HAPPY READING
***
“Makasih ya Lex, lo udah bantu gue,” ucap Ova, ia memasukan barang-barangnya ke dalam kardus.
“Iya sama-sama Ova,” ucap Alex ia menutup kotak itu dengan solasi.
“Cowok lo udah tau kalau lo udah resign,” Alex memandang Ova.
“Cowok? Cowok yang mana?” Tanya Ova tidak mengerti.
“Itu anak kantor sebelah, yang dulu sering ngantarin lo makan siang,” ucap Alex mencoba mengingat.
Ova tahu yang di maksud Alex, “Owh si Judika anak HR itu. Udah gue putusin bulan lalu. Males banget gue pacaran sama dia, dia selingkuh sama anak seles,” Ova memandang mejanya yang sudah rapi dan bersih.
Saatnya ia harus pisah dari meja kerjanya yang sudah ia duduki bertahun-tahun lamanya. Ia sudah merasakan bagaimana pahit dan manisnya bekerja di sini. Tapi ia harus merayakan kepergiannya. Ia tidak akan meninggalkan kesedihan di kantor ini, justru hari ini adalah hari bahagianya.
“Ova, kamu nggak perpanjang kontrak?”
Ova mendongakan wajah, memandang Andre manager finance yang berdiri tidak jauh darinya. Ia tidak menyangka bahwa Andre manghampirinya. Padahal office Andre di lantai atas. Pria itu mengenakan kemeja berwarna biru dan celana slimfit. Ia akui bahwa Andre dan pak Harvey adalah pria paling tampan di kantor ini.
“Hemm …”
Ova dan Alex berdiri, mereka telah berhasil mengepack barang-barang yang ada di meja kerjanya. Andre memandang meja kerja Ova yang sudah kosong.
“Saya tadi baru dari ruang HRD, dan HRD mengatakan kepada saya bahwa perhari ini kamu sudah resmi keluar dari perusahaan ini.”
“Iya pak benar,” ucap Ova dan ia menyungging senyum.
“Kok, kamu nggak ngomong sama saya?” Tanya Andre diplomatis.
Alis Ova terangkat, “Bapakkan bukan atasan saya. Atasan saya sama pak Harvey langsung,” ucap Ova menjelaskan. Ova melirik Alex yang kembali duduk di kursinya.
“Ya setidaknya kamu ngomong sama saya, kan selama kerja di sini saya ngubungin kamu setiap saat. Bahkan malam juga biasa nelfon kamu. Masa kamu nggak ada cerita kalau kamu nggak perpanjang kontak,” ucap Andre memandang Ova, wanita cantik itu, dia mengenakan dress berwarna hitam dan rambut panjangnya terurai.
“Hemmm, kan setiap bapak nelfon ngomongnya masalah kerjaan,” ucap Ova, ia tidak tahu berkata apa. Ia juga tidak perlu menjelaskan apapun tentang perpanjang kontrak di perusahaan ini karena ini masalah personal.
Andre mengusap wajahnya dengan tangan, “Oh God, kamu nggak peka-peka.”
Alex yang mendengar itu hanya menyungging senyum, ia tahu bahwa Andre menaruh hati kepada Ova. Ah, selain pak Harvey, ternyata Andre juga diam-diam menyukai gadis cantik itu.
Andre menarik kursi sebelah yang tidak berpenghuni, ia melirik jam melingkkar di tangannya menunjukan pukul 11.30 menit.
“Apa alasan kamu keluar?” Tanya Andre, ia menatap mata bening Ova.
“Saya sudah diterima kerja di tempat lain.”
“Kantornya di mana?”
“Enggak kantoran sih pak, lebih ke arah personal,” ucap Ova tenang, menyelipkan rambut di telinga.
Ova menarik nafas, ia mendengar suara ponselnya bergetar, ia menatap ke arah layar ponsel, “Kenny Calling.”
Ova melirik Andre, “Saya angkat telfon teman saya dulu,” Ova memperlihatan ponselnya ia letakan ditelinga kiri.
“Iya Ken,” ucap Ova, ia duduk di kursinya kembali. Ova menatap pak Andre yang berada di sebelahnya, aroma woody yang khas dari tubuh pak Andre tercium dihidungnya karena jarak mereka sangat dekat.
“Lo di mana?” Tanya Ova, kemarin sudah janji dengan Kenny untuk lunch bareng di Pagi Sore.
“Gue masih di office sih. Lo d imana.”
“Di office juga.”
“Bentar lagi break. Sekarang gue minta gantiin sama anak baru, gue bilang agak lama gitu mau lunch karena rayain perpisahan, terus anak barunya oke-oke aja. Bentar lagi deh gue otw, sepuluh menit lagi. Kita ketemuan di sana aja ya,” ucap Kenny.
“Ditunggu ya, Ken.”
Ova menarik nafas ia memasukan ponsel itu di saku dressnya, ia memandang pak Andre yang masih menatapnya. Jujur tatapan itu membuatnya menjadi tidak enak.
“Ini hari terakhir saya di office. Rencananya sama mau traktir Alex sama Kenny makan di Pagi Sore. Bapak mau ikut bareng kita nggak?” Ucap Ova.
Alex yang tadinya mengerjakan pekerjaanya lalu menoleh memandang Ova. Padahal sebelumnya Ova tidak mengatakan papapun kepadanya soal makan siang di Pagi Sore.
“Iya kan Lex?” ucap Ova memandang Alex.
Alex menyungging senyum dan lalu mengangguk, “Iya pak, bapak ikut bareng kita aja. Soalnya nanti kita jarang ketemu Ova lagi,” ucap Alex.
Restoran Pagi Sore merupakan salah satu restoran padang favoritenya, harganya sedikit lebih mahal dari padang biasa namun rasanya tidak diragukan lagi.
Andre menatap Ova dan ia mengangguk, “Oke, tapi pakek mobil saya,” ucap Andre.
Ova tersenyum ia beranjak dari kursinya, “Yaudah hayuk, nanti keburu rame jam makan siang,”
Andre dan Alex juga berdiri, mereka melangkahkan kakinya menuju lift. Sebenarnya Ova merasa tidak enak kepada Andre terus-terusan menghubunginya, masalahnya si Bella itu terang-terangan menyukai Andre. Obrolan merekapun hanya sebatas pekerjaan, bukan soal personal.
“Kost kamu masih di tempat yang lama?” Tanya Andre.
“Iya masih pak, hanya saja pekerjaan saya yang sekarang mengharuskan saya pindah juga.”
“Kerja apa?” Tanya Andre penasaran.
“Personal asisten sih pak.”
Alis Andre terangkat memandang Ova. Mareka masuk ke dalam lift dan membawa mereka menuju basement.
“Personal asisten? Artis?”
“Hemmm susah sih ngomongnya,” Ova menyungging senyum.
“Personal Asisten itu bukannya fulltime ya?” Andre mencoba menganalisa.
“Iya pak fulltime.”
“Setelah kamu keluar, saya boleh main ketempat kamu?” Ucap Andre memandang Ova.
Ova mencoba berpikir.
“Saya main ke tempat kamu saat kamu libur aja sih,” Andre mecoba menjelaskan.
“Iya pak,”
Kini mereka tiba di basement, Ova baru tahu ternyata Andre ke kantor menggunakan mobil mewah ini, ia pikir dulu miliknya pak Harvey. Andre membuka kunci central lock, otomatis mobil itu berbunyi.
“Ova kamu di depan, sama saya,” ucap Andre.
“Baik pak.”
Ova masuk ke dalam mobil begitu juga dengan Alex. Semenit kemudian mobil meninggalkan area tower office.
“Semoga kamu betah ya Ova kerja di tempat yang baru,” ucap Andre, ia fokus memanuver mobil.
“Iya pak semoga saja.”
***
Ova menatap berbagai macam lauk andalan restoran ini, seperti ayam pop, gulai kikil, rendang hingga dendeng balado. Restoran ini memiliki konsep bebas memakan apa saja apa yang ada di atas meja.
Ova melambaikan tangan kepada Kenny, wanita itu mengenakan jas berwarna biru dan kemeja berwarna kuining dan rok span diatas lutut. Rambut panjangnya tergulung ke atas. Semua orang pasti tahu bahwa sahabatnya itu bekerja di sebuah bank swasta.
Kenny tidak menyangka bahwa Ova membawa dua orang teman prianya. Sebelah kiri, pria bertubuh agak gemuk dia mengenakan kemeja putih dan satunya lagi seorang pria dengan tubuh proporsional mengenakan kemeja biru. Pria berkemeja biru cukup tampan menurutnya.
Kenny mendekati Ova dan ia berikan senyuman terbaiknya. Jujur Kenny merasa canggung berhadapan dengan dua cowok itu.
“Pak Andre, Alex, ini sahabat namanya Kenny, dia teller di bank BCA,” ucap Ova.
Andre lalu berdiri, ia memandang wanita bernama Kenny, “Perkenalkan saya Andre,” ucap Andre tenang ia mengulurkan tangan kepada wanita itu.
“Saya Kenny.”
“Saya Alex.”
“Kenny.”
Kenny lalu duduk tepat di samping Ova, tadi niatnya ia ingin ngobrol sambi bergosipr ia bersama Ova. Berhubung ada Andre dan Alex membuatnya mengurungkan diri untuk bercerita.
“Makannya bebas ya. Tenang saya yang bayar.”
“Makasih Ova teraktirannya,” ucap Kenny antusias.
“Iya Ken. Lo ke sini udah ada yang gantiin?” tanya Ova lagi, karena ia tahu pekerjaan Kenny seperti apa.
“Udah, digantiin sama anak baru,” ucao Ova terkekeh.
“Syukurlah kalau gitu.”
“Gue masih speechless tau, lo udah pindah dari kost.”
“Gue juga nggak nyangka kalau gue udah mau pindah dari sini.”
“Lo baik-baik ya Ov kerja di sana.”
“Iya, iya lo tenang aja.”
“Alex ini kan yang lo cerita kemarin Ov?”
Ova tersenyum dan mengangguk, “Iya.”
Kenny, menoleh memandang pria bertubuh tambun itu, “Oiya Lex, kalau lo ada rekomendasi lagi kerjaan kayak Ova, kasih tau gue ya.“
“Iya, lo tenang aja,” Alex tersenyum simpul.
***
“Kapan kamu pulang?” Ucap mama kesekian kalinya.
Victor menyandarkan punggungnya di tempat tidur, ia menatap ke arah layar TV, “Mungkin lusa aku udah di Jakarta.”
Victor menarik nafas, sebenarnya ia masih betah berada di New York dibanding Jakarta. Namun lagi-lagi mama menelfonya untuk pulang. Biasa ia pulang hanya mengecek keadaan pabrik saja, selebihnya ia serahkan kepada pengelola.
“Mama sudah cariin kamu personal asisten.”
Alis Victor terangkat, padahal bi Darmi sudah meninggalkan rumahnya dua Minggu lang lalu, namun mama baru dapat penggantinya sekarang. Mencari asisten memang dibutuhkan kematangan dang tidak boleh sembarangan.
“Syukurlah kalau udah dapat.”
“Kamar tamu aja ya untuk asisten kamu, kan kamar tamu banyak yang kosong,” ucap mama membari usul.
”Di kamar bi Darmi aja ya ma. Aneh aja di kamar tamu.”
“Kamar bi Darmi sempit loh Vic.”
“Kan emang di situ ma kamar asisten, masa di pindahin kamar tamu, entar keenakan lagi.”
“Pokoknya aku pulang rumah itu, dalam keadaan bersih ma. Udah dua minggu nggak dibersihin, semenjak bi Darmi jadi TKW ke Arab.”
“Tapi personal asisten kamu sekarang masih muda,” ucap mama menjelaskan.
“Iya nggak apa-apa sih ma. Asal kuat aja bersihin rumah sama kebun belakang, terus kolam nanti bersihin juga, panggil tukang bersihin kolam. Soalnya aku tiap pagi pasti berenang.”
“Iya nanti mama atur. Besok pagi asisten kamu udah mulai kerja.”
“Mama serahin kuncinya sama dia aja ya. Biar kamu nggak bolak-balik ke rumah mama.”
“Keculi kamar aku.”
“Kamar kamu juga lah, itu harus dibersihin juga.” ucap mama.
“Tapi asisten baru ma, nggak boleh percaya gitu aja.”
“Iya mama tau, tapi mama percaya.”
“Kunci berangkas titipin sama Toni aja ma, jangan asisten baru itu. Soalnya aku nggak terlalu percaya sama orang baru kerja.”
“Iya.”
“Asistennya rajin kan ma? Bisa masak kayak bi Darmi?” Ucap Victor ia tidak ingin memperkerjakan personal asisten pemalas dan suka bermain ponsel.
“Kebetulan lulusan tata boga dulu SMA nya dan kayaknya sih rajin.”
“Berarti besok kamu udah flight?”
“Iya besok pagi aku udah flight, transit di Dubai, lusa pagi aku udah nyampe Jakarta.”
“Kamu hati-hati pulangnya.”
“Iya mama.”
***
Keesokan paginya.
Taxi yang ditumpangi Ova berhenti tepat di jam 08.10 menit. Ova membuka hendel pintu dan driver menurunkan kopernya dari bagasi. Ia melihat pintu pagar yang setengah terbuka, ia memandang mobil Alphard hitam di sana.
“Mba Jovanka ya?” ucap seorang pria bertopi hitam itu, seolah mengenalinya.
“Iya.”
“Ibu sudah ada di dalam, masuk aja mba,” ucap pria itu.
Sebenarnya pak Tono masih speechless, pengganti bi Darmi ternyata wanita masih muda dan cantik. Wanita cantik itu mengenakan kemeja putih dan celana jins.
“Mari mba, saya bantu angkatin kopernya,” Pak Tono menawarkan diri mengangkat koper Ova.
“Terima kasih, pak.”
Ova melangkah masuk ke pintu utama. Ova menatap ibu Adhisti duduk di sofa seolah sudah menantinya. Wanita seperuh baya itu terlihat anggun, beliau mengenakan dress berwarna hitam dan lipstik berwarna merah menyala.
“Selamat pagi ibu Adhisti,” ucap Ova.
“Selamat pagi juga Ova.”
Ova mengedarkan pandangannya kesegala ruangan yang di d******i warna putih dan hitam. Rumah ini memiliki konsep modern. Gorden berwarna hitam senada dengan karpet dan sofa. Di tengah ruangan terdapat lukisan abstrak dan lampu kristal menambah kesan mewah ruangan ini. Ova mengikuti langkah ibu Adhisti masuk ke dalam.
Ova menatap ruang keluarga, di ruangan itu ada sofa berwarna hitam dan karpet berwarna senada. Tidak sisi feminin di rumah ini secara menyeluruh sangat maskulin. Semua sofa di rumah ini berwarna hitam begitu juga dengan karpet dan gorden. Yang terang di rumah ini hanyalah cat tembok berwarna putih polos. Tidak perlu banyak menilai, semua orang tahu bahwa pemilik rumah ini adalah seorang pria.
“Ini rumah yang akan kamu tinggali nanti. Maaf ya, Ova saya pakek masker, soalnya saya punya asma” ucap Ibu Adhisti, ia memandang Ova.
“Iya bu, nggak apa-apa,” ucap Ova.
“Pokoknya kamu bersihin saja rumah ini. Maklum aja ini rumah nggak ada yang nempatin selama dua Minggu kecuali pak Toni.”
“Tadi saya suruh Toni manggil tukang bersihin kolam, nanti kamu urus ya.”
Ova mengangguk paham, “Baik bu.”
“Untuk bedcover, seprai, mungkin udah lama nggak diganti. Kamu bawa ke laundry. Kamu cukup bersihin karpet-karpet itu pakek vakum. Terus ini meja dilap juga pakek kanebo atau sarbet.”
“Pak Victor itu perfectionis jadi rumahnya itu ingin selalu bersih.”
“Baik bu.”
“Pokoknya kamu bongkar-bongkar saja di dalam laci, soalnya saya nggak tau di mana bi Darmi nyimpan alat-alat perkakasnya.”
“Baik bu,” ucap Ova melihat rumah ini. Rumah ini sebenarnya tidak terlalu luas namun dibuat tanpa sekat jadi tampak luas dan besar.
“Yang ada di kulkas semua buang aja Ova, itu kayaknya udah expired. Oiya, saya mau kasih kamu tahu di mana kamar pak Victor,” ucap ibu Adhisti, ia menaiki tangga.
Sementara Ova mengikuti langkah ibu Ahisti naik ke atas tangga. Beliau membuka hendel pintu, “Ini kamar pak Victor,”
Ova memandang sebuah ruangan kamar yang di d******i warna abu-abu dan hitam. Kamar ini terbilang cukup besar, tidak banyak barang di sana kecuali lukisan abstrak dan dua lampu tidur. Ia yakin kamar ini memiliki ruang pakaian khusus.
“Bed covernya dan saprai pak victor nanti di ganti semua,” ucap bu Adhisti.
“Baik bu.”
“Oke itu aja, pokoknya rumah ini bersih sebelum pak Victor datang besok pagi. Ini uang belanja untuk dapur dan ini uang laundry,” ucap ibu Adhisti menyerahkan amplop kepada Ova. Ova menerima kunci dan uang dari ibu Adhisti.
“Maaf ya Ova, saya tidak bisa lama-lama di sini. Soalnya saya elergi debu,” Ibu Adhisti menuruni tangga.
“Iya bu, enggak apa-apa. Tenang aja, sore ini, ini rumah sudah rapi dan bersih.”
“Iya, saya percaya sama kamu Ova.”
“Terima kasih sudah mempercayakan saya bu.”
“Saya hampir lupa, kamar kamu di belakang dekat dapur,” ucap bu Adhisti, ia melangkah masuk menuju kitchen, karena rumah ini memiliki konsep open kitchen.
“Di luar itu kitchen bersih, dan di dalam sini kitchen kotornya. Kitchen di sini jarang digunain sih, soalnya rumah ini nggak pernah ada acara juga. Jadi kamu bebas pakek kitchen bersih di sana.”
Ibu Adhisti membuka pintu kamar, tepatnya di samping kitchen, “Ini kamar kamu,” ucap ibu Adhisti.
“Tadi saya sebenarnya mau pindahin kamu ke kemar tamu, hanya saja pak Victor nyuruh asistenya tidur di kamar bekas bi Darmi. Kamu kan beda ya sama bi Darmi, kelasnya juga beda. Tapi ya sudahlah, pak Victornya maunya gitu. Ikutin saja, maklum agak cerewet”
Ova memandang kamar yang di d******i warna putih berukuran single, tidak ada sekat, dibawah Kasur terdapat laci untuk menyimpan baju dan sepatunya. Dan lemari pakaian yang menyatu dengan dinding, kamar ini sangat minimalis dan tampak modern. Namun kamar ini lebih baik dari pada kamar kostnya. Kamar ini menghadap langsung ke taman belakang.”
“Ada yang kamu tanyain lagi?”
“Sudah bu, sudah cukup jelas,” ucap Ova.
“Selamat bekerja Ova.”
“Iya bu, sama-sama.”
***