Sang Pewaris-5

2600 Kata
"Aku sudah mempertimbangkannya ... bahwa kamu akan mendapat promosi pindah divisi." Semakin tak mengerti saja Andaru akan pernyataan Dion Arashi. "M-maksudnya, Pak?" "Ya. Kamu akan aku pindah ke divisi IT support. Kurasa waktu tiga tahun sudah cukup bagimu berada di divisi sales dan administration. Kini saatnya kamu mengepakkan sayap karir sesuai kemampuan yang kamu miliki. Dan kurasa ... kamu lebih daripada mampu untuk menduduki jabatan sebagai staff IT." Dion menjelaskan dengan masih menatap lurus pada Andaru. Sementara pria itu masih tak percaya dengan apa yang didengarnya. Benarkah dia akan naik jabatan? Ah, bukan. Tapi ini hanya pindah divisi saja. Setidaknya setingkat lebih maju daripada dia hanya berkutat pada berkas surat menyurat perusahaan juga membantu divisi penjualan. Dengan penempatannya di IT, setidaknya kemampuan yang Andaru terima akan lebih banyak lagi dan lebih maju. Kepandaian dan kemampuannya akan lebih terasah juga. Tentu saja Andaru tak akan menyianyiakan kesempatan ini. "Apa ... apa yang Bapak katakan ini adalah benar?" "Apa kamu pikir aku bercanda?" "Tidak ... tidak. Bukan seperti itu, Pak." "Jadi, bagaimana Andaru? Apakah kamu menerima tawaranku dan sanggup menjalankan apa amanahku padamu seandainya kamu sudah menempati posisi baru?" Dengan cepat Andaru mengangguk. Ini adalah sebuah kesempatan baginya. Dan Andaru yakin sekali jika kesempatan tak akan datang dua kali. Andaru berharap banyak semoga dengan posisi barunya mampu membuka jalan rejeki untuknya. Selama ini Andaru hidup pas-pasan bersama Arimbi, Ibunya yang mulai menginjak usia tua. Gaji yang dia terima sebagai seorang staff adiministrasi juga tidak banyak. Sesuai dengan standar upah minimum pekerja. Meski terkadang ada tambahan bonus penjualan atau bonus lembur, tapi jumlahnya juga tidak banyak. Bukan Andaru kurang bersyukur atas nikmat rejeki yang telah Tuhan beri. Tidak sama sekali. Yang penting bagi Andaru, gajinya setiap bulan cukup untuk biaya hidup seperti makan juga kebutuhan yang lainnya dan tak lupa untuk sadekah juga. Tak banyak yang dapat Andaru sisihkan untuk tabungan. Dalam benak Andaru selalu menanamkan sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit. Tabungan yang Andaru siapkan sebagai bekal masa depan. Tidak mungkin juga Andaru akan terus-terusan menjadi seorang karyawan. Ada masanya kelak Andaru akan membuka usaha sendiri hingga kehidupannya menjadi lebih layak dari sebelumnya. Selain itu, dari segi usia Andaru sudah saatnya berumah tangga. Siapa tahu saja dia segera menemukan jodoh. "Andaru!" Panggilan Dion menyentak lamunan pria itu hingga Andaru tergagap mendapati Dion tengah menanti jawabannya. "Baik, Pak Dion. Saya terima tawaran Anda." Dion Arashi tersenyum lebar, mengulurkan tangannya di hadapan Andaru. Dengan diiringi senyuman lebar Andaru menerima uluran tangan dari sang atasan sehingga keduanya saling berjabat tangan. "Selamat bergabung dengan IT Support, Andaru. Mulai bulan depan, kamu sudah akan menerima tugas barumu. Aku harapkan sisa waktu sampai akhir bulan ini dapat kamu pergunakan dengan sebaik-baiknya untuk menyelesaikan semua tugas-tugasmu yang masih tertunda, juga jika dibutuhkan segera langsung serah terima pada rekan kerjamu yang lainnya." "Baik, Pak. Saya akan segera menyelesaikan semua tugas-tugas saya. Jika demikian saya permisi dulu dan terima kasih banyak untuk kesempatan yang telah diberikan kepada saya." Andaru beranjak berdiri, mohon pamit pada Dion sebelum pria itu keluar dari dalam ruangan sang atasan. Munculnya Andaru dari dalam ruangan Dion Arashi, disambut dengan seulas senyuman oleh seorang wanita cantik yang duduk di balik meja sekretaris tepat di depan ruangan CEO & Owner Arashi Group. "Saya permisi dulu, Mbak!" pamit Andaru demi kesopanan pada pekerja perempuan yang merupakan sekretaris sang atasan. "Sudah selesai dengan Pak Dion-nya?" "Sudah. Mari ... saya duluan." Wanita itu mengangguk dan membiarkan Andaru meninggalkan tempat. Sepanjang langkah yang Andaru tapaki seolah ringan sekali. Itu semua karena rasa bahagia yang membuncah tak terkira tengah Andaru rasakan. Masuk ke dalam lift menuju lantai bawah untuk kembali ke ruang kerjanya yang sekarang. Tinggal satu minggu lagi dirinya berada di divisi administrasi. Sebuah divisi yang memberinya banyak pengalaman juga pelajaran. Di sana pula Andaru bisa mengetahui jika masih banyak orang jahat di dunia ini. Meski demikian di antara banyaknya para rekan kerja yang sering menyiksanya, masih ada segelintir manusia yang iba juga mau bersikap baik padanya. Andaru patut bersyukur atas itu semua. Setidaknya dia adalah orang yang hebat karena masih bisa bertahan sampai di titik ini. Tiga tahun bukanlah waktu yang singkat bagi Andaru bekerja di perusahaan ini. Suka duka telah ia lalui dan buah dari kesabarannya kali ini ketika Andaru mendapatkan promosi dan itu langsung diberikan oleh Dion Arashi sendiri. Lift berhenti tepat di lantai di mana divisi administrasi berada. Kembali menundukkan kepala karena Andaru tidak ingin orang lain mencurigainya. Beruntung ketika Andaru melihat jam di pergelangan tangannya yang sudah mendekati usainya pekerjaan sehingga para karyawan sudah bersiap pulang. Tak lagi ada yang merecoki Andaru, membuat pria itu bernapas lega dan kembali duduk di kursi kerjanya. Pekerjaannya hari ini masih menumpuk dan Andaru harus menyelesaikan semuanya meski ia harus lembur lagi malam ini. Bekerja lembur memang hal yang wajar bagi karyawan yang memang kebanjiran pekerjaan serta tanggung jawab untuk mengemban tugasnya masing-masing. Karena jika tidak diselesaikan hari ini juga, maka esok hari pekerjaan itu akan bertambah lagi dan semakin menumpuk saja. Jadi, sebisa mungkin Andaru harus menyelesaikan apa yang menjadi tugasnya di hari yang sama. Jika masih bisa ia bawa pulang untuk dikerjakan di rumah, pasti Andaru juga akan lakukan. *** Tak terasa sudah hampir jam sembilan malam ketika Andaru selesai dengan pekerjaannya. Pria itu menyandar sembari mengulet pelan meregangkan otot tubuhnya yang kaku. Punggung terasa panas karena kebanyakan duduk. Sejak jam delapan pagi sampai jam sembilan malam ini Andaru terus saja beraktifitas tanpa henti. Jadi tak heran jika tubuhnya yang kaku dan pegal terasa di mana mana. Meski demikian Andaru tak boleh mengeluh. Ini semua sudah menjadi konsekuensi atas pekerjaan juga usahanya untuk mencari nafkah. Mengingat akan ibunya, buru-buru Andaru mematikan komputer. Namun, sebelum itu tak lupa ia menyimpan semua pekerjaannya agar tidak hilang dengan sia-sia. Setelah meja kerjanya rapi seperti pagi tadi, Andaru beranjak berdiri. Meraih tas ransel dan menyampirkan di punggung. Ponsel yang tak pernah ia hiraukan selalu berada di dalam tas miliknya. Selama ia bekerja Andaru hampir tak pernah menyentuh benda itu karena dia tidak sempat saja. Terkadang ia hanya membalas pesan yang ibunya kirimkan ketika mengingatkannya makan. Ibu yang selalu sayang dan peduli kepadanya. Berharap ibunya diberikan umur yang panjang agar tetap selalu berada di sisi Andaru. Sampai di parkiran khusus sepeda motor yang tampak lengang. Di sana hanya ada beberapa buah saja motor yang masih terparkir menunggu sang empunya mengambil. Harap-harap cemas karena takut terjadi sesuatu dengan motor matic-nya karena biasanya ada saja orang usil yang mengerjainya. Huft, lega. Ban motor masih aman dan setelah Andaru meneliti dengan seksama kendaraannya itu dalam kondisi baik-baik saja. Itu berarti malam ini Andaru bisa segera pulang ke rumah tanpa hambatan lagi. Memakai helm juga jaket yang ia simpan di dalam jok. Menyalakan mesin motornya, setelah itu ia lajukan motor matic miliknya meninggalkan kantor Arashi Building. Doa-doa yang Andaru lafalkan juga keberuntungan yang seolah berpihak kepadanya, hingga tak sampai satu jam perjalanan, pria itu telah sampai di rumah. Mematikan kendaraanya dan seperti biasa Arimbi yang sudah membuka pintu gegas keluar menyambut kedatangan sang putra tercinta. "Ndaru, baru pulang kamu, Nak. Ibu tungguin sejak tadi. Kenapa setiap hari pulangnya semalam ini?" Arimbi yang tadi tengah khawatir menanti kepulangan Andaru, kini merasa lega karena putranya yang sejak tadi ditunggu pulang juga akhirnya. "Iya, Bu." Andaru turun dari motor langsung membungkuk untuk meraih tangan ibundanya lalu mencium punggung tangan wanita yang telah melahirkannya itu. Sangat sopan dan penuh kasih sayang Andaru memperlakukan Arimbi karena wanita itu satu-satunya keluarga yang Andaru punya. Sejak kecil Andaru tak pernah mengenal siapa saudara juga keluarga besarnya. Hanya ibulah yang ia tahu sebagai orang tua tunggal yang telah berjuang seorang diri membesarkannya. Pernah dulu sekali ketika masih kecil, Andaru bertanya. Ke mana bapaknya karena semua teman-temannya tak hanya memiliki seorang ibu saja. Namun, juga memiliki seseorang yang selalu dipanggil bapak atau ayah. Hanya saja jawaban yang selalu ibunya beri mengatakan jika bapaknya sedang bekerja di tempat yang jauh. Seiring bertambahnya usia dan Andaru beranjak remaja tak mungkin lagi bisa ia mempercayai begitu saja apa yang ibunya ucapkan dan ceritakan jika bapaknya tengah bekerja. Jika memang bekerja, lantas lantas kenapa bapaknya tak pernah pulang atau sekadar berkirim kabar. Dari situlah Arimbi mulai bungkam dan hanya mengatakan, "Kita doakan saja agar Bapak selalu dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa." Dan seolah mengerti akan perasaan sang ibu karena acapkali membahas mengenai bapak, maka raut kesedihan tampak jelas di wajah wanita itu. Hal yang tak Andaru sukai ketika melihat ibunya bersedih hati. Sejak itulah Andaru tak lagi mau membahas seputar bapaknya. Entah siapa bapaknya juga di mana keberadaan bapaknya, Andaru tak paham dan tak mau ambil pusing lagi. Yang ia tahu hanya Arimbi seorang yang selalu berperan sebagai ibu juga bapak untuknya. Berbagai macam olokan dari teman-temannya tak lagi Andaru pedulikan. Membiarkan saja mereka mengolok jika Andaru itu anak haram dan tak punya bapak. Andaru tak peduli. Toh, dia hidup di dunia ini tidak minta makan dan minum ada orang lain yang suka mengolok juga menghinanya. Andaru sendiri tak ada daya dan upaya untuk membungkam mulut mereka agat tak lagi mengata-ngatainya. Jurus yang Andaru andalkan hanyalah diam dan jiga bersabar berharap suatu hari nanti ia dapat dieprtemukan dengan bapaknya. Ransel di bahu diambil alih oleh Arimbi. Hal yang sudah menjadi kebiasaan sampai Andaru hapal. "Kenapa selalu pulang malam. Lihatlah wajahmu tampak lelah sekali." Andaru berusaha memaksakan senyuman karena tak ingin ibunya risau akan dirinya. "Lagi banyak sekali pekerjaan yang harus aku selesaikan, Bu. Jadi ... ya, beginilah resikonya. Andaru harus kerja lembur." Kebohongan yang selama ini selalu Andaru berikan agar tak membuat Arimbi mencemaskannya. Padahal kenyataannya Andaru harus lembur karena sibuk mengerjakan pekerjaan rekan-rekannya yang bukan tugasnya. Ya, selama ini Arimbi tak pernah tahu akan apa yang menimpa putranya. Selalu menjadi bahan bully-an di mana pun sang putra berada. Arimbi pikir Andaru baik-baik saja karena pandainya pria itu menyembunyikan ekspresi wajahnya ketika sedang berhadapan dengan sang ibu. Dalam hati Andaru selalu berdoa agar selamanya sang ibu tak pernah yahu dengan apa yang terjadi dalam kehidupannya selama ini. "Apa kamu tidak bisa meminta keringanan pada atasanmu agar memberikan pekerjaan tidak terlalu banyak begitu. Setiap hari kamu harus lembur. Ingat, Ndaru. Kesehatan itu lebih penting dari uang. Percuma saja kamu bekerja keras dan banyak uang tapi justru mengabaikan kesehatan. Amit ... amit. Ibu hanya tidak ingin jika di ambang batas kekebalan tubuhmu nanti bisa menurun dan bisa jatuh sakit." "Ibu jangan khawatir begitu. Aku pasti akan menjaga diri juga kesehatanku. Ibu tenang saja." Melihat raut kekhawatiran di wakah sang ibu membuat Andaru tidak tega. Merangkul bahu Arimbi dan membawa ibunya masuk ke dalam rumah. "Ibu doakan saja agar aku selalu sehat agar bisa mencari nafkah juga menjaga ibu selamanya." Arimbi tersenyum. Ia begitu menyayangi putranya ini. Meletakkan ransel di atas safa lalu mendongak menatap Andaru sembari berkata, "Mandilah dulu. Ibu sudah menyiapkan air hangat untukmu. Selagi kamu mandi ... makanan akan ibu hangatkan." "Terima kasih, Bu. Seharusnya Ibu tidak perlu repot-repot. Aku bisa menyiapkannya sendiri. Ibu harus banyak beristirahat. Ingat ... usia ibu sudah tak muda lagi. Jangan banyak melakukan aktifitas atau kegiatan yang berat-berat." "Halah! Kenapa jadi kamu yang menasehati ibu. Wong kamu sendiri juga seperti itu." Keduanya tertawa bersama sampai ketika Andaru mengingat sesuatu. Lalu senyumnya merekah sembari menatap pada ibunya penuh kasih. "Bu ... ada hal yang ingin aku ceritakan pada Ibu. Tapi aku mandi dulu. Badanku sudah sangat lengket sekali oleh keringat. Nanti sambil makan aku akan ceritakan semua pada Ibu." Melihat wajah berbinar dari putranya, membuat Arimbi bertanya-tanya juga tidak sabar ingin mendengar berita apa yang hendak Andaru bagi dengannya. Jika melihat dari berbinarnya raut wajah sang putra, Arimbi tebak jika berita bahagialah yang ingin Andaru ceritakan padanya. "Ya, sudah mandi dulu, kamu bau keringat." Andaru menganguk. Meraih tas ranselnya dan membawa ke dalam kamar. Sementara itu, Arimbi gegas menuju dapur menghangatkan makanan untuk sang putra tercinta. *** Sudah hampir jam sepuluh malam. Bahkan Arimbi telah menguap beberapa kali. Andaru yang baru saja masuk ke dalam ruang makan dan melihat ibunya terkantuk-kantuk menunggunya, membuat pria itu merasa kasihan. Karena menunggu kepulangannya, Arimbi harus tidur larut malam. Menyentuh lembut bahu ibunya membuat wanita tua itu terperanjat lalu mendongak. "Ibu jika mengantuk sebaiknya tidur saja. Jangan dipaksakan tetap terjaga. Aku akan makan sendiri. Tidak apa-apa. Ibu istirahat saja." Namun, Arimbi justru menggelengkan kepalanya. "Ibu masih bisa menahannya." "Haish! Ibu ini kenapa harus memaksakan diri seperti ini. Nanti ibu sakit. Sudah, tidur saja." Sebesar apapun rasa kantuk yang Arimbi rasa berusaha ia redam demi bisa medampingi Andaru makan juga mendengar semua cerita yang terlontar dari mulut sang putra. Kebiasaan mereka berdua jika bersama selalu bertukar cerita karena selama satu hari ini terpisah. Hubungan yang baik antara ibu dan anak harus terjalin dengan baik melalui kedekatan dan kerapatan seperti ini. "Ibu masih menunggumu untuk bercerita. Hal apa yang tadi ingin kamu ceritakan pada Ibu." Andaru tersenyum tak menyangka jika ibunya selalu antusias mendengar semua keluh kesah juga cerita yang dia bagi setiap malam. Namun, kali ini ada hal besar yang memang ingin ia bagi pada ibunya. "Tap jika ibu sudah capek dan mengantuk, tidak perlu dipaksakan. Masih ada hari esok untukku bercerita pada ibu." Arimbi menegakkan punggungnya dan berusaha membuka lebar matanya. Ingin menunjukkan pada putranya jika dia siap sedia mendengar semuanya. "Lihatlah kantuk ibu sudah pergi." Andaru terkekeh pelan lalu mulai mengisi piringnya dengan nasi. Arimbi juga turut membantu dengan mengambilkan lauk serta sayur yang telah ia siapkan di atas meja. Setiap hari Arimbi selalu memasak untuk Andaru. Andaru sendiri juga lebih menyukai masakan ibunya daripada harus beli di luaran sana. Hanya sesekali saja mereka akan membeli makan di luar ketika Andaru gajian misalnya, atau di saat Arimbi sedang merasa kecapekan. Andaru mulai menyuap makanannya dan mengunyahnya pelan menikmati lezatnya rasa masakan buatan ibunya. Selalu saja tak pernah mengecewakan. Arimbi memang jago memasak meski hanya masakan sederhana saja yang selalu wanita itu buat. Meksipun demikian karena bumbu di dalamnya ditaburi dengan penuh cinta oleh sebab itulah rasa masakan selalu saja menggugah selera. Andaru menyantap makanannya dengan lahap sekali. Arimbi mengamati Andaru. Wanita itu menopang dagu dengan kedua tangan. Tersenyum mendapati Andaru yang sangat menikmati makan malamnya sekali pun ini sudah hampir larut. "Bagaimana? Apakah masakan ibu enak?" "Selalu enak." Dengan menunjukan jari jempolnya, Andaru berucap bahkan mulutnya penuh dengan makanan. Arimbi tertawa lalu menyodorkan air putih di hadapan Andaru. Ia masih menunggu sampai Andaru selesai dengan aktifitas makannya. Dan benar saja, hanya sepuluh menit dan perut Andaru sudah kenyang. Menyandarkan punggung pada kursi dengan tangan mengusap perut yang kekenyangan. "Apakah ibu ada waktu untuk mendengarkanku bercerita?" "Cih, kamu ini. Bukankah sejak tadi ibu telah menunggumu." "Baiklah aku akan ceritakan pada ibu." Andaru kembali menegakkan punggungnya, meraih kedua tangan Arimbi. "Bu ... ada kabar bahagia yang ingin aku bagi pada ibu." "Apa itu Ndaru?" "Aku dipromosikan untuk pindah divisi, Bu?" "Kamu naik jabatan?" Kepala Andaru menggeleng. "Bukan naik jabatan sih, Bu. Hanya pindah divisi saja, tapi divisi yang sekarang ini lebih tinggi posisinya dalam perusahaan. Jika dibandingkan dengan divisi administrasi." "Memanganya kamu dipindah ke divisi apa?" "IT support." Andaru menjawab pendek. Arimbi terhenyak mendengarnya. "Benarkah itu?" Andaru menganggukkan kepala dengan diiringi senyum bahagia. Pun demikian dengan Arimbi yang juga ikut terharu dengan pencapaian putranya. "Benarkah yang kamu katakan itu, Ndaru?" "Iya, Bu. Setelah tiga tahun lamanya, akhirnya aku bisa pindah divisi juga." "Semoga saja dengan kepindahanmu ini, semakin membuka lebar jalan karir juga rejekimu." Arimbi berdoa untuk semua hal baik yang didapat sang putra. "Amin. Semua ini juga berkat doa-doa Ibu." "Juga usahamu tentunya. Eum ... Ndaru, bagaimana ceritanya sampai akhirnya kamu bisa pindah divisi segala?" Arimbi yang penasaran akan asal muasal kepindahan sang putra pun bertanya. Dan mengalirlah semua cerita dari mulut Andaru mulai dari dia yang tak sengaja membantu divisi IT sampai tawaran Dion Arashi sendiri yang menempatkannya ke divisi IT support.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN