HAPPY READING
***
Victor membuka matanya secara perlahan, ia merenggangkan otot tubuhnya. Ia mengambil ponsel memandang ke arah layar, jam itu menunjukan pukul 01.20. Ia sudah tertidur lima jam lamanya, rasanya luar biasa puas. Victor menegakkan tubuh, ia melangkah menuju kamar mandi, ia menghidupkan wastafel lalu mencuci muka.
Rasa lapar melanda, ia tahu bahwa ini adalah hal normal karena pencernaanya dalam keadaan kosong ketika tidur tadi. Victor mengambil handuk wajah yang menggantung di dinding. Ia teringat wanita bernama Jovanka. Wajah cantik itu masih terbayang dalam ingatannya. Victor mengusap wajahnya dengan handuk. Ia merapikan rambutnya dengan tangan, ia menggantung lagi handuk di tampat semula.
Victor lalu keluar dari kamar, ia menuruni tangga ia mencium aroma makanan di sana. Ia menatap Ova berada di kitchen, wanita itu sedang menaruh makanan di dalam piring.
Wanita itu menyadari kehadirannya dan lalu tersenyum. Lihatlah betapa cantiknya dia ketika bibirnya terangkat. Dia masih mengenakan pakaian yang sama.
“Siang pak,” ucap Ova.
“Siang juga,” Victor melangkah menuju meja makan, ia mengambil gelas dan menuangkan air mineral yang ada di teko. Ia duduk di kursi sambil memandang ke arah kolam. Keberadaan wanita itu membuatnya canggung di rumahnya sendiri, bahkan waktu juga seakan bergerak lebih lambat. Apa mungkin karena ia terlalu banyak berpikir.
Victor menguk air mineralnya, ia melirik wanita itu mendekatinya sambil membawa piring hasil masakannya.
“Saya siapin makanan untuk bapak,” ucap Ova.
Ova meletakan piring berisi tumis buncis wortel, salad ayam, udang tempura dan semur telur puyuh dan tahu. Tidak lupa nasi hangat tersaji di piring keramik putih yang lebar.
Masakan yang dibuat oleh Ova semua masih fresh dan sangat menggunggah selera. Masakan yang simple menurutnya, ia suka masakan rumahan seperti ini dari pada makan di luar. Bukan ingin berhemat namun rasanya lebih nikmat. Oleh sebab itu ia selalu mencari asisten rumah tangga yang pintar memasak. Victor memandang Ova wanita itu melangkah menjauh setelah menyajikannya.
“Ova,” ucap Victor.
Otomatis Ova menoleh ke arah sumber suara, ia memandang Victor, “Iya pak.”
“Kamu mau ke mana?” Tanya Victor.
“Mau ke kamar saya pak,” ucap Ova pelan.
Victor memandang wajah cantik itu. Tadi pagi rambut wanita terurai, kini rambut wanita itu tergulung ke atas, sehingga wajah cantik itu terlihat jelas,
“Temani saya makan.”
Ova menelan ludah seketika tubuhnya bergeming dan ia mengangguk, “Baik pak,” Ova melangkah mendekati meja.
Ova pikir pria itu bisa makan sendiri tanpa ditemani olehnya. Apakah dulu pria itu makan semeja dengan asistennya? Apakah ia harus menemani pria itu breakfast, lunch, dinner seperti ini? Semeja berdua? Rasanya tidak etis personal asisten menemani boss nya makan seperti ini.
“Kamu belum makan kan?”
“Belum pak.”
“Makan sama-sama kalau begitu,” ucap Victor.
“Baik pak,” ucap Ova.
Ova mengambil nasi di piringnya, ia menatap Victor mengambil lauk pauk yang ia buat. Ia tidak tahu selera makan Victor bagaimana, namun dia sama sekali tidak perotes apa yang ia masak. Ova mengambil lauk yang sama dan menaruhnya di piring. Ova menuang air mineral ke dalam gelas Victor yang sisa setengah dan menuangkan ke dalam gelas.
Victor melirik Ova, “Makanan ini nggak diracun kan?” Tanya Victor.
“Kalau saya ngakunya pas bapak pingsan bagaimana?”
Victor menyungging senyum, ia lalu mulai mencicipi masakan Ova, ia tidak bertanya lagi. Makanan yang dibuat oleh Ova sangat cocok di lidahnya, rasanya sangat pas dan disajikan dalam keadaan panas. Suapan pertama berubah menjadi suapan-suapan selanjutnya.
Victor memandang Ova, “Kalau saya makan, kamu juga ikut makan, temani saya,” ucap Victor.
“Baik pak.”
“Saya nggak ingin makan sendiri.”
Ova dan Victor makan dalam diam, selama makan tidak ada percakapan satupun kecuali terdengar beberapa kali dentingan sendok dan piring. Ova melihat Victor menghabiskan makannya. Lalu mengakhirinya dengan segelas air mineral.
“Bapak mau dessert nggak?” Tanya Ova.
“Dessert apa?” tanya Victor ia menyudahi makannya.
“Saya buat mango regal dessert,” Ova juga menyelesaikan makannya.
“Ok, kemasin ini, nanti bawa dessert kamu ke depan TV, saya tunggu di sana,” ucap Victor.
“Baik pak,” Ova mengemasi piring dan dibawanya menuju wastafel.
Victor melangakh menuju ruang keluarga, ia membuka pintu memandang kolam renang, karena ruang keluarga tepat berada di samping kolam sehingga ia bisa bersantai sambil melihat air. Ia memandang tumbuhan merambat ke dinding tertata rapi. Setiap pulang ke Jakarta ini lah view yang ia rindukan karena cukup melihat ini, ia merasa sudah berada di vila sendiri. Sangat menenangkan, melepas penat dari hiruk pikuk kehidupan Jakarta.
Victor melirik Ova mendekatinya, wanita itu membawa piring berisi dua dessert box. Dia meletakan piring itu di meja,
“Ini pak dessertnya, dan ini orange jus nya, siapa tau bapak haus, pengen makan yang segar-segar.”
“Terima kasih.”
Victor menerima yang disodorkan oleh Ova sambil memandang ke arah kolam. Ia melirik Ova yang menjauh. Kemudian ia melanjutkan mencicipi dessert yang dibuat oleh Ova. Selain kopi, makanan yang di sajikan oleh Ova, kini ia juga mulai menyukai dessert Ova. Rasanya sangat enak, segar dan lembut. Ia hanya tinggal menunggu waktu hatinya saja memilih jatuh hati kepada wanita itu.
***
Ova menatap penampilannya di cermin, kali ini ia mengenakan mini dress berwarna brown bertali spaghetti. Ia mengoles lipstick berwarna nude di bibirnya. Walaupun di rumah aja, ia harus berpenampilan menarik. Ia ingin mengangkat citra asisten rumah tangga yang kumel dan tidak terawatt, menjadi lebih stylish seperti dirinya.
Jujur ia merupakan salah satu wanita yang selalu menjaga penampilan, dengan berpenampilan menarik membuatnya semakin percaya diri. Dengan berpenampilan cantik maka akan membuatnya bahagia walau ia berada di rumah aja. Ia melakukan ini bukan untuk menarik perhatian boss nya, melainkan ia mencintai dirinya sendiri.
Ova tadi sudah mengelist makanan apa saja yang akan ia buat di dalam buku agendanya. Ova melangkah menuju kitchen, ia membuka kulkas mengeluarkan bahan-bahan. Menu kali ini sosis pedas saus BBQ, capcay orak-arik, ayam goreng lengkuas dan sambal. Ia akan memasak yang simple-simple saja karena ia dapat menghemat waktu.
Sementara Victor di atas ia masih berpikir secara waras tentang keberadaan Ova di rumahnya. Nama Jovanka seolah tidak lepas dari ingatannya. Wanita itu memang sangat menganggangu menurutnya karena tidak baik untuk kesehatan jantung dan matanya.
Victor melirik jam melingkar di tangan menunjukan pukul 19.20 menit. Ia harus ke rumah mama sekarang juga membicarakan personal asistennya itu. Victor keluar dari kamar dan lalu turun ke bawah, seketika langkahnya terhenti memandang Ova di sana. Wanita itu mengenakan mini dress slim, rambut panjangnya yang tadi siang lurus kini berubah menjadi bergelombang. Kulit putihnya seolah sengaja dipertontonkan kepadanya.
“Selamat malam pak, saya sudah menyiapkan makan malam untuk bapak,” ucap Ova, ia memandang Victor mengenakan kaos hitam dan celana jins. Apapun yang dikenakan Victor pria itu terlihat sangat keren.
Victor menyadarkan lamunannya ia lalu mendekati meja, awalnya ia ingin makan malam di rumah orang tuanya, namun Ova sudah menyiapkan makan untuknya. Victor tidak ingin melihat Ova kecewa karena sudah bersusah payah membuatkannya makan malam, jadi ia lalu duduk di kursi.
Victor memandang Ova menuang air mineral ke dalam gelas. Ia dapat mencium aroma kopi dan vanilla dari tubuh Ova. Wanita itu memiliki harum yang khas, sehingga ia betah berlama-lama berada di sampingnya. Padahal dulu ia tidak pernah makan berdua seperti ini bersama bi Darmi.
Baru kali ini ia makan berdua bersama asistennya bahkan, ia meminta secara langsung bahwa makan berdua seperti ini adalah keharusan. Bahkan tidak ada batasan lagi antara ia dan asisten pribadinya. Apakah ia sudah gila? Apakah levelnya sudah menurun? Atau seleranya sudah berubah? Ah, lama-lama memikirkan Ova ia bisa stress berkepanjangan.
“Menu apa yang kamu masak hari ini?” Tanya Victor memandang Ova menaruh nasi di atas piringnya.
Ova tersenyum, “Saya memasak, sosis pedas saus BBQ, capcay orak-arik, ayam goreng lengkuas dan sambal terasi.”
Victor meraih gelas dan meneguknya, ia memandang Ova juga meneguk air mineral. Ia memperhatikan gerak-gerik wanita itu, dia terlihat sangat natural, tanpa menunjukan ketertarikan kepadanya. Vicor lalu mencicipi masakan Ova, rasanya seperti biasa sangat enak.
Victor melirik Ova yang makan dengan tenang, “Apa kamu selalu berpenampilan seperti ini?” Tanya Victor.
Ova mengerutkan dahi, memandang Victor, “Maksud bapak?”
“Maksud saya, penampilan kamu. Tadi siang saya melihat kamu terlihat sangat feminin seperti Megan Markle dan malam ini kamu sangat sexy seperti Kylie Jenner. Kamu sangat fashionable, dan kamu seperti paham bagaimana cara berpakaian,” ucap Victor menilai penampilan Ova.
Ova menyungging senyum, ia memasukan makanan ke dalam mulutnya, “Pakaian saya semua seperti ini pak. Jadi saya menggunakannya di rumah ini.”
Alis Victor terangkat, “Owh ya?”
“Iya, dulu saya menyisihkan uang gaji saya setiap bulan demi pakaian ini. Jadi sangat disayangkan jika saya tidak memakainya.”
Ova menarik nafas, ia memandang Victor, “Saya salah satu wanita yang menyukai fashion. Dengan fashion orang tahu bagaimana mempercantik dirinya dan membuat saya lebih percaya diri. Saya begini karena saya mencintai diri saya. Ya, walaupun kerja saya hanya di rumah, sebagai asisten rumah tangga, saya tetap berpaikan seperti ini dan berpenampilan menarik. Saya bukan wanita yang suka mengenakan kaos oblong, celana kebesaran, dasteran, sederhana dan simple, karena bukan jiwa saya.”
“Apa bapak tidak suka saya berpenampilan seperti ini?” Tanya Ova.
Victor menyungging senyum, “Saya suka, tadi saya hanya bertanya. Kamu bebas mengenakan pakaian apa saja, saya tidak melarang, mau mengenakan bikini sekalipun tidak apa-apa. Asal pekerjaan kamu beres.”
Ova lalu tertawa, “Saya pikir mengenakan bikini terlalu extrim.”
“Ya siapa tau, kamu berenang mengenakan bikini, setelah itu menyiapkan saya makan.”
“Bisa jadi sih, tapi kayaknya itu nggak mungkin saya lakukan.”
“Kenapa?”
“Nanti bapak nggak bisa tidur.”
“Sekarang saja kamu sudah mengganggu pikiran saya,” ucap Victor.
Alis Ova meninggi, ia memandang Victor, “Maksud bapak?”
“Enggak apa-apa, kita lanjutkan makannya lagi,” ucap Victor.
Victor menyelesaikan makannya begitu juga dengan Ova. Ia meneguk air mineral dan memandang Ova yang menaruh piring di wastafel. Victor melangkah mendekati Ova.
“Ova,” ucap Victor.
Ova menoleh memandang Victor, “Iya pak.”
“Saya keluar ke rumah orang tua saya. Tolong kamu kemasi kamar saya.”
“Baik pak.”
Victor lalu berpikir, ia kembali menatap Ova, “Besok pagi kamu siapkan baju kerja saya, sebelum saya bangun. Nanti kamar saya nggak saya kunci, kamu masuk saja.”
“Baik pak.”
“Ada yang mau kamu tanyakan?”
“Bapak pergi kerja jam berapa?” Tanya Ova.
“Saya biasa pergi jam sembilan.”
“Baik pak.”
“Trima kasih.”
Victor lalu meninggalkan Ova begitu saja. Ia melangkah menuju basement, ia menekan central lock mobil BMW. Ia memanaskan mobil beberapa menit, setelah itu ia meninggalkan area rumah, menuju ke rumah orang tuanya.
***
“Eh Victor, anak mama udah pulang?” ucap mama memandang Victor masuk dari pintu utama.
“Mama dari mana?” Tanya Victor, ia menunggu dua jam lamanya di rumah. Ia tadi hanya bertemu Neny dan pacarnya. Lalu ia putuskan untuk keluar sebentar membeli kopi di starbuck. Victor lalu duduk di ruang tamu.
“Ada perlu di luar, kenapa?” mama lalu duduk di samping Victor.
“Nanya aja.”
Papa menyadari kehadiran putranya, “Gimana kabar kamu Vic?” Ucap papa menatap putranya.
“Baik pa.”
“Gimana kerjaan kamu?” Papa melangkah keruang keluarga menghidupkan TV.
“Baik pa, seprti biasa.”
“Besok ke pabrik?” Ucap papa, menoleh menatap Victor.
Victor mengangguk, “Iya pa.”
Papa menarik nafas memandang Victor lagi, sambil mencari siaran berita, “Kamu sering-sering lah ngecek pabrik, cek kerjaan kantor di sini. Jangan keluar negri mulu.”
“Di sana aku ngurusin kerjaan juga pa. Besok aku mau audit keuangan di kantor ini. Makanya langsung pulang ke Jakarta.”
“Iya bener itu, harus audit minimal enam bulan sekali. Kalau ada kejanggalan soal keuangan langsung audit aja.”
“Iya pa.”
“Papa lihat ada yang enggak beres dengan laporan keuangan perusahaan kamu.”
“Aku lihatnya sih emang gitu pa. Kayaknya ada yang main di expor, karena laporan aku di Jakarta dan di New York nggak belance.”
“Besok papa usahain ke pabrik juga deh, ngecek ke sana langsung. Managernya nggak bener itu di tempat kamu.”
“Aku juga mikirnya gitu sih pa.”
Victor lalu memandang mama lagi, yang berada di sampingnya. Ingin membahas Ova malah ngomongin kerjaan sama papa.
“Oiya, gimana asisten mama pilihin? Bagus nggak kerjaannya?” Tanya mama penasaran.
“Bagus sih ma, masakannya enak, rumah bersih, cekatan juga anaknya,” ucap Victor menjelaskan.
“Syukurlah kalau begitu.”
“Masalahnya, kenapa mama nyariin aku personal asisten. Padahal aku nyarinya asisten rumah tangga,” itu yang ia tanyakan kepada mama.
“Biar ada yang bantu-bantu kerjaan kantor kamu juga di rumah. Kamu kan bilangnya cari yang serba bisa, bisa masak, bisa nyetir, pinter bahasa inggris, kalau ngomong nyambung. Bukan kayak bi Darmi. Mama tuh kemarin kandidatnya banyak, cuma mama nggak ada yang sreg gitu. Ada yang pinter, rajin tapi nggak bisa nyetir. Ada yang cantik tapi nggak bisa masak, malah repotkan. Ada rekomendasi tapi kurang yakin mama. Akhirnya dapat deh Ova, itupun kepepet kamu besoknya mau pulang baru dapat yang pas.”
“Hemmm.”
“Kelasnya beda lah sama bi Darmi. Enggak apa-apa, yang penting kerjanya bagus. Rajin nggak Ova di rumah kamu?”
“Rajin, oke lah.”
“Cantik kan orangnya?”
“Iya lumayan.”
“Berarti pilihan mama bagus.”
“Bagus sih ma, cuma agak sepet mata.”
“Emangnya kenapa?”
“Cantik banget, susah tidur akunya.”
Mama lalu seketika tertawa, “Enggak apa-apa lah, biar kamu betah di rumah.”
“Ya ampun, mama ! Berarti mama sengaja?”
“Enggak, kebutulan aja. Enggak ada kandidat lain lagi.”
“Ih mama.”
“Harusnya kamu bersyukur punya asisten cantik kayak Ova. Mama liat anaknya sopan banget.”
“Iya, sih. Udah deh aku pulang, besok ngantor soalnya.”
“Hati-hati kamu di jalan, jangan ngebut pakek mobil.”
***