Bab 1. Kesalahan

1720 Kata
Happy Reading. "Ken, gue liat Raya masuk hotel sama seorang cowok. Gue nggak kenal cowok itu siapa, tapi lu seharusnya udah paham, kan? Apa yang dilakukan cowok dan cewek masuk hotel dengan gandengan tangan mesra berdua tanpa ada teman?" Ucapan Aldo lewat telepon beberapa jam yang lalu masih mengusik benak Kenan. Disertai sebuah foto yang nampak jelas menampilkan Raya dan seorang pria yang entah siapa dia. Kenan yang baru saja landing di Bandar Udara Internasional Changi Singapura, dia sudah mendapatkan pesan yang begitu menyayat hatinya. Pria itu memutuskan untuk langsung menghubungi Raya. Dering sekali, dua kali, dan dalam dering kelima baru diangkat oleh kekasihnya tersebut. "Halo, sayang. Udah landing? Sekarang di mana?" Suara Raya di sebrang terdengar serak seperti bangun tidur. Entah kenapa perasaan Kenan menjadi tidak enak. Tiba-tiba saja dia merasa jika Raya memang tengah berselingkuh darinya, meskipun memang masih belum cukup memiliki bukti. Hanya dari gambar yang dikirimkan oleh Aldo. "Aku di Singapura. Kamu baru bangun? Kenapa suaramu serak?" Hening sesaat. "Iya, aku baru bangun, ini udah jam 11 siang, ya? Aku agak pusing yank, semalam bos minta ditemani makan-makan bareng beberapa staf karyawan dan beberapa model yang dekat sama dia, ya udah akhirnya kita makan-makan di resto Jepang dan pulang agak malem. Kamu sendiri kapan libur? Aku udah kangen banget." Kenan menyandarkan tubuhnya ke tembok, dia saat ini berada di depan kamarnya di sebuah hotel yang dia sewa selama dua hari sebelum dia flight ke Dubai lusa. Entah kenapa jawaban Raya membuatnya semakin ragu, dia tahu jika Raya berbohong karena Aldo memberikan foto Raya semalam masuk ke dalam hotel bersama dengan seorang pria. Kenan paham apa yang dilakukan oleh dua orang pria dan wanita jika menyewa hotel seperti itu. "Yank, kok diem aja? Kapan kamu libur?" "Masih lama, aku istirahat dulu. Rasanya lelah banget." Setelah itu Kenan mematikan panggilannya. Pria itu memutuskan untuk masuk ke dalam kamarnya dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Pria itu ingin sekali marah, mengingat jika Raya melakukan ini bukan untuk yang pertama kali. Satu tahun lalu, Raya juga kepergok jalan dengan seorang pria, tetapi saat itu Raya mengelak dan mengatakan jika mereka hanya teman. Kenan berusaha untuk percaya dan dia tidak membahas hal itu lagi, tetapi kali ini rasanya sudah tidak bisa untuk dimaafkan. Raya bukan hanya jalan dengan pria lain, tetapi mereka masuk ke dalam hotel. Lalu, apakah yang akan dilakukan oleh Raya? Tentu saja hal-hal yang lebih intim, bukan? Kenan begitu mencintai Raya, tiga tahun hubungan mereka meskipun harus LDR tetapi Kenan tetapi setia. Padahal banyak sekali yang ingin naik ke ranjangnya, menggodanya bahkan dengan terang-terangan mengajaknya tidur gratis, tetapi Kenan selalu menolak. Dia tidak mau mengkhianati kekasihnya. Lalu, bagaimana jika dia yang dikhianati? *** "Sebenarnya apa artinya hubungan kita, Ray?" gumam Kenan memandang gelas bening di depannya. Isinya kosong dan dia langsung menuangkan lagi botol wine di sampingnya. Pria itu memutuskan untuk pergi ke club malam yang cukup terkenal, dia memilih pisah dari teman-temannya yang juga berprofesi sebagai co pilot dan pramugari. Ada lima orang yang juga ikut ke club malam itu, tetapi Kenan lebih milih minum sendiri. Malam ini dia hanya ingin menghabiskan waktu dengan minum untuk membuang pikiran kusutnya dan juga patah hati karena Raya. "Kenapa sih, aku nggak mau nikah, tapi kenapa kalian maksa!" suara seorang wanita terdengar samar di samping Kenan, penuh dengan nada getir. Kenan melirik sekilas ke arah wanita itu, mendapati sosoknya yang tengah duduk dengan kepala tertunduk setelah memasukkan ponselnya ke dalam tas yang dibawa. Sorot matanya suram, serupa bayangan dirinya sendiri yang tengah rapuh. Ia seharusnya tidak perlu peduli, namun ada sesuatu dari suara itu yang membuatnya penasaran. Wanita itu mendongak, seolah merasakan tatapan Kenan. Mereka saling menatap sesaat dan ternyata dia adalah Maudy, salah satu pramugari di maskapai penerbangannya Wanita cantik yang sedikit pendiam tetapi selalu ramah dan sopan. Ya, Maudy memang berbeda dari para pramugari lainnya. Wanita itu selalu menyendiri seperti ini dan hanya dia yang sepertinya tidak tertarik dengan Kenan. Maudy memilih untuk memutuskan pandangan dan menyunggingkan senyum pahit. Tanpa sadar, Kenan menggerakkan kakinya, mendekati kursi di sebelahnya. “Maudy, ternyata kamu juga ke sini?" "Iya Capt, lagi suntuk aja." "Nggak usah formal kalau lagi di luar, panggil nama aja," ujar Kenan. Maudy menoleh menatap pria tampan di sebelahnya itu, mengerutkan keningnya karena merasa aneh. Kenan biasanya ikut pesta minum bersama yang lain, tetapi kenapa sekarang pria itu lebih memilih untuk mendatanginya. "Kenapa kamu nggak gabung sama yang lain?" tanya Maudy akhirnya. Kenan bisa melihat bulu mata lentik Maudy dan Kenan tahu jika itu bulu mata asli. Wanita itu sangat cantik, tetapi kabarnya sampai sekarang masih jomblo. Kenan sebenarnya penasaran, kenapa Maudy tidak ingin memiliki kekasih? "Lagi pengen sendiri, liat kamu di pojokan sini sepertinya lebih menarik," jawab Kenan asal, membuat Maudy terkekeh. Wanita itu menoleh dan Kenan bisa melihat bibir ranum Maudy yang merekah. Membuat setiap orang yang melihatnya pasti ingin mencicipi. Kenan tidak menyangkal jika banyak sekali yang sebenarnya menginginkan Maudy, tetapi wanita itu terlalu menutup diri. Entah kenapa, di sudut hatinya, Kenan ingin mengenal lebih jauh wanita itu. "Mau cerita? Keliatannya kamu ada masalah?" "Capt, gimana sih rasanya punya hubungan dengan lawan jenis?" Kenan sedikit terkejut dengan pertanyaan Maudy dan hal itu semakin membuat Kenan ingin menyelam lebih jauh untuk mengetahui sisi Maudy. "Hubungan yang seperti apa, nih? Pertanyaan kamu ambigu," jawab Kenan. Maudy kali ini mengalihkan tubuhnya menghadap pria itu. "Seperti kekasih? Pacaran atau istilah seperti komitmen? Aku nggak mau punya komitmen dengan siapapun, tapi keluargaku terus saja mendesak untuk nikah. Padahal aku nggak mau, aku masih ingin bebas," ujar Maudy. "Kenapa kamu takut punya komitmen?" Kenan kali ini sedikit mendekat dan lengan mereka bahkan bersentuhan. "Entahlah, aku merasa trauma aja." Maudy tidak ingin menceritakan lebih detail pengalaman hidupnya. "Kamu tuh cantik, banyak yang suka. Sering jadi bahan ghibah para pilot dan co pilot," ujar Kenan kini ikut terkekeh. "Capt juga sering jadi bahan ghibah para pramugari." Kenan tersenyum. "Ya, taulah kalau itu." Kenan berniat sombong. "Tapi cuma kamu kayaknya yang nggak pernah ghibahin aku." Maudy menggeleng, mengambil gelas yang masih tersisa wine dan meminumnya. "Kapten udah punya pacar, ngapain juga idolain pacar orang." "Panggil nama aja, kita lagi di luar pekerjaan." Kenan mengambil tangan Maudy, meremasnya lembut membuat wanita itu sedikit tersentak. Sungguh dekat dengan Maudy membuat Kenan berdebar. Aneh memang, mereka selama ini memang hanya saling sapa saja, tidak pernah mengobrol sedekat ini. Akan tetapi, rasanya dekat dengan Maudy itu bisa membuat Kenan melupakan kemarahannya pada Raya. "Ken—" "Kamu pengen nggak merasakan kebebasan, tidak memiliki ikatan apapun tapi merasa bahagia?" Maudy mengangguk saja, rasanya kepalanya saat ini sudah begitu pusing. Bahkan kini tangannya sudah menggenggam tangan Kenan. "Sebenarnya pacarku selingkuh dan rasanya aku juga malas memiliki komitmen dengan siapapun." "Apa? Selingkuh?" Kenan mengangguk. Semakin mendekatkan tubuhnya pada Maudy Di tengah keremangan bar dan dentingan musik yang samar, mereka merasakan daya tarik yang tak terhindarkan. Kenan merasakan dorongan untuk menyentuh pipi Maudy, membelai lembut, seolah hendak memastikan bahwa perasaan itu nyata. Jantungnya berdetak kencang. Debaran yang begitu nyata, Maudy sungguh membuatnya tidak waras. Kenan memajukan wajahnya dan mencium bibir Maudy sekilas. Gila, rasanya sungguh berbeda, sensasi yang belum pernah Kenan rasakan. “Apa kita akan menyesali ini?” bisik Maudy, suaranya gemetar. Jantungnya juga berdebar-debar, tetapi entah kenapa rasanya begitu memikat. Kenan sanggup membuat pertahanan Maudy runtuh, ada gelenyer aneh di dadanya. “Entahlah,” jawab Kenan dengan suara rendah. “Tapi malam ini, aku hanya ingin melupakan segalanya. Mungkin kita berdua butuh malam seperti ini.” Tidak ada lagi kata-kata setelah itu. Hanya kehangatan yang semakin mendekat, hingga akhirnya Maudy menutup mata, membiarkan dirinya hanyut dalam momen yang tak terduga bersama Kenan. Bibir mereka saling bersentuhan, memberikan daya magnet yang seakan tidak bisa dilepaskan. Keduanya sama-sama menginginkan sentuhan itu, sentuhan yang sangat memabukkan dan membuat keduanya berakhir di sebuah kamar yang memang tersedia di bar tersebut. *** Matahari pagi menyelinap masuk melalui tirai tipis, membelai lembut wajah Maudy yang masih terpejam di sisi ranjang. Kenan terbangun lebih dulu, memandangi wanita di sebelahnya dengan perasaan campur aduk. Semalam, mereka berjanji untuk melupakan malam itu sebagai kesalahan. Namun, kini ia menyadari bahwa perasaan itu tidak sesederhana yang ia bayangkan. Kenan merasa seolah sebagian dirinya tertinggal bersama Maudy. Ia menghela napas panjang, mengalihkan pandangannya keluar jendela, melihat kota Singapura yang mulai sibuk. Seolah menyesali, namun juga menyimpan kenangan yang tak akan terlupakan. Maudy perlahan membuka mata, terkejut melihat Kenan masih di sana. Sejenak mereka hanya saling menatap, tak ada yang berani memulai pembicaraan. “Aku pikir, kamu akan pergi lebih dulu,” ucap Maudy akhirnya, suaranya terdengar parau khas bangun tidur. Kenan tersenyum tipis. “Sebenarnya aku juga berpikir seperti itu. Tapi aku merasa ... sulit.” “Kenapa?” tanya Maudy, meski ia tahu jawaban yang sebenarnya. Kenan menatap Maudy dengan sorot yang dalam, mencari kata yang tepat untuk diungkapkan. “Karena entah kenapa, malam ini terasa ... lebih dari sekadar pelarian.” Lebih tepatnya Kenan merasa harus bertanggung jawab karena dia telah mengambil keperawanan Maudy, meskipun wanita itu mengatakan jika dia baik-baik saja. Maudy terdiam. Ia merasakan perasaan yang sama, namun takut untuk mengakuinya. “Kita sepakat untuk menganggap ini sebagai kesalahan, kan?” gumam Maudy, memalingkan wajahnya, yang entah kenapa kata-kata itu membuat Kenan agak kecewa. “Ya, kamu benar,” jawab Kenan, meski nada suaranya terdengar bimbang. “Kesalahan.” Mereka berdua terdiam, mencoba menerima kenyataan yang jauh lebih rumit dari yang mereka bayangkan. Perasaan itu bukan sekadar impulsif atau pelarian, tetapi kenyamanan yang selama ini tidak pernah mereka temukan. “Aku harus pergi.” Maudy berkata akhirnya, berusaha menguatkan dirinya. Wanita itu mengambil tas dan ponselnya di nakas. Dia sudah memakai pakaiannya sehabis bermain semalam dengan Kenan. Kenan mengangguk, meski dalam hatinya ia ingin menghentikan langkah Maudy. Namun, tidak ada yang bisa dia katakan. Dia hanya bisa menyaksikan Maudy beranjak, melangkah pergi tanpa menoleh lagi. Saat pintu menutup, Kenan terdiam, merasa seolah ada yang hilang dari dirinya. Semalam mungkin hanya pelarian, tetapi dia tahu bahwa pelarian itu telah merubah segalanya. Di luar kamar, Maudy berhenti sejenak, menggigit bibirnya dalam kebimbangan. Hatinya berteriak untuk kembali, namun akal sehatnya mengingatkan akan perjanjian mereka. Namun, saat ia melangkah pergi, ia merasa perasaan itu tidak akan hilang dengan mudah. Sesuatu dalam dirinya tertinggal bersama Kenan di kamar itu. "Tidak-tidak, semua itu hanya one night stand dan itu hal biasa, bukan?" gumam Maudy terus berjalan. Hingga tiba-tiba ada seseorang yang memanggilnya. "Maudy?" Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN