulai dingin. Rintik hujan di luar sudah berhenti, satu per satu penghuni kafe juga keluar, mendekati parkiran di mana kendaraan terparkir kehujanan. Namun, tidak dengan Acha, ia masih menikmati suasana kafe. Tidak diminta untuk datang menyapa, Devid duduk di depannya, sedangkan Devita mulai dengan lagu barunya ditemani gitaris lain. "Sengaja nonton?" Acha menatap sinis Devid sok ngarep emang. "Apaan, gua gak tau kali lu mau manggung!" "Kirain aja gitu, gimana suara gua bagus, gak?" "Biasa aja!" ketus Acha, lalu kembali menyesap tegukan kopi terakhirnya. "Bagusan punya Devita." Devid mengangguk. "Soal kontak lu diblokir, gua gak ngerti sumpah." Jadi, apakah hari ini menjadi bukti persaingan dimulai? Di depan Devita langsung? Tidak perlu memanggil perempuan itu untuk menghampiri, sosok Devita yang memakai hoodie couple dengan Devid, mendekat dan duduk di samping mereka. Memberikan senyuman lebar dan berkata, "Thanks udah nonton, gak nyangka gua." Ya ... sok asik, batin Acha seraya ngemil nacho penuh keju mozzarella. "Iya, gua juga nggak nyangka bakal nemu kalian manggung," balas Acha, mengikuti drama yang dibuat Devita. Sekarang giliran Devid yang mengatur percakapan. "Malem itu, lo blokir kontak Acha dari hp gua, Vit?" Seketika Devita melirik Devid dengan tegang, tahu dari mana lelaki itu? Sampai, pandangannya beralih kepada Acha yang pura-pura tidak mendengar. "B—blokir apaan! Kagak, ih masa gua blokir kontak lu, Cha!" sangkal Devita, tetapi dari gerak bicaranya kentara menyimpan rahasia. "Gua sendiri yang buka blokirannya, Devita ... masa iya mama gua, gak ada kerjaan kali!" Tante Dinda, apa kabar? Batin Acha, tubuhnya gemetar mengingat tatapan aneh yang diberikan waktu meninggalkan Kota Bandung malam itu. "Ya, bukan gua serius! Buktinya juga lo gak punya," protes Devita, masih dengan keyakinannya tidak akan jujur. Devid mendengkus. "Ya udahlah, Cha, asalkan kontak lu udah gua save, kok!" putus Devid seraya beranjak pergi. Karena waktu istirahatnya telah habis, pengunjung kafe juga semakin bertambah. Sebelum Devita menyusul Devid, ia sempat melirik sinis Acha. Lalu pelan berbisik, "Berani saingan, ya." Acha mendengar, tetapi ia menikmati saja makanan yang ada di mulutnya. Bodoamat apa yang barusan Devita ucapkan, sekarang mereka benar-benar saingan. Harus mendapatkan Devid seutuhnya. Namun, ada banyak rintangan juga bagi Acha, ia belum berjumpa dengan Dinda dan sangat ingin bertanya, alasan ibu satu anak itu menjauhkan dirinya bahkan tanpa meninggalkan jejak, seperti memberi alamat rumah atau nomor telepon. Dering ponsel milik Acha menyadarkan, nama Bram tertera di sana. "Halo, Bram?" Suara musik di kafe menghambat pendengaran Acha, ia pun berjalan menuju ruang belakang, tepatnya kamar mandi umum. "Lu di mana? Gua ada info, tentang Devid." "Di kafe, sekarang Devid sama Devita lagi manggung. Nanti gua kabarin lagi, sekarang otw pulang, ya!" "Eh, tunggu aja kalo gitu gua ke sana, jangan ke mana-mana," putus Bram. Acha menurut saja, sambil menunggu kedatangan Bram ia memesan kembali kopi hitam. Tidak lama kemudian, Bram terlihat mencari-cari keberadaannya, sampai Acha pun melambaikan tangan. Devid tahu dan ia sedikit melirik tidak suka, sedangkan Devita mengepalkan kedua tangannya geram. Bram duduk di depan Acha, katanya jangan bicarakan Devid di sana, Acha pun menurut lalu pergi bersama keluar dari kafe. Di saat itu pula gerimis datang lagi, dengan cepat Bram melepas jaket jinsnya dan menjadi penghalau air hujan bagi mereka berdua. Hampir saja Devid tidak fokus dalam memainkan gitar, hingga tubuh Bram dan Acha menghilang. Suara Devita menjadi alunan sore itu, berakhir kumandang Adan Magrib dan petikkannya juga berhenti. Devid menyimpan gitarnya, melirik tempat duduk bekas Acha. Anehnya, dia tersenyum kecil lalu pergi menuju ke musola. Napa senyum-senyum sendiri, Dev _-
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN