Sang Pewaris-19

1932 Kata
"Seperti yang tadi saya katakan pada Mbak Arimbi jika sahabat saya, Satriawan, telah tiada sejak dua puluh tiga tahun silam." Lagi-lagi fakta yang Arimbi ketahui seputar sang suami, membuatnya terkejut luar biasa. Wanita itu memang tadi kurang fokus dan tidak mendengar dengan seksama saat Hari mengatakan sebuah kenyataan pahit itu. Tubuh Arimbi luruh, hampir saja punggungnya jatuh pada sandaran sofa ketika Andaru sigap menahan bahu ibunya. Membawa sang ibu untuk bersandar di dadanya. Mengusap lembut bahu Arimbi demi mencoba menangkan hati sang ibu yang masih tak kuasa menerima kenyataan akan keberadaan sang ayah. Andaru sendiri karena dia seorang pemuda kuat dan tangguh, maka dia masih sanggup mengontrol dirinya. Sudah terbiasa akan kenyataan juga doktrin yang ia tanamkan pada dirinya sendiri, bahwa ayahnya telah tiada sejak dulu kala. Dan yang Andaru tahu, dia hanya memiliki seorang ibu saja. Oleh sebab itulah ketika Hari mengatakan jika semenjak dua puluh tiga tahun silam ia tak lagi memiliki Ayah, maka tak ada yang bisa Andaru lakukan. Menyesalinya pun juga percuma karena takdir kehidupan manusia sudah ada yang mengatur semuanya. Lain halnya dengan Arimbi yang masih sulit menerima semua ini. "Pak Hari ... Anda mengatakan jika Mas Satria telah tiada semenjak dua puluh tiga tahun yang lampau. Itu artinya Mas Satria meninggal setelah saya meninggalkannya?" tebak Arimbi. Tentu Arimbi masih mengingat dengan jelas bagaimana kisah cintanya dulu bersama sang suami. Sekeras apapun Arimbi berusaha mempertahankan rumah tangganya, juga mempertahankan Satria tetap berada di sisinya, nyatanya wanita itu tetap tidak mampu melakukannya. Air mata menggenang di pelupuk matanya tak mampu terbendung lagi dan tumpah ruah membasahi pipi ketika Arimbi mengingat betapa baiknya almarhum sang suami. Namun, ternyata jodohnya dengan Satria hanya bertahan singkat karena banyaknya rintangan yang mereka hadapi. Keluarga Satria yang menentang hubungan keduanya hingga membuat Arimbi pergi dengan membawa Andaru. Rupanya, setelah dia pergi, Satriawan justru ikut pergi dari dunia ini untuk selama-lamanya. Dan Arimbi tak pernah tahu akan hal itu. Selama ini Arimbi selalu mengira jika Satriawan masih hidup dan kenapa tidak pernah mencarinya? Baru sekarang Arimbi mendapat jawaban. Menyesal karena sempat mengira jika Satria telah memiliki keluarga baru hingga mudah sekali melupakan keberadaannya dengan Andaru. Dan karena pemikiran buruk itu juga yang Arimbi gunakan untuk selalu mendoktrin Andaru dengan mengatakan bahwa ayahnya telah tiada. Rupanya omongan yang ia lontarkan sama halnya dengan Arimbi mendoakan. Satriawan benar-benar telah tiada. Ya, Tuhan. Andai waktu bisa diputar kembali Arimbi tak akan pernah melakukan hal itu. Arimbi tak akan membohongi Andaru dan Arimbi tak akan menghalangi Andaru untuk dapat mengenal siapa ayahnya. Ah, Arimbi tak patut menyesali semua yang telah terjadi. Ibarat nasi sudah menjadi bubur. Arimbi juga tidak boleh menyalahkan dirinya sendiri kenapa dulu melakukan hal itu. Karena situasi juga kondisi yang memaksanya untuk melakukan semua itu. Dan selama ini apa yang telah ia buat dan lakukan untuk Andaru adalah yang terbaik untuk putranya itu. Arimbi tentu lebih tahu bagaimana cara dia mengungkapkan semua pada putranya. Karena sejak kecil tak pernah mengenal akan sosok ayahnya. "Mbak Arimbi. Memang benar apa yang Mbak katakan itu. Satria meninggal tidak lama setelah Mbak pergi membawa Andaru." "Apa yang terjadi pada Mas Satria, Pak Hari? Tidak mungkin karena Mas Satria sakit, kan. Karena Mas Satria sehat-sehat saja meski aku tahu hatinya hancur mengetahui keluarganya menolak kehadiranku bersama Andaru." Lagi-lagi Arimbi menerawang jauh di masa lampau. Ia ingat betul ketika kedua orang tua Satria menyeretnya keluar dari rumah setelah satu hari sebelumnya Satriawan membawanya menghadap pada keluarganya dan mengatakan pada mereka mengenai status pernikahan rahasia. Sebetulnya Arimbi tidak mau mengenalkannya pada keluarga besar lelaki itu karena Arimbi sadar jika keluarga Dewangga tidak akan pernah menerima kehadirannya. Dan dugaan Arimbi tepat sekali. Ketika Satriawan pergi bekerja, mama dari Satriawan mengusirnya keluar dari rumah dengan segala ancaman serta cacian yang membuat Arimbi tak mampu lagi mempertahankan rumah tangganya bersama Satriawan. Bahkan dengan tidak berperasaannya mereka tidak melihat keberadaan Andaru kecil yang saat itu baru berusia tiga tahun. Andaru yang tidak tahu apa-apa hanya menurut saja ketika ibunya membawa berjalan jauh meninggalkan rumah mewah yang baru satu hari mereka kunjungi. "Mbak!" Panggilan Hari menyentak lamunan Arimbi. Wanita itu menyeka air matanya, menatap samar pada Hari karena penglihatan Arimbi menjadi kabur akibat air mata yang menggenang di pelupuk mata wanita itu. Sementara itu, Andaru yang tengah mendengar semuanya berusaha menyiapkan mental demi mengetahui kilasan kejadian kedua orang tuanya di masa silam. Ia benar-benar tak tahu apa-apa. Bahkan foto yang Hari perlihatkan sanggup membuat trenyuh hati Andaru. Kacamata yang selalu berada di atas hidung mancungnya ia benarkan karena sempat melorot ketika Andaru mencoba menenangkan ibunya. "Satriawan meninggal karena kecelakaan." Hari mulai bercerita bagaimana Satriawan bisa meninggal dunia. Dan mengalirlah semua cerita dari mulut Hari mengenai kejadian dua puluh tiga tahun silam ketika Satriawan yang mengetahui jika anak dan istrinya diusir oleh orang tuanya, lelaki itu berusaha mencari keberadaan Arimbi dan putranya. Meski dihadang oleh mamanya, Satriawan tak perduli tetap keluar rumah mencari anak dan istrinya sampai dapat. Karena banyaknya beban pikiran juga Satriawan yang kurang fokus pada jalanan, lelaki itu tak bisa menghindar ketika dari arah berlawanan muncul sebuah mobil lain. Kecelakaan pun terjadi. Satriawan sempat mengalami koma seminggu lamanya. Ketika Satriawan sadar dari komanya, yang diingat untuk pertama kali tentu saja Arimbi juga Andaru. Mengetahui penolakan dari keluarganya atas keberadaan dua orang yang sangat dia cintai, pada akhirnya Satriawan meminta pada Hari untuk membantunya. "Andaru. Waktu itu dengan keterbatasan kondisi ayahmu, beliau memintaku menemui di rumah sakit. Mengatakan sebuah fakta mencengangkan yang selama ini Satria rahasiakan. Termasuk keluarganya sendiri juga tidak ada yang tahu akan hal ini." Hari menjeda ceritanya. Menghela napas, menatap dalam pada wajah Andaru lalu berganti pada Arimbi. "Mbak Arimbi ... mungkin Satriawan sudah memiliki sebuah firasat bahwa akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan padanya. Rupanya, ketika Andaru berusia satu tahun, Satria sempat menemui pengacara untuk membantu membuat surat wasiat." "Surat wasiat?" lirih Arimbi karena jujur, dia sama sekali tidak tahu menahu akan hal itu. Empat tahun mereka menjalani rumah tangga secara rahasia karena keluarga besar lelaki itu tidak merestui mereka. Meski pernikahan mereka rahasia, akan tetapi Satriawan menikahi Arimbi secara sah baik di mata hukum juga agama. Sehingga posisi Andaru sebagai ahli waris Satriawan Dewangga sangat kuat. "Iya. Setelah ulang tahun pertama Andaru Dewangga, Satriawan membuat surat wasiat jika semua harta kekayaan milik Satriawan adalah hak putra tunggalnya yaitu Andaru. Satriawan memiliki banyak harta kekayaan miliknya sendiri, Mbak. Bukan harta keluarga. Bahkan jika dihitung-hitung harta pribadi milik Satriawan masih lebih banyak daripada harta keluarganya." Baik Arimbi juga Andaru sama-sama terkejut mendengar fakta mengenai Satriawan. Arimbi sendiri sejak dulu tahu jika Satria adalah anak orang kaya. Namun, Arimbi tak pernah tahu seberapa banyak harta kekayaan mendiang suaminya itu. Karena Arimbi ketika dulu menjalani rumah tangga bersama Satria, tidak pernah bertanya juga tidak pernah mau tahu akan harta kekayaan suaminya itu. Asalkan Satria memberikan nafkah yang cukup untuknya, Arimbi sudah merasa banyak bersyukur. Bahkan Arimbi selalu menolak jika Satria memberikan jatah bulanan yang nilainya lebih padanya. Dan Arimbi selalu meminta pada Satria agar lebihan rejeki itu ditabung saja. Siapa sangka jika Satriawan jauh lebih kaya dari yang Arimbi kira. "Andaru, ada hal yang harus kamu tahu terkait harta warisan yang ayahmu tinggalkan itu. Ketika di rumah sakit waktu itu, Satria meminta padaku untuk membawa pengacaranya. Setelahnya, di hadapan sang pengacara, Satria meminta untuk merevisi isi surat wasiat yang pernah dia buat dua tahun sebelumnya." Sampai di sini, Andaru masih dibuat sedikit bingung. Namun, dia tidak berusaha menyela untuk bertanya pada Hari yang masih berusaha menceritakan semua. Andaru menyimak semua hal yang tidak pernah ia tahu selama ini. "Perubahan dari isi surat wasiat itu adalah ... Satria meminta padaku untuk mencari istri dan anaknya yang bernama Arimbi dan Andaru Dewangga. Selama masa pencarianku itu, Satriawan mempercayakan semua perusahaannya padaku. Satria juga memintaku untuk mengelola semua usaha yang dia punya. Juga menjaga semua harta kekayaan miliknya. Jangan sampai hasil jerih payahnya selama ini jatuh di tangan orang yang tidak tepat. Karena semua yang Satriawan punya sudah menjadi hakmu sepenuhnya." Satu lagi hal yang membuat Andaru harus menelan salivanya. Kejutan apalagi ini. Seolah semua hanyalah mimpi. Bertemu dengan Hari dengan status sebagai sopir dan penumpang. Lalu ia menolong Hari dan terakhir karena ingin berterima kasih padanya justru mengantarkan Hari menguak sebuah rahasia. "Sebuah permintaan di saat Satria sedang berjuang bertaruh nyawa. Andai aku berhasil menemukanmu maka dia berpesan untuk menyampaikan semua ini padamu karena kaulah satu-satunya sang pewaris Dewangga." Setelah menceritakan semua ini, seolah beban berat yang selama bertahun-tahun ini Hari tanggung usai sudah. Hari merasa lega. Pencariannya tidak sia-sia meski saat ini dia sudah sempat berputus asa. Berbagai macam cara telah Hari lakukan demi mewujudkan apa yang Satria minta. Dan sekarang seolah Tuhan telah mengabulkan semua doa-doanya. Di titik terakhir Hari mengaku kalah, saat itulah dengan campur tangan Tuhan juga, Andaru dan Arimbi berhasil Hari temukan. "Bertahun-tahun saya mencari Mbak Arimbi dan juga Andaru. Saya tidak pernah tahu di mana keberadaan kalian. Bahkan wajah kalian berdua hanya bisa saya kenali melalui foto yang Satria beri. Meski demikian, saya tidak pantang menyerah begitu saja. Bagi saya, Satriawan lebih dari sekedar atasan juga sahabat. Satriawan adalah pahlawan bagi saya. Dan dalam hati saya selalu berjanji pada diri sendiri untuk melakukan apa pun juga demi membalas budi akan apa yang telah Satriawan perjuangkan untuk saya." Air mata lolos begitu saja membuat Hari buru-buru mengusapnya. Ia bahagia sekaligus terharu. Karlita mengusap lembut bahu suaminya. Bahkan wanita itu berkali-kali menyeka matanya dengan tisu. Trenyuh dan ikut terharu ketika menemukan fakta bahwa orang-orang yang selama ini suaminya cari ada di depan mata. Arimbi masih sesenggukan mendengar semua cerita dari Hari Prasetya. Sesekali perempuan itu juga mengusap air matanya. Dan Andaru juga dengan sabar berusaha menenangkan ibunya. Kenyataan yang meraka dengar ini sangat menyesakkan dadaa. Andaru sendiri tak menyangka sebesar itu kecintaan sang Ayah padanya juga pada ibunya. Sampai rela bertaruh nyawa demi mencari mereka berdua. Rasa sesak di dalam diri Arimbi menyeruak. Kenapa dulu ia memilih pergi dan tidak mempertahankan rumah tangganya saja. Entahlah, dulu Arimbi merasa sakit hati sekali ketika mendapat penghinaan dari keluarga sang suami. Arimbi tak kuat lagi dan patuh ketika mertuanya meminta agar dia pergi sejauh mungkin dari kehidupan Satriawan. Andaru yang menjadi ancaman kala itu. Karena Arimbi tidak ingin mereka berbuat hal yang tidak diinginkan pada putranya, oleh sebab itulah Arimbi nekat membawa pergi Andaru karena baginya Andaru adalah segala-galanya. Karlita. Wanita yang duduk di samping Hari itu masih tak mampu menahan tangis karena merasa ikut bersedih. Padahal Karlita sudah sering mendengar cerita ini dari sang suami. Namun, tetap saja kesedihan itu tak mampu ia enyahkan begitu saja ketika dia dan suami telah berhasil mendapatkan orang yang mereka cari selama ini. "Andaru ... sekarang aku telah menemukanmu. Sudah saatnya aku mewujudkan apa yang pernah Satriawan amanahkan padaku." Entahlah bagaimana perasaan Andaru saat ini. Yang jelas, ia tahu jika Hari adalah orang baik yang mungkin saja akan membantu dirinya merubah nasib. Nasib kurang beruntung yang selama ini setia bersamanya padahal sejatinya dia adalah keturunan orang kaya. Lalu, Hari kembali melanjutkan apa yang harus ia sampaikan pada Andaru. Saat inilah waktu yang selalu ia tunggu-tunggu selama beberapa tahun ini. Di mana ia melepas semua beban berat yang disandangnya. Hari bukan orang yang gila harta. Jika mau, dia bisa saja menyalahgunakan wasiat Satria. Namun, Hari tak akan melakukannya. Amanat tetaplah amanat yang harus ia sampaikan pada orang yang berhak. "Satriawan meninggalkan banyak sekali harta warisan. Seolah Tuhan telah mengaturnya sedemikian rupa. Karena beberapa tahun belakangan ini saya mengalami gangguan kesehatan karena penyakit komplikasi. Saya merasa tak sanggup lagi menjalankan amanah yang Satriawan beri. Jujur saya selalu takut andai Tuhan mencabut nyawa saya sebelum saya dipertemukan denganmu, Andaru. Dan sekarang saatnya kamu harus tahu apa saja yang telah Satriawan wasiatkan kepadamu."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN