HAPPY READING
***
“Kayaknya saya nggak sempat sarapan, saya mau ke kantor buru-buru,” Victor menyesap kopinya sambil melirik jam melingkar di tangannya, ia memandang Ova sekali lagi.
Mini dress superketat itu, membuatnya sulut berpikir jernih. Ternyata tubuh Ova begitu molek dan mempesona. Paha mulus Ova terekspos sempurna rasanya ingin membawa wanita itu ke ranjang.
Victor memjamkan mata sejenak mencoba menjernihkan pikirannya, beberapa detik yang lalu ia sudah terhipnotis dengan tubuh Ova. Ova itu bukan tipikal wanita kurus kering seperti Stella, dia memang langsing namun langsingnya sehat karena rajin berolahraga.
“Saya bawain bekal aja ya pak,” ucap Ova, ia memasukan makanan itu ke dalam tempat untuk lock & lock.
“Jangan Ova, saya nggak pernah bawa bekal kalau pergi kerja.”
“Ah, enggak apa-apa pak. Kalau sama saya bapak harus bawa,” Ova memasukan pancake, brownies, beberapa buah dan air mineral botol. Ia masukan ke dalam tas bekal.
“Tapi Ova …”
Ova memeperlihatkan pouch berwarna hitam kepada Victor, “Ini bekal untuk bapak. Bawa aja,” ucap Ova, ia menyerahkan kepada Victor.
Victor menatap Ova sekian detik, ia tidak kuasa untuk menolak dan ia mengambil pouch itu dari tangan Ova.
“Hari ini kamu nggak kemana-mana kan?” Tanya Victor.
“Enggak pak, saya tetap jaga rumah sampai bapak datang. Kalau saya keluar pasti ngasih tau bapak.”
“Kamu tau nomor ponsel saya?”
“Kemarin saya dikasih ibu.”
“Coba test, soalnya saya nggak tau nomor ponsel kamu.”
“Baik pak, nanti saya test,” ucap Ova.
Ova mengikuti langkah Victor hingga ke basement. Pria itu masuk ke dalam mobil BMW berwarna putih itu. Victor memanaskan mobil dan ia melangkah menuju pintu pagar. Pak Toni tidak ada di post karena penjaga rumah ini masuk malam. Ova melihat mobil mendekati pintu pagar, kaca mobil terbuka pria lalu memandangnya.
Mereka saling berpandangan satu sama lain.
“Saya pulang sore,” ucap Victor.
Harusnya ia tidak perlu memberitahu prihal kepulangannya, itu hak dirinya untuk pulang sore atau malam. Namun entahlah ia sepertinya perlu memberitahu Ova, karena ia tidak ingin Ova menunggunya terlalu lama.
“Iya pak, saya tunggu di rumah,” ucap Ova.
Semenit kemudian mobil itu meninggalkan area rumah. Ova menutup pintu pagar kembali, Ova melangkah masuk ke dalam, mengunci semua pintu. Ova menuju tangga, ia akan mengemasi kamar Victor, setelah itu membungkus brownies akan ia bagikan sore hari ke tetangga, setelah ini ia bebas bisa tidur siang.
***
Victor melirik papaerbag yang dibawakan oleh Ova. Ini merupakan sejarah dalam hidupnya menenteng tas bekal. Namun ia tetap membawanya menuju kantor. Victor melirik jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 09.45. Jarak rumahnya dan pabrik cukup jauh karena pabrik itu berada di Bekasi, butuh waktu satu jam untuk tiba di pabrik ini, itupun lewat jalur tol agar terhindar dari macet.
Victor melangkah menuju kantor, di sana sudah ada papa yang sedang ngobrol bersama Sendy seketarisnya. Victor tersenyum dan mendekati mereka.
“Pagi pa, pagi sendy,” Victor membuka pintu office, ia memandang kantor yang sudah ia tinggalkan dua Minggu lamanya, masih terawat dengan baik, mungkin OB setiap hari membersihkannya.
“Pak juga pak,” ucap Sendy tersenyum ramah.
“Pagi juga Vic,” papa mengikuti langkah Victor masuk ke dalam.
Victor meletakan pouch itu di atas meja, ia melihat Sendy membawakan secangkir kopi kepadanya. Ia melihat papa duduk di hadapannya. Jika papa ke kantor seperti ini, pasti ada hal yang tidak beres di kantor ini.
Victor tahu bahwa papa nya adalah orang paling jenius yang pernah ia temui. Beliau tahu apa yang harus di lakukan karena ia mengelola perusahaan puluhan tahun lamanya. Beliau sangat jeli jika berbicara soal keuangan, apalagi terhadap penyimpangan.
Tim audit mulai melaksanakan tugasnya hari ini. Tugas tim audit yang ia bentuk untuk mencari dan menemukan kecurangan serta kesalahan, kemudian berkembang menjadi pemeriksaan laporan keuangan. Mereka memeriksa seluruh dokumen yang dibutuhkan mencakup salinan laporan, rekening koran, nota keuangan, dan buku besar.
Jujur ia sangat jeli membaca laporan keuangan ia cukup teliti menganalisis laporan-laporan yang masuk. Apa yang papa baca ternyata sama apa yang ia pikirkan. Papa meletakan laporan itu ke atas mejanya. Beliau memandang Victor membawa pouch berwarna hitam.
“Kamu bawa apa Vic?” Tanya papa penasaran.
“Owh ini, sarapan dari Ova?” Victor duduk di kursinya.
“Sarapan apa?” Tanya papa.
“Victor nggak tau pa, tadi buru-buru. Di paksa suruh bawa, buat makan di kantor.”
Victor membuka releting pouch itu dan mengeluarkannya di hadapan papa. Victor membuka penutup tempat itu dan memperlihatkannya kepada papa.
“Pancake banana, brownies, buah sama air mineral pa,” ucap Victor memperlihatkannya kepada papa.
“Ini pembantu kamu yang buat?”
“Iya.”
“Rajin banget pembantu kamu, pagi-pagi buat brownies, pancake.”
Victor hanya tersenyum, “Ya biarin aja lah pa, suka-suka Ova,” Victor lalu duduk di kursi, ia memandang sang papa.
“Cobain pa, papa belum sarapan kan,” Victor menyesap kopi buatan Sendy. Jujur ia lebih suka kopi buatan Ova dibanding Sendy.
“Sarapan roti buatan mama kamu,” Papa Victor mengambil sendok dan mencicipi pancake bertoping madu dan blueberry itu.
“Pihak keuangan pikir kamu nggak tau kalau ada pengeluaran banyak,” papa Victor menyicipi pancake.
“Iya, mereka pikir saya nggak jeli pa. Padahal saya sudah menandai dengan tim audit bagian mana yang kursial. Bulan kemarin sih masih aman pa, enggak ada kecurangan, namun laporan keuangan bulan ini enggak belance dengan keuangan saya di New York.”
“Walau nggak terlalu banyak, tapi kecurangan ya tetap kecurangan. Saya beli furniture pribadi di pabrik aja bayar pa, agar belance dengan hasilnya.”
“Iya kamu benar. Anak papa memang jenuis.”
“Pabrik yang di Cikarang bagaimana?” Tanya papa.
“Fine aja sih pa di sana. Yang di Bekasi aja nggak oke. Kalau ketahuan yaudah manager keuangannya dan staff-staff nya diganti semua.”
“Iya kamu benar jangan pekerjakan mereka lagi.”
“Enak nih pancake pembantu kamu, lembut, nggak terlalu manis, dan enak,” ucap papa, suapan pertama berlanjut kesuapan berikutnya.
“Katanya aman pa, nggak pakek gula, pakek gula diet sama manis dari pisang.”
“Wah pembantu kamu bagus tuh, ngerti soal kandungan, gizi, gula, vitamin. Pertahanin pembantu yang ngerti soal kesehatan.”
Victor lalu tersenyum, melihat papa menyucipi semua masakan Ova, “Dia sebenarnya, pembantu apa istri kamu?” Tanya papa.
“Pembantu saya papa.”
“Jadi istri juga nggak apa-apa Vic, dari pada tetangga kamu nyangkanya kamu kumpul kebo sama Ova,” sahut papa.
“Ah, papa.”
“Papa cuma kasih saran aja, kan kamu yang bilang kalau pembantu kamu yang sekarang cantik banget, terus mantan kerja di kantor juga.”
“Mikirnya kejauhan papa, masa nikah sama pembantu sendiri.”
“Ya nggak apa-apa lah, kalau jodohnya pembantu sendiri nggak masalah buat papa. Dari pada kamu nggak nikah-nikah, masakan enak gini. Jarang ada cewek yang pinter masak.”
“Kalau papa jadi kamu betah di rumah pasti.”
Victor lalu tertawa, “Ya gimana lagi pa, bukan enggak betah di rumah, tapi kantor saya ada dua, di sini sama New York. Susah kalau cuma stay di Jakarta, mau nggak mau saya harus balik ke New York.”
“Ova Bawa aja ke New York sekalian nemenin kamu di sana.”
Victor lalu tertawa memandang sang papa, “Papa ngajarin yang nggak-nggak nih.”
“Emang kamu enggak tertarik sama Ova?”
“Victor masih normal pa, masih demen model kayak Ova. Papa gimana sih !”
“Yaudah nikahin sana.”
“Buru-buru amat mau nikah pa,” Victor lalu tertawa.
“Papa belum pernah kan makan hasil masakan Ova !”
“Belum, bagaimana masakannya?”
“Enak banget, masakan bi Darmi aja kalah.”
“Kapan kamu undang papa makan di rumah kamu?”
“Nanti deh selesain audit, masih repot, kerjaan banyak,” Victor lalu tertawa.
***
Victor melirik jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 16.20 menit. Ia memarkir mobilnya di halaman depan rumah. Ia masuk ke dalam pintu utama, rumahnya tidak ada yang berubah kecuali lampu sudah ruang tengah menyala.
Ia mencari keberadaan Ova. Ternyata wanita itu berada di Kitchen dia sedang memasuka dessert box ke dalam kulkas. Ia menelan ludah, karena ia memandang Ova sedang mengenakan celana jins super pendek dan tang top ketat berwarna putih sehingga ia dapat mellihat paha mulus dan d**a penuuh berisi dari tubuh Ova. Rambut panjangnya diikat kebelakang sehingga terkespose leher jenjang wanita itu.
“Selamat sore pak,” ucap Ova.
“Selamat sore juga Ova,” Victor menarik nafas, menahan diri agar tidak tergoda dengan pembantunya sendiri.
Victor meletakan pouch itu di atas meja. Sisi liarnya menjadi-jadi, bagaimana tubuh Ova ketika di ranjang? Apakah wanita itu bisa bermain yang handal? Apakah dia tipe wanita pasif? Atau sebaliknya dia sangat aktif di ranjang. Apa Ova sengaja ingin menggodanya? Atau dirinyalah yang sedang turn on.
Victor menahan nafas beberapa detik dan lalu memejamkan matanya sejenak. Ia memandang Ova mengambil pouch di meja, sehingga ia dapat melihat cleavage Ova.
“Saya mau berenang,” ucap Victor pada akhirnya, jujur saat ini ia ingin sekali membawa Ova ke ranjang, namun pikirannya masih waras dan menghindar.
“Iya pak, saya siapkan handuknya,” Ova memeriksa tempat bekalnya, semua habis tidak tersisa. Ia terssenyum, besok jika Victor ke kantor lagi ia akan membawakan bekal makan siang.
Victor melangkah menuju gazebo, ia membuka kemeja dan celana panjangnya dan hanya menyisakan boxer. Ia lalu menceburkan diri ke dalam kolam. Ia tidak ingin Ova melihat jakunnya naik turun. Bisa-bisanya Ova berpakaian seperti itu di hadapan dirinya. Kenapa wanita itu tidak paham tentang kasus-kasus pelecehan seksual yang terjadi antara pembantu dan majikan di media. Sedangkan pembantunya saja berpakaian terbuka seperti itu dengan bebasnya. Ia pria normal, hal seperti itu bisa ia lakukan dengan mudahnya. Tinggal tarik tangan ova dan mengurung wanita itu ke tempat tidur.
Victor berenang kesana-kemari, karena kesal luar biasa dengan dirinya sendiri. Bisa-bisanya menginginkan Ova yang baru bekerja dengannya selama dua hari.
“Bapak mau saya buatin nasi goreng nggak?” Ucap Ova ia menggantung handuk putih di sisi gazebo.
Victor masih berenang tanpa memperdulikan ucapan Ova. Lihallah pakaian itu lebih mirip hendak berenang dari pada memasak. Mungkin kemarin dan tadi pagi ia bisa tahan atas godaan Ova, namun sekarang sepertinya ia tida bisa berpikir secara jernih.
Victor muncul di permukaan memandang Ova yang masih berdiri di dekat kolam. Ia menatap wajah wanita cantik itu.
“Bapak saya buatin nasi goreng atau mie goreng?” Tanya Ova sekali lagi memberi opsi.
“Nasi goreng,” ucap Victor, ia kembali berenang lagi.
“Baik pak,” Ova tersenyum lalu melangkah menuju kitchen, ia akan membuatkan nasi goreng kampung untuk boss nya.
Victor berenang ke sana kemari, ia perlu olahraga. Ia tahu bahwa semua orang memiliki kekurangan dan kelebihan masih-masing. Ia pikir bahwa kekurang Ova cuma satu, wanita itu tidak tahu bagaimana cara etika berpakaian di hadapan pria. Apa wanita itu merasa bahwa ia tinggal di sini bebas menenakan pakaian apa saja? Apa dia pikir hidup sendiri? Apa wanita itu pikir ia tidak tertarik dengan d**a, b****g dan paha.
Beberapa menit kemudian, Victor muncul di permukaan. Ia memandang Ova membawa tray berisi nasi goreng dan soup buah segar ke gazebo. Wanita itu merapikan kemeja dan celananya, dia mengeluarkan dompet dan kunci mubil dan meletakan dekat tray. Setelah itu wanita meninggalkannya membawa pakaiannya masuk ke mesin pencuci.
Victor melangkah menuju gazebo ia menatap nasi goreng dan sop buah di sana. Victor mengambil handuk dan melingkarkan handuk itu ke sisi pinggang. Ia melirik Ova yang melangakah mendekatinya. Ia sudah menahan diri untuk tidak tertarik dengan kemolekan tubuh Ova. Lalu memilih duduk karena rasa laparnya melanda.
“Silahkan di makan pak makananya,” ucap Ova duduk di gazebo yang sama.
“Kamu nggak makan nasi goreng juga?”
“Udah kenyang pak, tadi siang jam 1 saya makan sendiri, jadi saya makan sop buah aja, sekalian nemenin bapak makan.”
Victor mengambil piring berisi nasi goreng dan telur mata sapi. Victor mulai mencicipi nasi goreng buatan Ova, nasi goreng itu rasanya sangat enak. Ova selalu tidak pernah gagal jika soal masak memasak. Victor kembali melirik Ova yang duduk tidak jauh darinya.
“Kamu tadi sudah kemasi kamar saya?” Ucap Victor membuka topik pembicaraan.
“Iya sudah pak.”
“Brownies kamu sudah dibagikan ke para tetangga?”
Ova lalu mengangguk, “Iya pak sudah, bu Ani, ibu Feli dan ibu Jesi ngucapin makasih.”
Victor memakan nasi goreng itu lagi, “Kamu jadi mau ikut arisan 200 juta?” Tanya Victor.
“Kalau saya sih nggak ada uang pak, ikut arisan 200 juta. Bisa jual ginjal, kalau ikut gituan pak,” Ova lalu terkekeh.
“Ikut saja, nanti saja kasih uangnya. Enggak enak ditawarin kalau nggak ikut. Hitung-hitung saya nabung.”
“Iya pak. Katanya sih goncang mati, jadi kita sudah tau urutannya.”
“Owh gitu, kamu urutan nomor berapa?”
“Besok pak mulainya di rumah ibu Feli, semoga kita langsung dapat ya pak urutan awal-awal.”
“Iya, semoga saja.”
Victor menghabiskan nasi goreng buatan Ova, ia lalu beralih makan sop buah. Rasanya sangat segar untuk melepas dahaga.
“Kamu pakek pakaian itu waktu nganterin brownies?” Tanya Victor menyelidiki.
“Enggak lah pak, saya pakek dress saya yang tadi pagi. Kebawaan saya habis mandi tadi, panas banget pak,” Ova menjelaskan.
“Kan ada AC, emang nggak dihidupin?” Victor memakan sop buahnya lagi.
“Kamar saya nggak ada AC nya pak. Cuma ada kipas angin.”
“Hemmm begitu.”
“Mau pindah kamar nggak?”
“Kamar siapa pak?”
“Kamar saya Ova.”
Ova mengerutkan dahi, ia melirik Victor, pria itu menyungging senyum, “HAH ! Kamar bapak?”
Victor lalu tertawa, “Iya kamar saya, dingin AC nya central.”
“Ih bapak.”
“Kita tidur berdua di kamar. Mau nggak?”
“Ih, bapak.”
“Nggak mau?”
“Enggak !”
Victor lalu tertawa, “Saya cuma becanda Ova.”
“Ih kirain beneran. Jadi takut saya.”
“Takut kenapa?”
“Takut bapak anuin saya.”
“Kalau saya beneran anuin kamu bagaimana?”
“HAH !”
Victor meletkan sop buah itu ke tray, ia bangkit beridiri dan ia dekatkan tubuhnya ke Ova. Ova yang tidak siap hanya bisa mematung memandang wajah Victor dari jarak dekat seperti ini. Kegugupan melanda Ova, jantungnya maraton.
“Kamu tahu apa yang saya pikirkan saat ini?” Tanya Victor.
“Apa …” gumam Ova pelan.
“Saya akan mencicipi sop buah ini dari pemiliknya langsung, saya yakin rasanya lebih manis,” ucap Victor ia lalu mengecup bibir Ova begitu saja dan kecupan itu kini berubah menjadi lumatan-lumatan kecil. Tangan kanan Victor memegang tengkuk Ova dan tangan kiri itu meletakan sop buah yang di pegang Ova.
Tubuh Ova gemetar, ia menarik diri melepas kecupan itu,
“Apa yang bapak lakukan?”
“Saya melakukan apa yang saya pikirkan,” bisik Victor, lalu mengecup bibir Ova kembali.
Ova merasakan nafas hangat Victor memburu mengecupnya secara lembut. Membuat Ova tidak bisa berpikir jernih, ia membalas kecupan Victor tidak kalah lembuatnya. Kecupan awalnya pelan kini ritmenya semakin cepat.
Victor tersenyum ia mengecupnya lebih dalam, ia memainkan lidah. Mereka saling mengecap satu sama lain. Mereka sama-sama tidak kuasa menolak hal ini. Victor manarik pinggang Ova merapat ketubuhnya tanpa melepaskan kecupannya. Kecupan itu semakin panas tangan Victor perlahan meraba perut rata Ova, kulit itu sangat halus bahkan lebih halus dari wajahnya.
Ova tidak menolak pesona Victor, jauh dilubuk hatinya ia mendambakan sentuhan dan kehangatan. Ia tidak tahu Victor, apakah dia menginginkan apa yang ia pikiran. Ia ingin menyerahkan seluruh tubuhnya kepada pria itu. Hembusan nafas mereka saling beradu, tidak ada sedikit berniat untuk mengakhirinya.
Ova sadar bahwa tubuhnya kini berada di dekapan Victor, Victor melepas kecupannya. Bibir Victor kini beralih ke kelehernya, ia memberi akses lebih untuk Victor mengecupnya lebih dalam. Kecupan semakin panas, sehingga suara-suara koperatif ditimbulkan tanpa perintah. Entah sejak kepan ia merindukan sentuhan seperti ini.
Ova lalu tersadar, ini merupakan tindakan yang seharusnya tidak ia lakukan. Ia lalu melepaskan diri dari dekapan Victor dengan sekuat tenaga.
“Maaf …” ucap Ova pelan, ia lalu berlari menuju kamarnya.
Sementara Victor memandang Ova menghilang dari pandangannya. Ia menggeram kesal, apa yang telah ia lakukan terhadap Ova. Ia lepas control, Victor memejamkan mata, ia mengusap wajahnya dengan tangan dan mengumpat berkali-kali.
***