"Mas Ndaru yang sabar," ucap Aisya dengan sorot mata iba. Andaru tetap saja memaksakan senyuman tidak ingin terlihat menyedihkan di mata gadis itu.
"Terima kasih, Ais. Aku harus segera pergi. Sampai ketemu lagi," pamit Andaru.
Aisya menganggukkan kepala, dengan mata berkaca-kaca menatap punggung Andaru yang hilang di balik pintu lift yang mulai menutup. Mengusap buliran bening yang keluar di sudut matanya. Entahlah kenapa Aisya merasa sangat sedih sekali kehilangan Andaru. Meski di lubuk hatinya lega karena tak akan lagi melihat Andaru yang diperlakukan tidak adil oleh rekan kerjanya yang lain. Namun, dengan tidak adanya Andaru di sini, maka Aisya tak akan lagi bisa melihat Andaru. Berdoa semoga pria itu segera mendapat pekerjaan baru yang lebih layak dari pekerjaan di kantor ini. Tak mau terlarut akan kesedihan karena ditinggalkan oleh Andaru, Aisya pun berlalu pergi dengan mengurai kesedihan yang enggan untuk ia enyahkan.
Di lain tempat, Andaru telah sampai di rumahnya ketika sore menjelang membuat Arimbi yang sedang menyiram bunga di halaman mengerutkan keningnya. Terkejut sekaligus bertanya-tanya, tumben sekali putranya itu sudah datang. Padahal biasanya malam hari barulah Andaru pulang. Arimbi mengucek matanya berusaha melihat kembali jika penglihatannya masih normal. Dan rupanya memang yang sedang dilihatnya turun dari atas motor adalah Andaru, putra semata wayangnya.
Andaru melepas helm dan mengabaikan kardus yang ia bawa dari kantor tadi masih berada di atas motor. Menghampiri Arimbi yang kini sudah mematikan kran air dan sedang mengeringkan tangan pada daster yang dikenakan.
"Sore Bu, " Andaru membungkuk dan meraih punggung tangan ibunya, menciumnya dalam.
"Kok sudah pulang, Nak?" tanya Arimbi yang dijawab senyuman. Ah, hari ini sepertinya Andaru telah banyak memberikan senyuman pada siapa pun juga. Padahal senyuman yang ia berikan ini demi menutupi mendung di dalam hatinya. Andaru selalu tidak mau ada orang lain yang bersedih melihat nasib buruk yang menimpanya hari ini.
"Ayo kita masuk, Bu. Aku akan ceritakan semua pada Ibu."
Arimbi mengangguk setuju, meninggalkan aktifitasnya yang belum selesai. Bahkan halaman rumahnya belum juga disapu. Namun, Andaru lebih penting dari segalanya bagi Arimbi.
Andaru mengangkat kardus dari atas motor dan membawanya masuk ke dalam rumah. Melepas jaket sebelum duduk di atas sofa ruang tamu. Sementara Arimbi langsung masuk menuju dapur mengambil minuman untuk putranya.
"Minumlah dulu." Arimbi datang dengan membawa segelas minuman lalu menyodorkan minuman sirup berwarna merah itu pada Andaru.
"Terima kasih, Bu." Andaru menerima minuman yang diberikan ibunya dan langsung meneguknya begitu saja. Terasa manis ketika melewati tenggorokan. Membasahi kerongkongan yang kering karena sejak beberapa waktu lalu belum sempat minum.
Satu gelas minuman habis tak tersisa. Andaru meletakkan kembali gelas kosong di atas meja. Menghela napas dalam sebelum ia bercerita.
"Bu ... kuharap Ibu tidak kaget akan apa yang aku sampaikan." Andaru membuka percakapan.
"Ndaru ... jangan membuat Ibu penasaran begini."
Andaru mencondongkan badan mendekat pada Arimbi yang duduk di sampingnya. Meraih kedua tangan Arimbi penuh sayang juga rasa bersalah. Karena keberaniannya memberontak Dion Arashi justru berakhir ia yang harus dipecat seperti ini dan dalam sekejab mata Andaru kehilangan pekerjaannya. Dengan adanya cobaan ini secara otomatis Andaru juga kehilangan pemasukan yang setiap bulan ia dapatkan dan selalu dia berikan pada sang ibu.
"Bu, mulai besok aku tak lagi bekerja," ucap Andaru yang tentu saja membuat Arimbi terhenyak kaget.
"Tidak bekerja bagaimana, Ndaru?"
"A-aku ...." Dengan terbata Andaru menjawab dan berusaha menjelaskan pada ibunya. Namun, rasanya Andaru tak mungkin untuk mengatakan hal sejujurnya pada sang ibu jika selama ini ia telah dimanfaatkan oleh sang atasan juga diperlakukan tidak baik oleh rekan-rekannya.
"Bu ... hari ini adalah hari terakhirku bekerja di kantor."
"Tapi ... kenapa bisa begitu, Ndaru? Memangnya ada apa? Kamu di PHK?" Arimbi masih tak mengerti dengan ini semua. Tak ada angin juga tak ada hujan, tiba-tiba saja Andaru mengatakan jika tak lagi bekerja. Apakah sedang ada masalah yang tengah terjadi pada putranya.
"Bu ... ada banyak hal yang menjadi pertimbanganku untuk berhenti dari pekerjaan ini, selain karena tugas yang dibebankan semakin berat saja juga ...." Andaru menjeda ceritanya.
"Juga apa? Masalah gaji? Bukankah Ibu sudah mengatakannya padamu. Jangan selalu merasa kurang karena apa yang telah kita dapatkan lebih dari cukup. Gaji yang kamu terima pun juga sudah naik semenjak kamu pindah divisi. Lantas kenapa lagi, Ndaru."
"Semua tidak seperti itu, Bu. Jika masalah gaji aku tidak akan lupa bersyukur karena sebanyak apapun rejeki yang Tuhan beri pasti kita selalu merasa kurang. Hanya saja ... apa salah jika aku protes karena mengetahui keberadaanku di divisi baru itu hanya dimanfaatkan oleh mereka. Menguras isi dalam otak dengan imbalan yang tidak semestinya."
"Ibu tak mengerti, Ndaru." Arimbi memang tak paham dengan penjelasan yang Andaru berikan juga tak mengerti dengan apa yang Andaru maksudkan.
"Banyak hal yang Ibu tak mengerti. Tapi, yang jelas jika aku sudah merasa tidak nyaman. Rasanya tidak mungkin juga memaksakan tetap bekerja di sana, Bu. Doakan saja agar aku bisa segera mendapat pekerjaan baru."
Entahlah, Arimbi sendiri tak tahu akan berkata apa. Semua Andaru sendiri yang menjalaninya dan Arimbi tidak mau memaksa apalagi ikut campur dalam pekerjaan Andaru. Arimbi sendiri tidak tahu bagaimana sistem kerja juga kehidupan yang Andaru jalani selama berada di kantor. Oleh sebab itulah Arimbi tidak mau banyak bertanya lagi pada Andaru.
"Ndaru, kamu sudah dewasa, Nak. Sudah pandai menentukan sikap serta kehidupanmu sendiri. Ibu tak akan mencercamu dengan banyak hal juga pertanyaan seputar keluarnya kamu dari tempat kerja. Yang jelas sebagai seorang Ibu dan orang tuamu, yang harus Ibu lakukan adalah mendukung apa yang kamu lakukan yang menurutmu adalah hal terbaik. Ibu juga akan terus mendoakanmu agar kamu segera mendapatkan pekerjaan baru. Semoga Allah senantiasa melancarkan langkahmu dalam mencari rejeki dan mempermudah semua usahamu."
"Terima kasih karena Ibu selalu mengerti aku."
Bagaimana Arimbi selalu mengerti akan Andaru karena sejak Andaru lahir mereka hanya hidup berdua. Arimbi selalu tahu apa yang Andaru lakukan dan pilih untuk masa depan.
"Kamu anak Ibu dan keluarga Ibu satu-satunya, Ndaru. Apapun yang kamu pilih, ibu akan mendukung. Sekarang apa rencanaku ke depan, Nak?"
Andaru tersenyum, mengecup dalam punggung tangan ibundanya. Arimbi adalah wanita pertama yang selalu mengerti akan dirinya. Perhatian dan penuh kasih sayang. Andaru sangat menyayangi juga mencintai ibunya. Dan selain ibunya, ada Aisya wanita kedua yang selalu bersikap baik padanya. Selalu membantu di setiap kesulitannya.
"Aku akan mencari pekerjaan baru, Bu. Ibu doakan saja agar aku bisa segera mendapatkannya."
Arimbi mengulas senyuman. Tak henti memanjatkan doa di dalam hatinya demi keberhasilan sang putra.
"Semoga kamu segera mendapatkan pekerjaan baru, Ndaru."
"Terima kasih, Bu."
"Sebaiknya sekarang kamu istirahat dulu. Ibu akan memasak untuk makan malam kita."
Andaru menganggukkan kepala lalu beranjak berdiri meninggalkan ibunya. Tak lupa membawa kardus berisi barang-barang pribadinya dan membawanya masuk ke dalam kamar.
***
Sudah satu minggu dan Andaru belum juga mendapatkan pekerjaan baru. Pria itu masih berusaha tenang dengan tak berhenti berusaha mencari lowongan pekerjaan. Entah itu dari lowongan di internet atau dia mencarinya langsung di lokasi-lokasi industri. Memasukkan beberapa surat lamaran pekerjaan, akan tetapi belum ada satu pun yang memanggilnya meski hanya untuk sekedar interview saja. Andaru berusaha sabar dan tenang. Ah, ini masih satu minggu. Begitu pikirnya. Tak mau panik karena hanya akan membuat hatinya semakin resah dan juga hidupnya tidak tenang nantinya.
Arimbi, sang ibu yang tak henti memberikan support kepadanya pun tak mau juga terlihat panik dan ikut memiliki beban pikiran. Arimbi juga tak mau sering bertanya pada Andaru apakah sudah mendapatkan pekerjaan baru.
Menjadi pengangguran ternyata bukanlah pilihan yang tepat. Terbiasa bekerja dan kini Andaru hanya di rumah saja meski dia juga tidak menganggur karena masih ada banyak hal yang Andaru kerjakan. Seperti berselancar di dunia maya demi mencari informasi pekerjaan yang dapat dia lakukan. Apapun pekerjaannya Andaru tak mau pilih-pilih asalkan halal. Meski tak sesuai dengan jenjang pendidikannya pun tak mengapa bagi Andaru. Karena dia yakin bahwa dirinya mampu bekerja di bidang apapun juga. Toh selama ini pengalamannya sebagai seorang staff administrasi sangat banyak juga.
Hingga tanpa terasa pada minggu ketiga, akhirnya Andaru sudah menyerah karena tak jua mendapat pekerjaan. Interview beberapa kali sempat Andaru lakukan. Namun, hasilnya nihil. Tak ada panggilan lagi yang mengabarkan berita bahagia jika dia diterima di salah satu perusahaan yang telah ia incar.
Berjalan gontai ketika sore ini pria itu baru saja sampai di rumahnya. Andaru pulang dari berkeliling untuk mencari pekerjaan. Bahkan kemeja yang ia kenakan telah kusut masai, tak jauh berbeda dengan wajahnya yang ditekuk seperti baju belum disetrika. Menyeret langkah kakinya memasuki rumah yang langsung disambut senyuman hangat oleh Arimbi. Yah, hanya Arimbi lah penyemangat juga yang membuat Andaru tak menyerah hingga detik ini. Membungkukkan badan untuk menyalami punggung tangan ibunya. Hal yang tak pernah Andaru lupa untuk pria itu lakukan karena restu dan doa-doa dari ibunya adalah kunci sukses seorang anak.
"Duduklah dulu. Kamu kelihatan capek sekali." Arimbi yang baru saja membukakan pintu tampak iba melihat usaha putranya yang begitu gigih tapi belum juga membuahkan hasil.
"Iya, Bu. Rasanya aku ingin menyerah saja karena sampai hari ini belum ada hasil juga."
"Tidak boleh ada kata menyerah jika kamu ingin menjadi orang sukses. Ini belum apa-apa kok sudah mau menyerah saja. Ke mana Andaru anak ibu yang selalu semangat dan pantang menyerah."
Andaru diam mengusap wajahnya lalu menengadahkan kepalanya duduk dengan punggung menyandar pada sofa. Seolah Arimbi tahu keresahan dan kegundahan hati Andaru, wanita itu menepuk lengan sang putra. "Mandilah dulu agar tubuhmu kembali segar."
Andaru mengangguk, beranjak dari duduknya dan masuk ke dalam kamar.
Tiga puluh menit berlalu, Andaru yang kini sudah segar kembali dengan baju santai, duduk di kursi makan saling berhadapan dengan sang Ibu. Mereka berdua makan malam dengan Andaru yang masih sibuk berkutat dengan ponsel di tangan. Entah mengapa dia sekarang ini sedang tertarik pada sebuah lowongan pekerjaan menjadi seorang sopir taksi.
"Makan dulu. Letakkan ponselmu," tegur Arimbi karena melihat Andaru yang justru fokus pada ponsel dan membiarkan makanannya begitu saja.
"Bu," panggil pria itu mendongak mengalihkan perhatian dari ponsel.
"Ada apa?"
"Menurut Ibu jika aku mencoba untuk menjadi sopir taksi bagaimana?" Andaru memang tak pernah malu untuk sekedar bercerita juga meminta masukan pada ibunya.
"Sopir taksi?" Arimbi bertanya untuk memastikan. Pasalnya menjadi seorang sopir itu resikonya lumayan berat meski pun Andaru bisa menyetir mobil, tapi rasanya sedikit berat jika Arimbi mengijinkan. Namun, jika untuk mencari pengalaman sembari Andaru mendapatkan pekerjaan lain, sepertinya tidak masalah.
"Menurut Ibu tidak masalah sambil kamu menunggu ada pekerjaan yang baru."
"Maksudku juga begitu. Daripada aku nganggur di rumah rasanya tidak enak saja."
Padahal Arimbi tak pernah mempermasalahkan selama beberapa waktu ini Andaru menjadi pengangguran. Tidak pernah protes apalagi mengolok sang putra. Tapi Andaru sendiri yang merasa tak enak hati. Takutnya kelamaan menjadi pengangguran maka membuatnya jadi malas bekerja nanti. Ingin berwiraswasta Andaru belum siap. Tabungannya tak sebanyak itu untuk dia jadikan modal. Belum siap juga jika hasil yang diinginkan tidak tercapai nantinya. Yang ada, modal habis-habisan tapi dia tak mendapatkan apa-apa. Untuk memulai sebuah usaha, memang harus memiliki tekad yang kuat. Tidak boleh takut rugi dan Andaru belum ada nyali sejauh itu. pasalnya dia memilik ibu dan tapa uang dia tak akan bisa membahagiakan ibunya. Tidak mau membuat ibunya sengsara di usia yang tak lagi muda.
"Coba saja."
Semangat yang Arimbi berikan membuat Andaru semakin yakin jika dia akan mencoba peruntungannya kali ini. Tidak masalah meski hanya menjadi sopir taksi. Lagipula Andaru juga memiliki surat ijin mengemudi. Dulu sewaktu dia kuliah, Andaru bekerja sampingan juga sebagai pengantar barang dan dia pernah kursus mengemudi juga.
"Baiklah, Bu. Besok aku akan mendatangi kantornya. Siapa tahu saja aku langsung diterima."
Harapan Andaru adalah dia bisa segera bekerja apa pun profesinya. Yang penting baginya adalah mendapat uang halal. Dan berharap semoga saja dengan menjadi seorang sopir, bisa menjadi batu loncatan untuk pekerjaan yang lebih baik nantinya.
"Ibu hanya bisa mendoakan agar semua urusanmu berjalan lancar dan juga kamu bisa diterima bekerja."
"Terima kasih, Bu. Aku pasti akan berusaha keras."
"Sekarang makan dulu. Keburu dingin makananmu."
"Iya, Bu."
Memikirkan jika besok ia akan mencoba hal baru, semangat Andaru kembali bangkit. Tak masalah jika hanya menjadi seorang sopir. Toh, juga bukan profesi yang buruk.
Andaru meletakkan ponsel di atas meja. Lalu kembali fokus menyantap makanannya. Malam ini ia akan tidur cepat agar besok pagi bisa bangun dengan kondisi tubuh fit dan segar.
Arimbi yang melihat ikut senang karena putranya kembali bersemangat seperti ini. Hampir satu bulan Andaru keluar dari pekerjaan lamanya. Pantas saja jika Andaru mulai terlihat frustasi mencari pekerjaan baru. Karena mencari pekerjaan yang sesuai kriteria itu bukanlah hal yang mudah. Sopir taksi memang bukan kriteria Andaru. Namun, tak ada salahnya mencoba hal baru.