Bab 11. Perjodohan

1111 Kata
Happy Reading. Maudy menghela napas panjang, liburannya kali ini tersisa seminggu lagi. Saat ini dia baru bangun tidur dan sudah membersihkan diri. Ibunya sudah memintanya untuk bicara. Sebenarnya dia paling malas kalau disuruh pulang ke rumah ibunya, tetapi ya mau bagaimana lagi, jarak rumah ibunya dengan rumahnya yang ada di Jakarta memang tidak jauh. Maudy duduk di ruang tamu, berhadapan dengan ibunya. Wanita paruh baya itu hanya tinggal bersama adiknya yang baru saja lulus kuliah dan satu asisten rumah tangga yang biasa membantu. Maudy lebih memilih membeli rumah sendiri ketimbang serumah dengan sang ibu yang menurutnya terlalu mengatur hidupnya. Entahlah, sejak bekerja Maudy memang menyisihkan sebagian gajinya untuk kredit rumah hingga ia bisa membeli apartemen di Singapore. Maudy merasa jika dia harus lebih mandiri lagi, walaupun keputusannya saat itu sangat di tentang ibunya. Matahari baru saja menampakkan sinarnya, tetapi suasana di dalam rumah terasa dingin dan tegang. Ibunya Maudy–Ratna, duduk di hadapannya dengan tatapan dalam. Wanita paruh baya itu memegang cangkir teh, namun gerakannya kaku, mencerminkan ketegangan yang meliputi suasana. “Maudy,” suara Ibu Ratna terdengar tegas. Meletakkan cangkirnya di atas meja dengan gerakan elegan. “Kamu tahu kenapa Ibu memanggilmu pulang, kan?” Maudy mengangguk pelan, meski hatinya terasa berat. Ia tahu jika wacana menikah pasti selalu saja diucapkan ketika berhadapan dengan sang ibu. "Ibu nggak pernah memintamu berhenti dari pekerjaanmu, tapi ibu hanya ingin kamu mengakhiri masa lajangmu. Menikahlah, nak. Agar Ibu tenang. Di usia Ibu ini sudah seharusnya meminang cucu," ujar sang Ibu kini dengan raut sendu. "Bu, tapi Maudy belum memiliki pria yang tepat untuk—" “Ibu sudah atur pertemuan dengan Adrian besok malam,” sela Bu Ratna dengan nada yang tidak dapat diganggu gugat. “Dia pria yang baik, dari keluarga terhormat. Dia bisa memberimu masa depan yang jelas, Maudy.” “Bu, tapi aku nggak cinta sama Adrian,” jawab Maudy akhirnya, suaranya bergetar. “Aku nggak bisa menjalani hubungan hanya karena status atau nama baik keluarga.” Maudy meremat tangannya yang terasa dingin. Adrian adalah pria yang pernah mendekatinya dulu, tetapi Maudy tidak menyukainya. Maudy memiliki trauma sendiri hingga dia sulit untuk membuka sebuah hubungan. “Kamu pikir cinta itu cukup, Maudy?” Bu Ratna mendekatkan tubuh sang putri, tatapannya dalam dan tulus. “Kehidupan pernikahan itu butuh lebih dari cinta. Kamu terlalu naif kalau berpikir bisa bahagia dengan seorang pria hanya bermodalkan cinta. Perasaan itu akan tumbuh dengan berjalan seiringnya waktu." Maudy terdiam, kata-kata ibunya menghujam hatinya. Memang benar, sih apa yang diucapkan sang ibu. Tetapi, apakah dia bisa? Pernikahan ibunya dengan sang ayah saja gagal, padahal dulu juga atas dasar cinta. Sebenarnya Maudy ingin sekali mengatakan hal itu, tetapi selalu saja tersangkut di tenggorokan. Apakah Maudy bilang saja jika dia memiliki pria idaman. Akan tetapi, hubungannya dengan Kenan masih terlalu rumit. Ah, selalu seperti ini. Maudy selalu tidak tega mendengar keinginan ibunya yang menurutnya terlalu menekan. "Bu, Maudy—" "Nak, kali ini saja," sorot mata Bu Ratna sendu. "Kali ini saja, Ibu mohon menurut lah. Besok malam, bertemulah dengan Adrian. Ibu sudah beri tahu dia jika kamu sedang libur." *** Di sisi lain. Kenan baru saja joging, mengitari jalanan sekitar apartemen untuk membakar lemaknya. Langkahnya tiba-tiba berhenti saat melihat siapa yang ada di depannya. "Raya, ada apa?" Kenan sedikit terkejut melihat sang mantan, ah sudah jadi mantan kan? Jadi Kenan menyebutnya mantan kekasih. "Aku dapat kabar, ada bukti juga. Katanya kamu berciuman dengan pramugari itu, siapanya namanya? Maudy, ya benar dia. Kamu berciuman di bar pas kalian ada di Singapura dan setelah itu kalian pesan kamar, right?" Kenan melototkan matanya mendengar ucapan Raya. Ternyata wanita itu benar-benar mencari informasi sampai tahu hal tersebut. “Kamu tahu, kariermu ada di tanganku,” lanjut Raya, suaranya semakin dingin. “Kalau kamu terus bersama dia, aku pastikan nama kamu hancur. Dan aku nggak main-main, Kenan.” Kenan terdiam. Ancaman itu membuatnya merasakan takut. Jujur, skandal pilot dan pramugari memang pasti akan ada hukumannya, bahkan bisa langsung dipecat secara tidak terhormat dari maskapai. Pikiran Kenan langsung melayang ke Maudy, bagaimana kabar wanitanya itu kalau tahu Raya benar-benar membuktikan ucapannya dengan ancaman seperti ini. “Raya, kamu nggak bisa terus mengancamku seperti ini,” jawab Kenan akhirnya, mencoba terdengar tegas meski hatinya ketar-ketir. “Aku akan tetap membuat keputusan, kita sudah putus dan aku memang udah nggak cinta lagi sama kamu. Karena hal itu lah akhirnya aku meminta hubungan ini berakhir." Raya nampak mengepalkan tangannya. Dia masih tidak terima jika diputuskan oleh Kenan begitu saja. “Lihat saja, Kenan. Kita lihat siapa yang akan menang di akhir!" Setelah mengatakan itu, Raya pergi dari tempat tersebut, meninggalkan Kenan yang juga tengah menahan emosi. *** Malam itu, di kamarnya, Maudy termenung. Ia merasa dunia seakan menekan dari segala arah—keluarganya, tekanan sosial, dan hubungan yang rumit dengan Kenan. Ia menatap ponselnya, ada pesan dari Nina, sahabatnya yang selalu menjadi tempat curhat. "Kamu kuat, Maud. Tapi jangan biarkan keluargamu menentukan semuanya. Kamu harus tetap jadi diri sendiri." Air mata menetes di pipinya saat membaca pesan itu. Ia tahu Nina benar, tapi ia juga tahu ia tidak bisa melawan semua ini sendirian. Pikirannya melayang pada Kenan. Apa yang sedang dia lakukan sekarang? Kenapa sih hidupnya seperti ini? Akhirnya Maudy memutuskan untuk memberitahu masalah perjodohan itu. Dia ingin jika Kenan lah yang bersamanya, dibandingkan dengan Adrian yang temperamental. Sebelum semuanya terlambat, bisa kah Maudy meminta Kenan untuk datang ke rumahnya dan mengatakan pada sang ibu jika dia adalah kekasih. Maudy mengirimkan pesan panjang, dia berharap Kenan bisa mengerti keadaannya. Saat itulah ponselnya bergetar. Nama Kenan muncul di layar, membuat dadanya berdebar. “Halo, Kenan,” suara Maudy terdengar pelan. “Maudy,” suara Kenan terdengar berat, seakan membawa seluruh beban dunia. “Kamu nggak apa-apa, kan?” Suara Kenan terlihat khawatir. “Sejujurnya, aku nggak tahu, Kenan,” jawab Maudy jujur. “Aku merasa terjebak. Keluargaku ingin aku menikah dengan pria lain. Tapi aku nggak mau, aku bingung." Keheningan meliputi mereka sesaat sebelum Kenan akhirnya berkata, “Maudy, aku nggak peduli seberapa sulit ini. Aku tahu, aku hanya mau kamu. Aku akan lakukan apapun untuk melindungi kita. Aku pastikan kamu nggak akan bertemu dengan pria itu. Aku akan bicara pada ibukmu, ya?" Air mata mengalir di pipi Maudy mendengar kata-kata itu. Ia tahu Kenan tulus, tapi ia juga tahu bahwa dunia mereka penuh rintangan yang mungkin tidak bisa mereka atasi. “Kenan, aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku juga nggak ingin kehilangan kamu, aku cinta sama kamu Kenan." Akhirnya Maudy mengutarakan perasaannya. Kenan tersenyum lebar di seberang, hatinya membuncah dan jantungnya berdetak kencang. Pria itu mengangguk meski Maudy tidak bisa melihatnya. “Aku janji, Maudy. Aku akan pergi menemui keluarga mu, tunggu ya?" Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN