“Vania? Kenapa malah diam di sana? Ayo kemarilah.” Pinta Daniel melembutkan intonasi bicaranya agar Vania yakin untuk melangkah mendekati mereka. Bukannya menuruti perintahnya, Vania tetap berdiam diri di tempatnya berdiri, keraguan terlihat jelas dari raut wajahnya. Daniel sudah mulai tak sabaran, tanpa berucap apapun lagi, ia melangkah ke arah Vania berada. Ketika keduanya saling bersitatap, ia melihat jelas pelupuk mata Vania menampakkan kesedihan.
“Mas, dia tadi nampar aku ....” Desis Vania, suara yang terdengar berat bahkan Vania nyaris kebablasan menangis saking perihnya hati mengingat perlakuan tak mengenakkan dari Amita. Ia mengharap maklum dari Daniel, berharap pria itu bisa pasang badan untuk melindunginya.
Daniel membungkam sejenak, ia sudah mendengar pengakuan itu dua kali. Vania telah menceritakan ketika mereka bicara di ponsel, tetapi sempat terlupakan oleh Daniel lantaran teralihkan oleh keterkejutannya setelah berhadapan langsung dengan Amita. “Ya, tapi tetap saja kamu harus menemui dia lagi.”
“Apa benar dia ibumu, mas?” Todong Vania, pertanyaan itu jauh lebih penting mendapatkan jawaban sekarang. Ia tak mau menerka lebih lama dan menyiksa batinnya dengan praduga sepihak. Hanya dengan mendengar jawaban dari Daniel maka hatinya akan sedikit merasa lebih yakin antara ini adalah kebohongan atau kenyataan buruk.
Daniel mengusap wajahnya dengan kasar, sebenarnya sulit bagi dirinya untuk mengungkapkan kepada Vania lantaran melihat wajah sendu istrinya itu. Tetapi mau sampai kapan menutupinya, ini tetaplah harus ia ungkapkan. Daniel mengangguk, reaksi yang langsung mematahkan hati Vania yang bisa menerka jawaban seperti apa yang akan dilontarkannya.
“Bagaimana bisa? Bukankah kamu yang bilang kalau orangtuamu sudah tiada? Kamu membohongi aku lagi?” Vania tak sanggup lagi menutupi kesedihannya, bercampur aduk dengan rasa marah dan kecewa, jika benar Daniel kembali menodai kepercayaannya dengan kebohongan.
Daniel mendongakkan kepala sejenak, beban berat itu bertumpu pada kepalanya, terlampau berat untuk menghadapi kerumitan saat ini. “Aku juga sama bingungnya, ini memang terlalu sulit diterima, tetapi Va ... Mau bagaimanapun aku tidak bisa menolak kenyataan. Dia memang ibuku, entah gimana ceritanya, tetapi dia masih hidup. Dia pasti sudah melewati masa-masa yang sulit, aku tidak bisa menolak kedatangan dia. Aku mohon Va, kamu juga belajarlah untuk menerima dia.” Pinta Daniel memohon dengan tatapan sayu, berharap Vania bisa tergugah dan mengerti keadaannya.
"Kok tega kamu, Mas. Berapa banyak hal lagi yang kamu tutupi dari aku? Belum cukupkah semua kebohongan di masa lalu yang sudah kita anggap selesai?" Sulit bagi Vania untuk terdiam, hati yang terlanjur berat itu memang sulit untuk dipaksa menerima sesuatu yang terlanjur tidak disukai. Namun di saat bersamaan itu, Vania menatap ke dalam telaga bening suaminya, raut wajah memelas itu, teduhnya manik mata pria itu memang terasa adanya ketulusan. Vania yakin Daniel tidaklah membohonginya, bahkan terlihat sama sulitnya dengan posisi Vania sekarang. Mereka sama-sama bingung, Vania berpikir kembali, akan sangat tidak adil jika ia membantah suaminya. Ini adalah masalah yang seharusnya mereka hadapi bersama, jangan saling meninggalkan ketika kondisi tengah susah. ‘Aku tak punya pilihan lain sekarang, tak mungkin juga aku membiarkan dia menghadapi ini sendirian. Mungkin memang aku yang harus sedikit korban perasaan lagi.’ Vania menimbang dalam hatinya, ia tidak sanggup merubah keadaan maka ia harus merubah cara berpikirnya. Setidaknya untuk sementara, sampai hatinya bisa sedikit terobati dan kuat kembali menghadapi wanita tua yang mau tidak mau harus ia akui sebagai mertuanya.
Vania menatap sekali lagi pada Daniel, mencoba mengumpulkan semangat untuk memantapkan hatinya. Pria itu mengangguk, meyakinkan bahwa ia memang perlu menurutinya saat ini. Vania menghela nafas, apa yang bisa ia lakukan sekarang selain berusaha menjadi istri sekaligus menantu yang baik. “Aku minta maaf atas kata-kata kasarku tadi, mas. Tapi aku harap kali ini kamu sungguh tidak mengecewakan aku lagi, dengan kehadiran ibumu yang tak terduga ini, aku mau kamu bisa mengambil sikap bijak terhadap kami.”
Daniel tersenyum lega, meraih tangan Vania dan menggandengnya. “Makasih Va, makasih banyak atas pengertianmu.”
Vania masih merasa sedikit beban di hatinya, hanya bisa memberikan senyuman terpaksa sebagai balasannya. Ia pun membiarkan Daniel menuntunnya ke arah wanita tua itu berada. Mertua yang entah akan menjadi surga atau neraka dunia bagi Vania nantinya.
***
Amita menatap dengan sorotan tak senang, apalagi Daniel menggandeng wanita yang belum apa apa saja sudah berseteru dengannya. Amita tahu betul, tujuan mereka sekarang adalah menemuinya. Walau ia sangat tidak menyukai istri Daniel yang bahkan namanya saja belum ia ketahui, tetapi di hadapan Daniel, ia tidak boleh menampakkan rasa tak sukanya.
“Ibu, kenalkan ini Vania, istriku. Kami sudah menikah enam tahun.” Daniel memperkenalkan secara singkat tentang siapa wanita yang ia pilih menjadi pendamping hidupnya. Pancaran raut wajahnya menunjukkan betapa ia bahagia dengan pilihannya, tetapi ia pun tidak bisa menebak apakah ibunya mengerti dan mau menerima pilihannya.
Amita menatap Vania yang malah merasa tak nyaman dengan tatapannya sehingga Vania menunduk, terkesan menghindari tatapannya. “Oh, sudah enam tahun.” Jawab Amita dengan entengnya, tak bisa disimpulkan dari nada bicaranya, entah ia menyukai atau tidak wanita pilihan putranya itu.
Daniel terus memperhatikan mimik wajah ibunya, mencoba menerka bagaimana kesan ibunya terhadap Vania. ‘Apa ibu tidak menyukai Vania? Ah ... tapi raut wajah itu ... ibu tersenyum.’ Pikiran buruk Daniel teralihkan begitu ia melihat senyuman Amita yang ramah, sekaligus mematahkan pandangan pribadinya yang negatif tentang ibunya.
Amita melangkah mendekati Vania, tanpa ragu meraih satu tangan Vania sehingga membuat Vania spontan bertenaga saking terkejut, nyaris saja menepis tangan Amita.
“Vania ... Nama yang cantik. Maafkan ibu karena waktu itu tidak bisa mendampingi Daniel untuk melamarmu. Ibu yakin wanita pilihan Daniel pasti yang terbaik. Apalagi kalian sudah punya dua orang anak. Ah ... Ibu merasa antara terkejut dan bahagia, sekian puluh tahun tidak bertemu denganmu, kini tiba-tiba sudah dapat bonus menantu dan dua orang cucu.” Amita menyeka air mata haru di ujung kelopak matanya. Tetesan bening yang begitu mudah mengucur sebagai pelengkap sempurnanya sandiwara.
Vania tercengang melihat betapa mudahnya Amita menitikkan air mata. Wanita tua yang emosinya meletup ketika tidak ada Daniel, dan berperingai manis ketika disaksikan Daniel. Sungguh wanita bermuka dua yang patut Vania waspadai. ‘Sandiwaramu sungguh sempurna, ibu mertua.’ Gumam Vania, menyimpan argumen itu dalam batinnya. Ia terpaksa harus meladeni sandiwara itu agar tidak buruk di mata Daniel. Biarlah, biar ia ikuti dulu seperti apa permainan yang wanita tua itu inginkan.
***