Bab 8. Hubungan Kritis

1152 Kata
Happy Reading. "Gimana bro? Kapan kamu nikah?" tanya Heru saat Kenan dan Maudy bergabung dengan pemilik acara. "Nggak tau, masih belum kepikiran buat ke sana," jawab Kenan santai sambil melirik Maudy. Yang dilirik tidak tahu dan tidak engeh atau mungkin juga tidak peduli. Maudy fokus berbincang dengan Tita, istrinya Heru. "Jangan lama-lama digantung, bro. Cewek itu butuh kepastian, kalau nggak nanti bakalan bosan dan ditinggalkan," lanjut Heru. Batin Kenan, ya nggak apa-apa ditinggal, orang udah nggak ada perasaan istimewa buat dia. Hanya dalam hati saja dia bicara seperti itu, seolah mengaminkan ucapan Heru. Jelas saja dia sudah memiliki tambatan hati lain. Maudy Aluna. Pramugari cantik yang saat ini tengah menoleh kearahnya. Senyum wanita itu sungguh memikat, membuat hatinya berdebar-debar. "Kalau nggak jodoh ya harus legowo misal dia mau ninggalin gue," balas Kenan. Ini tidak kebalik, kan? Sejatinya Kenan yang ingin meninggalkan Raya. "Tapi masih sama Raya, kan? Kalian nampak cocok, loh," celetuk Heru. Kenan mendekat ke arah Maudy, kemudian dengan nakalnya tangan Kenan memegang pinggang wanita itu. "Kalau sama Maudy, gimana? Nggak cuma cocok, tapi serasi 'kan?" Maudy otomatis langsung menepis tangan Kenan. "Kapten, ingat yang nunggu di Jakarta!" sindir Maudy sambil melototkan matanya. Heru dan Tita tertawa, dikira Kenan cuma bercanda. Padahal dia serius. Setelah acara hampir usai, Kenan mengajak Maudy berjalan-jalan di pantai yang tidak jauh dari hotel. Pria itu benar-benar ingin menggunakan waktu ini untuk bisa bersama dengan Maudy. Keduanya berjalan telanjang kaki menyusuri sisi pesisir. “Kamu pernah bayangkan bakal jadi pramugari?” tanya Kenan. Maudy menggeleng, sedikit tertawa. “Enggak, sebenarnya. Dulu aku malah kepikiran jadi guru, atau psikolog," jawab Maudy. "Tapi itu saat aku masih kecil." Kenan mengangguk, seolah mencoba membayangkan Maudy dalam peran lain. “Kalau jadi guru, pasti murid-murid kamu bakal suka, ya. Kamu punya cara yang menyenangkan buat bercerita, cantik, memiliki kepribadian yang kalem.” "Tapi sejak SMA, aku sudah berubah haluan. Tiba-tiba pengen jadi pramugari karena bisa melenggang bebas menyusuri dunia," lanjut Maudy tersenyum sambil menatap hamparan luasnya laut di pantai itu. "Keren, kamu ini nggak nyadar apa kalau sebenarnya lebih cocok jadi selebriti, bodynya bagus, wajah cantik, dan yang paling indah itu senyuman mu, bisa bikin jantung ku deg-degan terus," jawab Kenan jujur. Maudy menunduk, tersenyum kecil. “Terima kasih, Kenan. Kamu juga sepertinya bakal jadi pilot yang keren. Aku lihat, kamu sangat serius soal pekerjaanmu. Tampan, gagah, pokoknya keren banget.” “Keren?" Kenan terkekeh. "Tapi kadang-kadang aku juga merasa terjebak,” jawab Kenan, suaranya mendadak serius. Maudy menatapnya, matanya memancarkan ketertarikan yang tulus. “Terjebak kenapa?” Kenan menarik napas, menatap ke arah lain yang memperlihatkan pemandangan malam Bali yang penuh cahaya. “Aku kadang merasa... hidupku terlalu terikat sama pekerjaan. Aku lupa caranya santai, lupa menikmati hidup.” Maudy mendengarkan dengan seksama. Ia merasakan kelembutan dalam suara Kenan, sesuatu yang menyentuh hatinya. “Kamu butuh liburan, Kenan. Hidup terlalu singkat buat dihabiskan dengan hanya bekerja, rasanya sih kurang afdol.” Kenan tersenyum tipis, menatap Maudy dalam-dalam. “Mungkin liburan dengan orang yang tepat akan membantu, mau nggak kamu menghabiskan liburan kali ini denganku?" Suasana mendadak berubah. Tatapan mereka terperangkap satu sama lain, dan untuk sejenak, semua perasaan yang mereka pendam seakan muncul ke permukaan. Kenan mendekat, mengambil tangan Maudy dan sedikit menarik tubuh wanita itu. Duh, Kenan makin ser-seran. Tau kan gimana rasanya sayang sama seseorang dan bisa sedekat itu dengannya. Ini yang dirasakan oleh Kenan, rasanya ingin membawa Maudy ke kamar hotel dan menguncinya di dalam. Maudy sendiri hanyut dalam tatapan mata pria tampan di depannya ini. Pria yang mengaku menyukainya dan ingin memiliki hubungan dengannya. Satu tangan Kenan naik menyentuh tengkuk Maudy, mengelus kulit mulus itu dan mendekatkan wajahnya. Maudy merasa meremang, aliran darahnya mengalir ke pusat inti. Di mana keduanya akhirnya saling menempelkan bibir mereka, tanpa di komando dan seperti sudah terbiasa. Decapan yang keluar dari kedua mulut mereka teredam deburan ombak, akan tetapi belitan lidahnya tidak membuat mereka ingin menyudahi. Kenan mengerang, dia benar-benar tidak tahan ingin melahap Maudy malam ini juga. Tetapi Kenan sadar, jika dia tidak akan memaksa Maudy meskipun dia ingin. Maudy melepaskan ciuman mereka, meskipun sebenarnya masih sangat berat, akhirnya Kenan pasrah. "Maudy, aku cinta kamu, mau ya kita jalin hubungan, seperti ini dulu, tanpa komitmen pun nggak apa-apa, asalkan kamu udah jadi milikku," bisik Kenan. Maudy tertegun, menatap Kenan. “Kenan... mungkin karena kita merasa sama-sama terjebak dalam hidup yang terlalu banyak aturan. Dan di saat-saat seperti ini, kita cuma pengen lari dari itu semua. Tapi kalau hubungan tanpa status... aku nggak tahu." Ada jeda panjang di antara mereka. Keduanya menyadari, perasaan ini sudah berkembang, lebih dalam dari sekadar ketertarikan biasa. Namun, ada sesuatu yang menghentikan mereka, sebuah garis tipis antara kenyataan dan yang tak bisa mereka langkahi begitu saja. “Maudy... kalau saja keadaan berbeda,” bisik Kenan. "Apakah kamu mau menerimaku?" Maksudnya kalau Kenan udah jomblo. Maudy menatapnya, mencoba menahan debaran jantungnya. “Kalau saja... semuanya lebih mudah. Aku sendiri memiliki trauma besar tentang sebuah hubungan. Tapi yang jelas, kalau sampai kita melangkah jauh, pasti akan menyakiti seseorang!" Kenan mengangguk, matanya memancarkan kerinduan yang dalam. “Aku tidak ingin menyakiti siapa pun. Tapi aku juga tidak ingin berbohong pada diriku sendiri.” Maudy menghela napas panjang, menatap langit yang penuh bintang. “Aku mengerti, Kenan. Tapi hidup tidak pernah sesederhana itu, bukan?” Tanpa mereka sadari, jarak di antara mereka semakin dekat lagi. Kenan meraih tangan Maudy, merasakan hangatnya di telapak tangannya sendiri. Mereka saling menatap dalam diam, seolah dunia menghilang di sekitar mereka. Di malam yang sepi itu, hanya ada mereka berdua, dan perasaan yang tidak pernah terucap. Namun, sebelum momen itu semakin dalam, ponsel Kenan berbunyi. Suara itu memecah keheningan, membuat keduanya kembali ke kenyataan. Kenan mengambil ponselnya dan menatap layar, melihat nama Raya yang muncul. Ah, untung saja Kenan sudah mengubah nama "My beloved" menjadi "Raya". Maudy melepaskan tangannya perlahan, wajahnya menunjukkan senyum kecil yang pahit. “Angkat, Kenan.” Kenan terdiam, ragu. “Maudy, aku...” Maudy hanya menggeleng pelan. “Itu adalah kenyataanmu. Jangan khianati dirimu sendiri dengan berlari, dia masih kekasihmu.” Kenan memandangnya, merasakan kepedihan yang sulit dijelaskan. Dengan berat hati, ia menerima panggilan tersebut. Suara Raya terdengar lembut di seberang sana, namun hati Kenan tidak lagi terasa sama. Sementara itu, Maudy berdiri, menghela napas panjang sebelum berbalik dan meninggalkan Kenan sendirian. Setiap langkahnya terasa berat, namun ia tahu bahwa ini adalah keputusan yang tepat. Perasaan yang ia miliki untuk Kenan mungkin nyata, namun kenyataan hidup mereka terlalu rumit untuk diabaikan. Kenan hanya bisa melihat Maudy yang perlahan menghilang di balik bayangan malam, meninggalkannya dengan perasaan yang menggantung di udara. Di ujung telepon, Raya terus berbicara, namun Kenan tak mendengar. Pikirannya hanya terfokus pada sosok Maudy yang menjauh, membawa pergi sebagian dari hatinya. Di malam yang gelap itu, Kenan merasakan sebuah kehilangan yang mendalam, sebuah perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa momen ini dia benar-benar sudah tidak memiliki perasaan pada Raya lagi. Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN